05.

2.1K 310 48
                                    

Aku menyodorkan secangkir teh ke hadapan Hoshi.
Lelaki itu bersikukuh mengikutiku pulang ke rumah kontrakkanku.
Selain itu, mungkin memang kami perlu waktu untuk bicara. Lagi.

"Kita akan bicara, dan setelah itu pulanglah. Kau tak bisa berlama-lama di sini. Bagaimanapun juga kau lelaki yang sudah menikah, dan aku tak mau terlibat skandal dengan suami orang." Peringatku. Aku menghempaskan diriku di kursi yang berada di dekat pintu, bukan pintu keluar, tapi pintu menuju kamar.
Aku sengaja memilih tempat duduk yang berjauhan dengan Hoshi. Aku tak ingin pria itu bangkit lalu menyentuh tubuhku.
Tidak, sudah cukup.

"Ayo, bicaralah. Dan setelah itu, jangan pernah menemuiku. Kita sudah selesai," Aku membuka suara lagi.
"Aku jauh-jauh mencarimu bukan untuk mengucapkan selamat tinggal padamu, Eunha."
"Kalau begitu biar aku yang mengucapkan selamat tinggal," sergahku. "Aku pergi begitu saja tanpa berpamitan padamu. Jadi anggap saja ini waktu yang tepat untukku, untuk kita, untuk saling mengucap salam perpisahan." Lanjutku.
"Tapi ...," Hoshi bangkit.
Aku buru-buru ikut bangkit.
"Tidak, stop di situ, tuan Hoshi. Jangan pernah kau berani mendekatiku! Atau aku akan berteriak, dan kau takkan pernah bertemu denganku selamanya!" Aku memperingatkan.

Hoshi mematung, lalu kembali ke tempat duduknya. Lelaki itu menyisir rambutnya dengan jemari lalu mendesah.
"Aku takkan pernah bisa berjauhan denganmu. Sejauh aku mencoba melupakanmu, aku selalu gagal. Aku selalu ingin mencarimu, mengetahui keadaanmu, dan ... aku tak pernah berhenti untuk merindukanmu,"
"Dan aku tak peduli," potongku.

Aku bersedekap dan berjalan mondar-mandir dengan amarah tertahan.
"Kau tak bisa melakukan ini, Hoshi. Ini tak adil untukku, untuk istrimu. Kau memutuskan untuk menikahi dia, dan kau harus merelakanku." Aku menatap tajam ke arahnya.
"Tapi ...,"
"Begitu pula sebaliknya, jika kau ingin bersamaku, maka kau harus meninggalkannya. Dia, atau aku? Salah satu saja, tidak dua-duanya!" Aku menjerit.

Hoshi kembali menatapku dengan sorot tak rela.
"Tapi Liz sedang hamil anakku," ucapnya.

Mataku terpejam. Ada hantaman luar biasa di dadaku.
Liz hamil.
Selesai sudah.
"Kalau begitu selamat, dan pulanglah. Kita selesai, dan selamat tinggal tuan Hoshi."
Aku bergerak ke pintu dan membukanya.
"Keluar dari sini," perintahku.
"Eunha ...,"
"Kau mencariku untuk mengetahui keadaanku 'kan? Aku baik-baik saja dan kau bisa tenang. Sekarang, pulanglah."
Lelaki itu menggigit bibir, sosoknya terlihat tak berdaya. Dan ada perasaan iba menderaku.
Lelaki itu menempuh perjalanan 9 jam non-stop demi untuk bertemu denganku, melihat keadaanku.
Ada perasaan berkecamuk dalam diriku, antara marah, dan juga terharu.

Hoshi bangkit, dan berjalan melewatiku menuju pintu. Sesaat ia menghentikan langkah lalu menatapku.
"Aku senang kau baik-baik." Ucapnya.
"Dan, ngomong-ngomong, nomer ponselku masih tetap. Barangkali saja kau ingin berbicara denganku,"
"Tidak, terima kasih," jawabku ketus.
Hoshi mengerutkan bibir, tampak kecewa.
"Bolehkah aku berkunjung lagi kemari? Setidaknya, biarkan aku menjadi sahabatmu,"
Aku menggeleng getir.
"Tidak ada persabatan antara mantan kekasih, Hoshi. Selesai artinya selesai, tamat. Tak berkelanjutan. Persahabatan antara kita adalah bohong, karena kita tahu kemana hubungan itu akan berlanjut jika kita tetap bertemu." ucapku.
"Aku sedang membantumu untuk mengambil keputusan. Jadi, pulanglah." Dan akhirnya kalimatku melunak.
Hoshi menyentuh pipiku lembut.
Ada kristal bening di pelupuk matanya.
Dan tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia beranjak meninggalkanku.

Aku menutup pintu dengan cepat, berharap agar hatiku tidak goyah. Walau sudah.

***

"Siapa lelaki yang kemarin mencarimu?" Elin bertanya buru-buru ketika hari itu kami bertemu di tempat kerja.
"Dia, lelaki yang ku ceritakan waktu itu." Jawabku jujur.
Elin melotot.
"Maksudmu, dia lelaki beristri yang membuatmu melarikan diri kemari?"
Aku mengangguk.
"Lalu untuk apa ia ke sini? Apa kalian ... kembali berhubungan?"
Aku menggeleng cepat.
"Tidak, kami tak punya hubungan apa-apa lagi," jawabku.

