Putih

19 0 0
                                    


Aku mulai menatapnya saat ia makan. Masih ingat betul aku pada saat itu. Ia makan dengan sangat lahap, dihadapanku, sesekali ia membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel pada mulutnya yang terbalut lipstik merah. Matanya yang coklat dan rambut yang agak sedikit berwarna. Mirip besi hitam yang ada bercak karat di dalamnya.

Saat itu kami berada di mall yang sangat besar, di kota pahlawan; Surabaya.

Kulit putihnya, aku ingat betul. Postur tubuh yang tak terlalu tinggi. Iya, ia adalah Nadya ku.

Seketika, Stasiun Mojokerto menjadi tempat yang mungkin bosan mendengarkanku menghela nafasku dan menghembuskan asap rokok bertubi-tubi. Menghisapnya dalam-dalam. Mengebulkan asap kuat-kuat.

Aku duduk dengan pemandangan orang-orang yang datang dan pergi. Ada yang kedatangannya untuk selamanya, ada pula yang kedatangannya hanya singgah sesaat. Ada yang kepergiaannya untuk selamanya, ada pula yang kepergiaannya hanya untuk memberikan kita pelajaran yang terpenting dan arti dari; selamat tinggal.

Kereta api sili berganti berdatangan. Aku hanya melihat dari tempat dudukku dan menghisap rokok dalam-dalam. Di samping kiriku, papan 'Smoking Area' menatapku.

"Pergilah. Tinggalkan ia yang mencoba bahagia dengan apa yang ia miliki." Dan ia mengajakku berbicara.

"Ah, kau hanya papan yang mencoba menjadi dukun baru," Kataku. "Tahu apa kau tentang masalah ini?" Tanyaku.

"Tatapanmu jelas mengisyaratkan harapan. Harapan yang tak kunjung datang. Kau kira aku tolol akan hal ini?" Marahnya kepadaku. Aku hanya diam. Membiarkan dia berkata-kata mutiara. Aku sudah terlalu bosan dengan makanan seperti itu.

Kini, dihadapanku, bangku yang ku duduki menghadap ke rel kereta itu, berbicara juga, "Cinta itu saling membalas. Ku buat kau nyaman dan kau menjagaku supaya aku aman. Seperti itu gambaran cinta antar dua manusia yang berbeda." Katanya.

"Namun, kita itu sebenarnya sama." Sanggahku.

"Apakah kalian berdua kencing berdiri?" Tanyanya. "Iya, eh," Jawabku terhenti. "Maksudmu?" Tanyaku kembali.

"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya membenarkan apa yang menjadikan landasanku mengapa kalian berbeda. Disitulah ketika yang satu mengedepankan logika dan yang satu mengesampingkan logika. Namun, keduanya tahu akan situasi yang sedang dihadapi." Dan aku menjadi edan.

Aku pergi meninggalkan mereka. Aku berjalan menuju musholla. Senja sudah sangat dalam. Adzan terdengar di masjid-masjid dalam kampung. Aku lihat, pandanganku mengarah kepada rel kereta itu, melihat kampung dan jalanannya. Ramai, namun tak terlalu bising. Hanya anak-anak kecil berlarian menuju ke masjid ataupun musholla. Aku tahu betul jalan itu akan mengarah kemana, namun aku tak pernah tahu jalan kehidupanku sendiri berakhir seperti apa. Akankah suatu saat nanti kita akan menyerah kepada keadaan? Kepada situasi? Yang hanya karenanya, kita tak dapat menemukan jalan kita sendiri, lalu marah-marah dan menyalahkan hujan yang turun? Aku rasa tidak.

Ingatanku merebak. Meraba-raba ketika aku mencoba melupakannya.

Tempat dimana aku menceritakan kesenanganku, akan cinta yang datang perlahan, di sebuah warung di antara dua sekolah menengah atas yang terkenal di kecamatan Sooko itu. Yang berdiri dijalan yang sangat lebar, yang jalan menuju ke kota itu. RA. Basuni, namanya. Nama Bupati pertama Mojokerto pasca-kemerdekaan.

"Cukup!" Teriakku dalam hati. "Otak, kau tahu bahwa ingatan itu sangat menyakitkan?" Kataku. Ia berani menyanggah, "Kau sendiri? Tahu bahwa apa yang kau rasakan dan kau pertahankan itu menyakitkan, mengapa kau menyalahiku? Benar kata papan itu. Benar pula kata bangku tempat menunggu itu. Kau harus pergi." Katanya yakin.

PutihWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu