VI : Ayah, ibu, anak - kekasih

1.1K 16 0
                                    

Sisa sinar dari bintang-bintang telah sirna, sebaliknya sang embun mendemakkan baju, selagi begitu, pekarangan rumah sunyi-senyap, sebab keadaan di sekitarnya seperti membeku. Adalah dalam kesunyian seperti itu mendadak terdengar tangisan sedu-sedan, bagaikan jarum yang lancip tajam menusuk udara yang kosong itu.
In Boe Yang segera juga berpaling, maka terlihat olehnya bahwa isterinya, dengan membawa gulungan gambar, setindak demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan di sisinya pohon bwee. Isteri itu tak berpaling sedikit juga terhadap suaminya itu.

Sendirinya, hati Boe Yang menggetar, bagaikan semangatnya meninggal raga kasarnya. Berulang-ulang ia menyebut "Poo Tjoe" akan tetapi suaranya tak terdengar, panggilan itu tak pernah keluar dari mulutnya.
Nyonya In berjalan lewat di sisinya mayat Tjio Thian Tok.
"Thian Tok, kau legakan hatimu," katanya, perlahan tetapi tedas. "Gambar ini pasti aku akan antar ke rumah kau. Aku pun akan memperlakukan anakmu seperti aku merawati So So."
Agaknya si nyonya berkuatir nanti membikin kaget jago tua itu.
In Boe Yang merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kehilangan akal budinya, kapan kemudian ia mengangkat kepalanya, sekalipun punggung isterinya itu sudah menghilang dad pandangan matanya.
Lama, lama sekali, baharulah Boe Yang dapat membuka suaranya. Itulah suara dari kedukaan yang sangat, dari hati yang mencelos, putus asa. Ia lantas merasakan takut, lebih takut daripada kepergiannya isterinya barusan. Ia baru menggeraki kakinya, atau di situ muncullah puterinya yang muda belia. Tak tahu ia kapan anak itu datang, tahu-tahu si nona sudah tengah menyender di sebuah pohon bwee, sinar matanya juga mengandung sinar kekuatiran, sinar ketakutan. Kelihatannya anak dara ini seperti tak mengenali ayahnya itu.
"So So!" akhirnya Boe Yang memanggil. Ia telah mesti menguati hati untuk dapat membuka mulutnya itu.
In Boe Yang segera juga berpaling, maka terlihat olehnya bahwa isterinya, dengan membawa gulungan gambar, setindak demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan disisinya pohon bwee. Isteri itu tak berpaling sedikit juga terhadap suaminya itu.
Sinar matanya si anak melintas kepada wajahnya ayah itu, kembali ia nampaknya seperti dapat melihat sesuatu yang membuatnya sangat takut, bahkan ia mundur tiga tindak!
"Semua-mua aku telah mendengarnya!" katanya tajam, bagaikan teriakan, "Semua-mua aku telah mengetahuinya! Jangan datang dekat padaku!"
Tubuhnya Boe Yang bergidik, bergemetar. Tiba-tiba ia menarik napas panjang. Ia lantas saja mengasi dengar nyanyiannya yang seperti orang menangis:
"Mengingat langit dan bumi yang demikian samar, siapakah yang mengenal aku?
Mengingat akan hari ayal si ksatria, menang pun apanya yang harus dibuat girang?
Dan kalau kalah, apanya yang harus dibuat berduka?
Beginilah penghidupan yang gampang menghilang. Burung hong terbang, burung loan melayang, maka itu siapakah yang nanti mengikuti aku?"
Dengan diimbangi tindakan kaki, suara itu makin lama makin jauh terdengarnya.
Terluka hatinya So So, airmatanya bercucuran deras.
"Ayah! Ayah!" ia memanggil tanpa merasa. Tapi ayahnya itu sudah tak dapat mendengarnya.
Nona ini menyender pula pada pohon bwee, ia menangis tersedu-sedu, sampai kemudian ada tangan yang halus dan hangat, dengan perlahan sekali, merabah rambut kepalanya. Lalu itu disusul dengan satu suara yang sabar dan lembut: "So So, So So, jangan menangis..."
