67: On The Way To The Shore...

Začít od začátku
                                    

“Tunggu. Ingat-ingat lagi, Tabitha. Pyrrestia dan Gaelea dibatasi jurang dan hutan Vidar, ‘kan?” tanya Sakura. Tidak pernah ada jalan darat yang dibuka antara Pyrrestia dan Gaelea. Hanya beberapa falcon yang terbang melewati jurang dan hutan tersebut, untuk keperluan-keperluan tertentu. Para fayre sendiri juga tidak bisa terbang. “Itu berarti....”

“Ya, hanya itu.” Tabitha mengangkat alis. “Kenapa?”

Sakura tertegun. Pikirannya berputar-putar. Kebetulan sekali.

“Pikirkan soal meriamnya,” katanya. “Űbeltat bisa menembakkan bola meriam ke Etheres dengan mudah, dari suatu tempat di manor itu. Dia juga bisa menembakkannya sampai ke Gaelea, berarti....” Mendadak merinding, tatapannya beralih pada Higina. “Pikirkan suatu tempat di Gaelea, atau tempat di dekatnya, yang bisa ditembak dengan mudah dari kejauhan. Lupakan jaraknya. Pikirkan saja.”

“Gaelea tidak punya tempat semacam itu,” geleng Higina. “Suatu tempat yang bisa ditembak dari kejauhan pasti... tinggi sekali. Sebuah menara atau apalah.”

“Menara!” seru Ayumi, tiba-tiba tersadar. “Portamortalis!”

***

Berjam-jam kemudian, di lepas pantai Pyrrestia, seorang wanita muda duduk di atas bangkai perahu yang terdampar di bibir pantai sambil menghisap rokok murahan. Wajahnya persegi dan mungil, bibirnya yang dilapisi lipstik tebal membuatnya selalu terlihat marah. Wanita itu memakai gaun desa biasa yang digunting dan dimodifikasi di sana-sini, bahunya terbuka, memperlihatkan bekas cakaran anjing dan semacam tato asal-asalan di dekat tulang selangkanya. Rambutnya hitam legam, ditata ke atas oleh sebuah jepit rambut. Wanita itu terlihat seperti seorang pelacur biasa.

Sekarang masih jam 2 dini hari. Langit hitam keunguan bertaburan bintang di atas kepalanya. Sesekali wanita itu mencabut rokok dari mulutnya dan menghirup asap rokok yang harum, menghela napas, kemudian merokok lagi. Asap putih membubung dari ujung rokok yang terbakar.

Apa yang bisa dilakukannya?

Rumah pelacuran terletak beberapa puluh meter dari tempatnya duduk, tidak terlalu jauh. Namun tidak ada yang menggunakannya lagi di sana. Dia masih muda, memang, tetapi ada yang lebih muda dan cantik daripada ia di rumah pelacuran itu. Wanita itu terlupakan. Ia mendesah. Yang bisa dilakukannya sekarang adalah menatap laut lepas di hadapannya, mendengarkan deburan ombak yang menenangkan, sambil merokok di tengah heningnya malam. Itupun sudah cukup. Wanita itu sering berpikir bahwa lebih baik ia dibawa ke Efthralier, menjadi pelayan atau apapun, daripada tinggal di tempat membosankan ini.

Semuanya karena Űbeltat.

Andaikan pria itu tidak menyita seluruh asetnya (hanya karena wanita itu mengatakan sedikit hal buruk tentang Űbeltat di depan salah satu tentara sialannya), ia tidak akan berakhir sebagai pelacur. Wanita itu masih bisa hidup layaknya lady dan para pria akan berebutan melamarnya. Sekarang, di pinggiran Pyrrestia yang kotor dan berbau ikan mati, ia bukan apa-apa selain pelacur yang kotor. Tidak ada laki-laki yang menginginkannya.

Terdengar suara keresek pelan.

Wanita itu terkejut. Tidak ada siapapun di pantai ini selain dirinya, dan suara itu juga bukan berasal darinya. Mungkin itu hanya imajinasinya?

“P-permisi?”

Nah, ia pasti sedang benar-benar bermimpi. Mungkin ia tertidur di atas bangkai perahu ini dan....

“Permisi, jam berapa sekarang?”

Sekarang suara tersebut berada tepat di belakangnya dan wanita itu nyaris terjatuh dari tempatnya duduk. Ia menoleh ke belakang, terhenyak. Ternyata hanya tujuh orang remaja... berpakaian mewah. Tiga laki-laki dan empat perempuan. Kurang lebih berumur 170 sampai 180-an. Ketujuh remaja itu berdiri di hadapannya seperti anak kecil yang ketahuan mencuri pakaian tetangga dan kini sedang menunggu dimarahi ibunya.

ElementbenderKde žijí příběhy. Začni objevovat