07. End

3.2K 377 58
                                    

Liz menolak menginap di rumahku. Malam itu juga ia memilih untuk pulang ke Seoul, bersama sopir.

Dan hampir setiap hari aku tak putus asa untuk terus berusaha menghubungi Hoshi. Hingga akhirnya, di hari ke tiga setelah dia menghilang, di suatu sore setelah aku pulang kerja, ia menerima telpon dariku.

"Hoshi?" jeritku buru-buru ketika ku dengar bunyi klik dari sana.
Tak ada jawaban.
"Hoshi?" Panggilku lagi.
"Eoh." Dan dia menjawab pendek. Aku terharu. Setidaknya aku lega mendengar suaranya.
"Dimana kau?" tanyaku lagi.
Tak ada jawaban lagi.
"Apa kau ... baik-baik saja?" tanyaku lagi.
"Aku, baik. Aku hanya menenangkan diri di suatu tempat," ucapnya kemudian.

Kembali hening.

"Liz mencarimu kemari, pulanglah." ucapku kemudian. Dan Hoshi kembali tak bersuara.
"Pulanglah, Hoshi. Pulanglah ke rumah. Liz dan bayinya membutuhkanmu," suaraku tercekat.
"Aku memilihmu, Eunha." Dan kalimat itu serupa angin. Lirih, berdesir dengan lembut.
"Aku memilihmu ...," ulangnya.

Aku memejamkan mata sesaat, merasakan butiran air jatuh menerpa pangkuanku.
"Aku tahu," suaraku tercekat. "Aku sudah tahu. Liz memberitahu semua padaku,"

Hening lagi.
Dan kemudian aku mendengar Hoshi terisak. Suara itu tak ayal membuat pertahananku runtuh. Karena isakku pun tak mampu ku bendung.

Kami menghabiskan waktu beberapa saat tanpa mengatakan apapun. Aku membiarkan Hoshi terisak di seberang sana, begitu pula dengan dirinya, yang hanya mampu mendengarku menangis.
Tak ada kata-kata yang keluar.
Hoshi tak mengatakan apa-apa, pun denganku. Namun begitu kami sama-sama tahu, waktunya saling melepaskan.

Dan pembicaraan terputus, begitu saja. Tak ada sepatah kata yang keluar, tak ada ucapan selamat tinggal, tak ada pamitan.

Selesai sudah.

***

Isak tangis Hoshi adalah hal terakhir yang ku dengar tentang dirinya. Karena setelah itu aku memutuskan melarikan diri, lagi.
Malam itu juga, setelah kami bertangis-tangisan lewat telepon, aku mengepaki semua barang-barangku. Esoknya, pagi-pagi sekali aku datang ke kedai dan menyerahkan surat pengunduran diri. Setelah berpamitan pada Elin, Kim dan juga rekan-rekanku yang lain, aku pulang ke kampung halamanku.

Beberapa hari kemudian, setelah mencari info kesana kemari tentang lowongan pekerjaan, aku memutuskan berangkat ke Jeonju.
Bekerja di sebuah toko roti, sekaligus belajar membuat kue.

***

Setelah belajar membuat kue selama beberapa waktu dan menabung gajiku sedikit demi sedikit, beberapa tahun kemudian aku berhasil mendirikan sebuah toko roti sendiri. Tokonya tidak terlalu besar, tapi tak ada yang lebih menyenangkan selain mempunyai toko sendiri, ya 'kan?

Aku tak lagi mendengar kabar tentang Hoshi, Liz, ataupun keluarganya.

Tidak ada kabar apapun.

***

Aku pernah mendengar pepatah bahwa jika dua orang sudah berjodoh, Tuhan akan mempertemukan mereka kembali entah bagaimanapun caranya. Walau mereka harus mengarungi jeram, mendaki perbukitan, suatu saat, mereka akan dipertemukan kembali.
Memberi mereka kesempatan, untuk menautkan kembali benang merah di antara mereka, walau benang itu pernah terputus, berkali-kali.

Awalnya aku tak percaya dengan hal seperti itu. Sampai akhirnya hal itu terjadi.

Layaknya De Ja Vu ...

Sore itu hujan turun rintik-rintik, dan aku sedang membantu karyawanku membersihkan beberapa meja pelanggan. Hingga akhirnya sosok itu muncul.
Berlari-lari kecil menghindari air hujan yang menerpa dirinya. Menggunakan salah satu tangan untuk melindungi kepala, ia menyeruak, lalu berteduh di teras tokoku.
Dan dari balik jendela kaca, ku lihat sosok itu dengan jelas tengah berusaha membersihkan bekas-bekas air hujan di wajahnya.

I am Number TwoWhere stories live. Discover now