Si nona mengangkat kepalanya. Tiba-tiba: "Hian Kie!" panggilnya. Dan air matanya turun semakin deras.
Hian Kie tidak dapat membilang suatu apa, ia mengeluarkan sapu tangan suteranya, dengan perlahan-lahan ia menyusuti air mata si nona.
Selang sesaat, sambil menangis sesegukan, So So berkata: "Oh ayah! Ayah yang menyebalkan, ayah yang harus dikasihani! Hian Kie, kau tak tahu, semenjak masih kecil aku telah memandangnya ayah sebagai satu-satunya ksatria di kolong langit ini, yang tak ada yang ke duanya!..."
"Memang juga sekarang ini tidak ada orang yang dapat menandingi ayahmu," Hian Kie membenarkan.
"Benar, mulai hari ini, ayahlah yang ilmu silatnya paling nomor satu lihay!" membenarkan juga si nona, "akan tetapi patung yang aku punya di dalam hatiku sudah hancur lebur, dia bukan lagi itu ksatria yang aku junjung! Dia sudah mencuri kitab pedang kakekku, dia telah memaksa ibuku mengangkat kaki, dia membunuh sahabat-sahabatnya, dia telah mengurung Siangkoan Thian Ya, bahkan dia tak segan membantu itu komandan Kimie wie untuk membekuk rekan-rekannya! Semua itu aku ketahui sekarang!"
"Dia mengurung Siangkoan Thian Ya?" tanya Hian Kie heran. "Ah, di manakah Siangkoan Thian Ya sekarang?"
"Tadi malam aku telah bertemu sama Siangkoan Thian Ya," menyahut si nona. "Banyak hal yang dia telah memberitahukannya kepadaku. Di dalam dua hari ini, aku pula telah mendengar sesuatu hal. Aku percaya Siangkoan Thian Ya tidak mendustakan aku. Ya ayahku memanglah si orang busuk!"
Hian Kie merangkul nona itu, ia menatap matanya di mana airmata mengembeng sinar matanya sayup-sayup, menandakan terlukanya hatinya.
Memang, di dalam dunia ini ada urusan pribadi apakah yang dapat melebihkan putus asanya seorang anak terhadap ayah atau ibunya?
"Kau legakan hatimu," Hian Kie menghibur. Tanpa merasa ia mencium pipi orang.
"Mungkin semua ini bukannya kesalahan ayahmu seorang," katanya pula.
So So mengawasi.
"Bukankah kau hendak membunuh dia?" ia menanya.
Si pemuda menghela napas
"Inilah urusan yang sangat ruwet, benar salahnya, sekarang ini sulit untuk dijelaskan," ia menyahut. Ia mendongak, melihat sinar matahari sudah tiba di dalam pekarangan. Ia melepaskan kedua tangan si nona, yang ia pegangi, lalu ia berbangkit untuk berdiri.
"Ibuku sudah pergi, ayahku sudah pergi, apakah kau juga hendak pergi?" menanya So So, mengawasi.
"Ah," Hian Kie kata seperti mengeluh, "jikalau kau menitahkannya aku pergi, akan aku pergi..."
Si nona menangis pula.
"Baiklah, kau pergilah..." katanya.
Pemuda itu melengak.
"So So, benar-benarkah kau menghendaki aku pergi?" ia menegasi.
"Aku tidak menghendaki kau pergi, tetapi aku juga tidak sudi orang jemu terhadapku," jawab si pemudi.
Hian Kie heran.
"Apakah maksudmu?" ia menanya pula.
"Aku tahu di hatimu sudah ada seorang lain, ialah nona yang kau paling menyintainya..."
Mendengar itu, Hian Kie tertawa.
"Di dalam dunia ini di mana ada lain nona yang terlebih manis daripada kau?" katanya. "Rupa-rupanya kau mendengar hal ini dari Thian Ya."
"Apa dan perlunya Thian Ya mendustai aku?"
Hian Kie tertawa pula.
"Nona itu justeru ada nona yang paling manis di matanya Thian Ya sendiri! Dan nona yang diukir di dalam hatiku adalah kau!"
So So mengawasi, sinar matanya penuh dengan kesangsian.
"Benarkah itu?" menegasinya dengan perlahan.
"Siangkoan Thian Ya menyintai nona itu melebihkan ia menyintai dirinya sendiri," Hian Kie berkata pula. "Tetapi dia menyangka bahwa jodoh nona itu dengan jodohku adalah perjodohan yang paling manis dan mempuaskan. Sebenarnya, sama sekali aku tidak berpikir demikian. Berulang kali telah aku menjelaskannya kepadanya, tetap ia tak mau mempercayainya. So So, mustahilkah kau juga tidak percaya aku?"
Matanya si nona bersinar terang.
"Pantas juga Siangkoan Thian Ya telah mencaci aku," katanya, "kiranya dia kuatir aku nanti merusak perjodohan kamu."
"Baiklah, segala apa sudah terang sekarang!" kata Hian Kie. "Mari kita pergi kepada Thian Ya, untuk memerdekakan padanya."
"Tidak, dia tidak sudi mengangkat kaki!"
"Apa? Dia tak sudi pergi?"
"Benar! Tadi malam dia bilang padaku, sekalipun ayahku yang menyuruh dia pergi, dia masih tak sudi pergi!"
Hian Kie menjadi heran sekali.
"Kenapa dimerdekakan tetapi dia tak sudi pergi. Tabiatnya benar-benar aneh!"
"Aku justeru menyukai tabiat orang semacam dia!" kata So So, yang terus menunduk. "Ah, Hian Kie, dapatkah kau juga bertabiat seperti dia itu?"
Hian Kie bertambah heran.
"Kau menghendaki tabiatku seperti tabiat dia?" katanya. Tiba-tiba datang sinar terang di dalam hatinya, maka lekas ia menambahkan perkataannya, menambahkan dengan halus: "Bisa, aku juga bisa bertabiat seperti dia terhadap nona itu, aku menyintai kau melebihkan aku menyintai diriku sendirl. Jikalau tidak, tidak nanti tadi malam aku mencuri datang ke mari!"
So So girang berbareng jengah, hingga ia menjerit "Ah!" tanpa merasa, menyusul mana ia dirangkul pula si pemuda.
"So So, aku minta kau antar aku kepada Siangkoan Thian Ya," ia minta.
Si nona merapikan pakaiannya, terus ia cekal tangan si anak muda, untuk ditarik, dituntun melintasi pintu belakang. Mereka jalan di sebuah jalan kecil yang banyak tikungannya, hingga tidak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah guha, yang kedua pintunya yang besar dan tebal tertutup rapat.
"Guha ini dibikin dan diperlengkapi ayahku peranti dia berlatih silat," So So menerangkan. "Aku sendiri baru tadi malam untuk pertama kalinya memasukinya secara mencuri. Siangkoan Thian Ya dikurung di dalam guha ini."
Nona ini bertindak hingga di depan guha sekali.
"Coba kau putar itu gelang pintu," ia kata pada Hian Kie, yang mendampingi padanya, "kau putar ke kiri tiga kali, lalu ke kanan tiga kali juga, nanti pintu terbuka sendirinya."
Hian Kie sudah lantas bekerja menuruti petunjuk nona itu. Hanya ketika tangannya menyentuh daun pintu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia lantas mendorong dengan perlahan, lalu terjadilah hal yang aneh. Kedua daun pintu roboh menjeblak karena dorongan yang sangat perlahan itu, roboh hancur menjadi banyak potongan kecil, mirip dengan dempul.
So So heran hingga ia mengeluarkan jeritan tertahan.
"Eh, mengapa begini?" katanya.
Daun pintu itu terbuat dari kayunya semacam pohon yang terdapat di gunung Holan San itu, kayu yang kuat, dibuatnya pun tebal, dalam keadaan biasa, untuk mendobraknya dengan golok atau kampak pun akan meminta tenaga dan tempo, siapa tahu sekarang terdorong perlahan tetapi runtuh. Ketika tadi malam So So datang ke situ, pintu masih tegar dan kuat seperti biasanya.
