06.

2.1K 304 6
                                    

Setelah puas menangis di kamar mandi dan berniat keluar dari sana dengan mata sembab, aku menyaksikan Elin menungguku di luar pintu toilet dengan wajah cemas.
"Eunha, kau tak apa-apa?" Ia menghambur ke arahku dan langsung memelukku erat.
Dan tangisku kembali pecah di bahunya.
"Ah, kasihan sekali kau. Kau pasti terguncang," ucapnya.
"Aku tidak melakukannya, Elin. Aku tak merebut suami orang. Lelaki itu memang sempat mencariku, tapi kami hanya berbicara semata. Dan setelah itu kami tak saling menghubungi lagi." Aku menumpahkan semua beban di pundaknya.
Ku rasakan tangan Elin mengusap punggungku dengan lembut.
"Tolong jangan hakimi aku. Ini terasa menyakitkan buatku," ucapku lagi.
Ku rasakan Elin mengagguk-angguk.
"Maafkan aku karena tak mampu membantumu, Eunha. Maafkan aku," ucapnya.
Ia membawaku ke tempat istirahat para karyawan, membuatkanku minuman hangat, dan mencoba menghiburku.
Dan aku benar-benar bersyukur ada dia di saat-saat seperti ini.
Jika tidak, entahlah.

***

Kim mengantarkan aku pulang karena Elin masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan di kedai. Sebenarnya aku berniat pulang dengan kendaraan umum, tapi pemuda baik hati itu melarang dan memilih mengantarkan diriku.
"Terima kasih," ucapku. "Kau tak mau mampir dulu?"
Kim menggeleng dan tersenyum.
"Tidak, lain kali saja. Sepertinya kau perlu waktu untuk menyendiri." Jawabnya.
Aku tersenyum kecut. Dan sebelum ia beranjak dengan motornya, aku berujar lirih, "Aku tidak melakukannya, Kim. Aku tidak seperti yang dituduhkan wanita itu. Aku tidak merebut suami orang,"
Entah harus berapa kali aku ingin meneriakkan kalimat ini.

Kim tersenyum tipis, lalu mengangguk.
"Jangan khawatir, aku takkan menghakimimu," ucapnya.
Dan dia segera melesat dengan sepeda motornya. Meninggakanku.

***

Aku mondar mandir di kamarku sambil terus berusaha menghubungi nomer Hoshi.
Liz bilang dia tak pulang sejak kemarin. Dan entah kenapa aku jadi cemas.
"Angkat telponnya, please." Aku mendesis gemas sambil terus berusaha menghubunginya. Dan nihil.
Ia tak menjawab panggilanku.
Sisa sore hari itu, aku menghabiskan waktuku dengan rasa frustasi karena tak juga mendapat kabar tentang Hoshi.

***

Pukul 8 malam, aku sudah setengah ketiduran di kasur matrasku ketika ku dengar pintuku diketuk.
Berharap bahwa itu Hoshi, aku segera bangkit kemudian berlari menuju pintu dan buru-buru membukanya.
Dan ternyata bukan.
Bukan Hoshi.
Tapi Liz.

Perempuan itu berdiri di depan pintu rumahku dalam keadaan yang ... lumayan menyedihkan.
Terlihat sedikit berantakan dan mungkin kurang tidur.
"Untuk apa kau kemari? Belum puas mempermalukanku seperti kemarin siang?" aku berucap ketus, tak berniat menyuruhnya masuk.
"Hoshi masih belum pulang. Aku sudah berusaha mencarinya, tapi nihil. Dan aku putus asa," jawabnya lirih.
"Lalu apa urusannya denganku? Bukan aku yang menyembunyikannya 'kan?!" aku menjerit.
Aku mundur beberapa langkah dan berniat menutup pintu namun perempuan itu keburu menahannya dengan berdiri di ambang pintu.
"Aku putus asa, Eunha ... Aku benar-benar putus asa," ratapnya.
Suaranya bergetar, lebih mirip isak yang tertahan.
Perempuan itu menatapku dalam.
Ia masih mengenakan baju ketika terakhir kali bertemu denganku. Wajahnya tampak pucat dan raut kelelahan terpancar jelas di sana.
Mata yang dulu berbinar, sekarang terlihat hampa.
Terkutuklah lelaki yang telah memperlakukan kami seperti ini!

Mengingat kembali bahwa ia tengah mengandung, hatiku berdebat. Antara rasa iba dan amarah yang telah bercampur jadi satu. Tapi toh akhirnya aku menyilakan ia masuk ke rumah.
Perempuan itu menjatuhkan dirinya di sofa tua lalu menyapu wajahnya sendiri dengan telapak tangan.
Aku buru-buru beranjak ke dapur dan membuatkannya teh hangat.

"Kau salah alamat jika mencarinya kemari. Aku tak tahu dia kemana dan tak berniat juga menyembunyikannya," ucapku sambil meletakkan cangkir teh di hadapannya.
Lalu aku memilih duduk di kursi kayu berada di samping pintu yang membatasi ruang tamu dan ruang dapur. Aku tak punya ruang bersantai. Rumah ini terlalu kecil, hanya terdiri ruang tamu, ruang tidur, dapur dan kamar mandi.