"Eunha?"
Aku menoleh ketika ku dengar Kim memanggil namaku.
"Ya?" tanyaku.
"Ada yang mencarimu," ucapnya.
Aku terdiam sesaat lalu mendelik.
"Siapa? Lelaki yang kemarin mencariku? Bilang saja aku tak ingin bertemu dengannya," jawabku.
Kim menggeleng. "Bukan," jawabnya.
"Dia perempuan," lanjutnya.
Aku menautkan kedua alisku.
Perempuan? Mencariku?
"Dia menunggu di ... oh, itu dia." Kim berseru sambil menunjuk arah yang dimaksud dengan dagunya.

Aku menoleh, dan mendapati sosok perempuan yang tengah melenggang ke arahku.
Dan tubuhku membeku. Itu Liz.

Aku baru saja akan menyapanya ketika tiba-tiba perempuan itu menghambur ke arahku lalu menampar pipiku.
Dan belum sempat aku mencerna apa yang terjadi di antara kami, perempuan itu mengulurkan tangan lalu menarik rambutku, keras.
Aku menjerit, berusaha melepas jambakkannya.
"Apa yang kau lakukan?!" Teriakku.
Ku dengar beberapa orang juga berteriak kaget menyaksikan adegan itu. Entah rekan-rekanku, entah para tamu di kedai kopi, yang waktu itu memang ramai pengunjung.

"Sudah ku bilang, jangan ganggu suamiku lagi!" Liz berteriak dengan marah dan terus saja menjambak rambutku dengan membabi buta.
"Suamiku tak pulang sejak kemarin, dan aku tahu ia mencarimu! Katakan padaku dimana kau menyembunyikan suamiku!" Teriaknya.
"Aku tak tahu apa yang kau bicarakan!" Aku berusaha melepaskan rambutku dari tarikan Liz. Sempat berniat menjambak balik atau setidaknya mendorong tubuhnya, tapi kemudian aku ingat bahwa perempuan ini sedang hamil, akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku lebih memilih untuk menahan diri dan sebisa mungkin melepaskan cengkeraman Liz.

"Aku tahu kau berhubungan lagi dengan suamiku!"
"Aku tidak berhubungan lagi dengannya!" teriakku.
"Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kalian diam-diam bertemu di belakangku! Dasar wanita jalang! Jangan menggoda suami orang lagi!"
"Sudah ku bilang aku tak berhubungan dengannya!" Jeritku.

Kemudian ku lihat Kim dan Elin bergerak, dibantu beberapa rekan kami, mereka mencoba memisah perselisihan antara aku dan Liz.
Kim berhasil melepaskan genggaman tangan Liz di rambutku, lalu menarik tubuhnya menjauhi. Sementara Elin berdiri di hadapanku, menghalau diriku, berharap agar aku tidak melakukan pembalasan.

"Jika kau berani menggoda suamiku lagi, aku tidak segan-segan untuk menghancurkan hidupmu!" teriak Liz lagi.
"Sekarang katakan padaku, dimana Hoshi?!" ia kembali berteriak.
Aku menggigit bibir. Merasakan asin darah akibat tamparan Liz yang menyebabkan bibirku terluka.
Perlahan aku menggeleng putus asa.
"Aku tak tahu dimana dia, sungguh. Aku tak punya hubungan lagi dengannya," jawabku.
"Bohong!" Liz kembali berteriak. Ia nyaris berlari menggapai diriku lagi jika saja Kim tidak memegangi lengannya.
"Nyonya, jika kau terus saja membuat keributan di toko kami, kami tak segan untuk memanggil polisi," Kim memperingatkan.
Liz menatap kami secara bergantian dengan sorot tajam.
"Urusan kita belum selesai, dasar perebut suami orang." Desisnya.
Ia menyentakkan tangannya, lalu melangkah meninggalkan kami.

Kim dan Elin buru-buru mengecek keadaanku.
"Kau tak apa-apa?" tanya Kim.
"Bibirmu berdarah," ucap Elin cemas.
Aku menggeleng lirih.
Manik mataku sempat singgah ke beberapa rekanku yang lain dan juga sekian banyak tamu di kedai, yang sempat menyaksikan adegan perkelahian antara diriku dengan Liz.
Drama murahan.
Mereka seolah tengah menonton drama murahan secara live!

Menyaksikan Liz menampar diriku, menjambak rambutku, lalu menyumpah diriku sebagai perebut suami orang.
Dan aku melihat tatapan mereka ke arahku. Mereka menghakimi diriku.
Seolah-olah aku memang perempuan jalang yang merebut suami orang.

Aku menggeleng dan merasakan perasaan getir menderaku.
"Aku tidak melakukannya!" teriakku.
"Aku tidak merebut suami siapapun!"
Aku menatap orang-orang yang tengah memperhatikanku secara acak.
Dan air mataku tumpah sudah.

Aku merasakan Kim dan Elin menggamit lenganku. Namun aku menyentakkanya lalu memilih berlari, menuju kamar mandi.
Dan aku mengunci diriku di sana, lalu menumpahkan seluruh sedu sedan.

Mengingat kembali bagaimana aku dipermalukan di depan umum. Mengingat kembali bagaimana Liz menghina diriku dan merendahkan harga diriku.
Pantaskah aku menerimanya?
Pantaskah ia melakukan ini padaku?

Aku tidak melakukannya, aku tidak merebut siapapun, desisku parau.

Dan aku benar-benar tak menyangka bahwa mencintai seseorang, akan terasa sehina ini!

***

to be continued

I am Number TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang