02.

2.5K 322 20
                                    

"Lusa aku bertunangan," kalimat itu meluncur dari mulut Hoshi.

Aku memejamkan mata sesaat, lalu mengangguk. Tanpa mampu mengatakan sesuatu, tersenyum juga tidak.

Pertunangan adalah hal yang baik. Tapi yang benar saja, yang akan bertunangan besok adalah pacarku, bagaimana mungkin aku bisa tersenyum menghadapi semua ini?

Aku memang sepakat menerima dia kembali, bahkan dengan kebohongan yang telah ia perbuat. Aku sepakat menerima kenyataan bahwa ia akan melanjutkan rencana pertunangannya.

Dan aku juga setuju untuk tetap menjadi pacar rahasianya, menjadi yang nomer dua. Tapi ini, tetap saja menyakitkan.

"Liz dan aku sepakat melaksanakan sebuah pesta pertunangan yang sederhana di salah satu vila ayahku di pegunungan. Jadi ...." ia menyebutkan nama perempuan itu, Liz, tanpa ragu.

Aku mengangkat tanganku muak.

"Intinya aku sudah tahu besok kau akan bertunangan. Kau tak perlu menceritakan detailnya padaku. Aku tak butuh tahu," ketusku.

Hoshi menggigit bibirnya, merasa bersalah.

"Setidaknya kau harus tahu bahwa ... mungkin kita takkan bertemu selama beberapa hari karena ..."

"Aku tahu." Potongku.

"Aku tahu kau akan sangat sibuk kesana kemari dengan tunanganmu. Sudah ku bilang kau tak perlu memberitahuku. Hatiku sakit," aku bangkit dari sofa beludru yang berada di samping tempat tidurku, lalu beranjak keluar.

"Sudah malam, pulanglah." Teriakku sambil melangkah ke dapur, membuka kulkas, mengambil botol dan meminumnya dengan rakus. Hoshi mengikuti langkahku.

"Aku ingin menginap di sini," ucapnya. "Ku mohon, biarkan aku tidur di sini, malam ini."

Aku meletakkan kembali botol minuman ke tempatnya lalu menatapnya sambil terkekeh sinis.

"Hoshi, lusa kau akan bertunangan. Dan bisa-bisanya kau ingin menginap di sini? Apa kau gila?"

"Jika aku tidak gila aku pasti bisa memilih salah satu dari kalian!" ia berteriak. "Kenyataannya aku tidak mampu. Yang mampu ku lakukan hanya menyakiti kalian berdua. Jika tidak gila, lantas apa namanya?" lelaki itu tampak emosional.

Air mataku merebak. Dadaku sesak.

Kehidupan macam apa ini? Hubungan seperti apa yang sedang kami jalani?

"Eunha, aku ...,"

Reflek aku bergerak mundur ketika Hoshi berusaha meraihku. Aku menggeleng-geleng lirih. "Jangan sentuh aku," desisku. "Atau aku akan benar-benar hancur." Lanjutku. Air mataku menitik.

"Aku sedang berusaha menerima kenyataan bahwa lusa kau akan bertunangan. Ini tak mudah! Kau tahu bahwa ... dengan memikirkannya saja ... aku ..." isak tangisku pecah.

Hoshi kembali bergerak, meraih tubuhku. Aku sempat meronta, namun lelaki itu mencengkeram kedua tanganku lalu mendekapku erat.

"Maafkan aku, hanya itu yang bisa ku lakukan." Ia mendesis sembari terus memelukku, membisikan kata-kata maaf di telingaku. Mengatakan bahwa ia mencintaiku, berulang-ulang.

Dan jika sudah seperti ini, aku lemah.

Tak berdaya.

Seolah tak mampu mengambil jalan lain selain berakhir dengan memaafkannya, lalu menerimanya kembali.

***

Tepat di hari pertunangannya, aku sekarat.

Yang ku lakukan malam itu hanya duduk membisu di lantai kamar dengan kondisi gelap gulita. Lampu tak kunyalakan, sengaja. Aku membiarkan tungkai kakiku yang telanjang berselonjor dan merasakan lembabnya lantai keramik. Ku sandarkan punggungku di pinggiran ranjang dengan putus asa.

Membayangkan Hoshi bertunangan dengan perempuan lain, tersenyum ke arahnya, mengatakan cinta padanya, sambil menyematkan cincin berlian di jari manisnya, lalu mencium bibirnya dengan penuh kasih.

Aku meratap, menangis, mengutuki diri sendiri.

Dan aku benar-benar SEKARAT! Seperti seorang pecandu yang membutuhkan asupan narkotik, segera.

Dan pikiranku berkelana kemana-kemana.

Ini baru pertunangannya. Bagaimana jika kelak mereka menikah, berbulan madu, lalu punya anak, punya sebuah keluarga sungguhan yang bahagia. Lalu aku? Bagaimana denganku?

Sampai kapan aku akan menjadi bayangan? Sampai kapan aku akan menjadi orang kedua? Seseorang yang mungkin berusaha ia sembunyikan, yang bahkan takkan mungkin mendapatkan pengakuan dari publik bahwa kami saling mencintai.

Apa aku akan sanggup menghadapi semua? 

Tidak. Aku pasti mati, bunuh diri. Aku takkan sanggup menyaksikan semua itu.

Bahuku terguncang, dan kali ini isak tangisku makin keras. Meraung-raung seperti anak kecil yang kehilangan mainan.

Sudah lama aku ingin melakukannya. Menangis seperti ini.

Mengeluarkan semua amarah, sumpah serapah.

KENAPA KAMI HARUS SEPERTI INI, TUHAN?

***  


tbc    

I am Number TwoOnde as histórias ganham vida. Descobre agora