"Tapi kalian sempat bertemu 'kan? Ia datang kemari mencarimu 'kan?" sergah Liz.
Aku mengangguk jujur.
"Dia memang kemari mencariku, kami bertemu dan mengobrol sebentar. Setelah itu dia pergi, aku tak tahu kemana. Ku kira dia datang padamu, karena ia juga mengabarkan bahwa kau mengandung anaknya," jelasku.
Mengingat kembali bahwa perempuan di hadapanku mengandung anak Hoshi, mengandung benih dari lelaki yang ku cintai, hatiku rasanya di tusuk-tusuk.
"Ngomong-ngomong, selamat atas kehamilanmu," ucapku, perih.

Liz terdiam sesaat.
"Eunha, jujurlah padaku. Apa selama ini kalian saling berhubungan di belakangku? Apa kalian menjalin komunikasi kembali?"
Bibirku berdecih mendengar pertanyaan itu. Sungguh itu sebuah pertanyaan yang membuatku terhina.
"Aku bersusah payah melupakannya, aku berjuang sedemikian rupa untuk menghilang dari kehidupannya, dan sekarang kau malah menanyakan hal seperti ini padaku? Aku tidak melakukannya, Liz. Aku tak melakukannya!" bantahku.
"Tapi bagaimana mungkin ia bisa bertemu denganmu di sini? Kau berhasil menghilang sekian lama, tak mungkin kalian bisa tiba-tiba saja bertemu!"
"Dia yang datang ke sini mencariku! Suamimu yang datang kemari mencariku. Bukan aku yang memberitahu atau bahkan menyuruhnya ke sini!" Bantahku lagi.
Dan tak butuh waktu lama bagi kami untuk kembali bersitegang.

Liz kembali mengusap wajahnya dengan telapak tangan.
Aku bangkit, mondar mandir sebentar, lalu melakukan hal yang sama.

"Faktanya, Hoshi masih mencintaiku," ucapku lagi.
"Aku sudah berhasil menjauh, melarikan diri darinya. Nyatanya, ia masih saja berusaha mencariku diriku. Maaf jika kata-kataku melukai hatimu. Tapi hadapi saja kenyataan, Hoshi masih belum sanggup melupakanku. Titik!" Aku menatap Liz dengan tegas.
Dan perempuan itu tak berkutik. Ia tahu bahwa kata-kataku benar.

"Kenapa tidak kau saja yang ganti melarikan diri? Persis seperti apa yang sudah ku lakukan selama ini. Pergilah yang jauh, tanpa pamit. Dan kita lihat, apa Hoshi juga akan jungkir balik mencarimu?" Aku terkekeh, lebih seperti menertawakan diriku sendiri.
Aku menangkap sorot tajam di mata Liz. Mungkin kata-kataku barusan benar-benar melukainya. Dan aku tak peduli.

Hening sesaat.

Aku kembali duduk di kursiku dan kami asyik dengan pikiran masing-masing.
"Bagaimanapun juga kalian sudah menikah, dan sebentar lagi punya anak." Ujarku, memecah keheningan.
"Fakta yang tak terbantahkan adalah, dia memilih bersamamu, Liz. Jadi, bisakah kalian membiarkanku hidup tenang? Aku ingin memulai sebuah kehidupan yang baru, yang lebih aman. Tak peduli jika akhirnya aku harus mencari tempat lain untuk melarikan diri," dan suaraku serak.

Liz duduk termenung, tak segera bersuara.
"Sudah malam, Liz. Bisakah kau ...,"
"Dia tidak memilihku, Eunha." Dan ia memotong pelan.
Kami bersitatap, dan aku melihat air bening menetes dari sudut matanya.
Ia menggeleng lirih.
"Sejujurnya, bukan aku yang ia pilih, tapi kau." Ulangnya.
Aku menatapnya bingung.

"Waktu itu, hari dimana seharusnya kami menikah, ia meninggalkanku di altar, sendirian. Hoshi meminta maaf padaku dan mengatakan bahwa ia tak bisa melanjutkan rencana pernikahan kami. Ia tak mau kehilanganmu, ia ingin bersamamu." Air mata Liz semakin deras mengalir.
"Ia meninggalkanku dan memutuskan mencarimu. Ia datang ke apartemenmu, tapi kau sudah tak ada. Ia terlambat." Lanjutnya.

Dan kedua bahuku luruh.
Membayangkan Hoshi meninggalkan Liz di altar lalu memilih berlari ke apartemenku, mencariku, tiba-tiba dadaku sesak.

"Awalnya ia tetap menolak menikah denganku. Tapi karena aku hamil, ia memutuskan untuk bertanggung jawab. Jadi ...," Liz terisak.
"Ia memilih bersamaku bukan karena ia lebih mencintaiku. Ia hanya mencoba bertanggung jawab dengan bayi yang ada di kandunganku." Ia menutup wajahnya dengannya telapak tangan dan menyembunyikan isak tangisnya di sana.

Aku menelan ludah. Ku rasakan air mataku menitik.
Dan akhirnya tangisku pun pecah.

Kenapa?
Kenapa harus seperti ini?

***

to be continued.

I am Number TwoWhere stories live. Discover now