Bagaikan tak percaya akan diri sendiri, si nona menatap si pemuda. Ia mendapatkan orang heran berbareng tak tenang hatinya.
"Mari," kata si nona. Ia mengajak si anak muda menyentuh daun pintu yang hancur itu, mereka hanya menggunai sedikit tenaga, potongan-potongan kecil itu lantas merupakan abu.
"Inilah akibatnya satu serangan tenaga dalam," kata Hian Kie kemudian. "Rupanya orang itu sengaja hendak mempertontonkan kepandaiannya yang mahir itu. Lihaynya ialah dia merusak bagian dalam, bagian luarnya pintu nampak wajar saja."
"Benar, inilah akibat serangan tenaga dalam," si nona membenarkan. "Hanya sekarang ini siapakah yang tenaga dalamnya begini lihay?"
Hian Kie tidak menjawab, ia hanya berpikir. "Kalau Tjio Thian Tok masih hidup, ia mau menduga jago she Tjio itu, tetapi menurut pembicaraan Thian Tok dan Nyonya In kemarin, dia cuma memikirkan usahanya untuk junjungannya yang muda, dia tidak tahu suatu apa mengenai Siangkoan Thian Ya. Maka pengrusakan pintu itu pasti bukan perbuatannya Thian Tok itu. Habis, siapakah?"
"Hian Kie, kau memikirkan apa?" menanya si nona mendapatkan orang menjublak.
"So So," Hian Kie tidak menjawab, hanya balik menanya, "tadi malam jam berapa kau datang ke mari?"
"Kira-kira dekat jam empat," menyahut si nona. "Ah, itu waktu dia dengan Thian Tok sudah bertempur..." katanya seorang diri. "Eh, kau memikir bagaimana?" tanya So So. "Mengapa kau menyebut-nyebut ayahku? Mustahilkah ayah mau merusak kamar berlatihnya sendiri? Jikalau ayah hendak memerdekakan orang, tidakkah dapat ia membuka saja pintunya?"
"Memang benar. Inilah yang menjadi anehnya!"
Si nona pun berpikir keras. Pintu bukan dirusak Thian Tok. Kalau begitu, masih ada seorang lain yang dapat menandingi lihaynya ayahnya. Siapakah dia itu? Pula terang, dia berlaku demikian selaku satu tantangan terhadap ayahnya.
"Mari kita masuk akan melihat ke dalam," Hian Kie mengajak. "Entah bagaimana dengan Thian Ya... Thian Ya! Thian Ya!" ia lantas memanggil-manggil. "Saudara Siangkoan, bagaimana dengan kau?"
Tidak ada jawaban dari dalam guha, tak terdengar suara apa jua.
Hian Kie bergelisah, cemas hatinya. Ia menduga Thian Ya tengah terluka parah. Maka ia berlari masuk. Tiba di dalam, ia berdiri melengak. Guha itu kosong. Dengan pintu besarnya runtuh, cahaya matahari dapat masuk ke dalam dan segala apa nampak terang. Siangkoan Thian Ya tak ada di situ.
So So menjadi terlebih heran dari pada si anak muda. Ia bahkan kaget.
"Dia yang membilangnya sendiri, kalau bukan dia yang menerjangnya, tidak nanti dia sudi berlalu dari guha ini?" katanya seorang diri. "Siapa pun yang memintanya, dia bakal menolak. Dia rela mengubur diri di gunung belukar tetapi dia tidak sudi menerimanya belas kasihannya siapa juga! Tapi sekarang?"
Hian Kie berpikir tetapi matanya memandang ke sekitar guha. Di tembok itu terdapat banyak lukisan yang mengenai ilmu silat pedang, tegas terlukis pelbagai sikap dedak. Ia memperhatikannya, tetapi tidak gampang untuk ia segera dapat mengerti.
"So So," kemudian ia menanya pula si pemudi, "bagaimana caranya kau bertemu Siangkoan Thian Ya dan apakah katanya?"
Si nona tidak lantas menjawab, hanya ia berkata: "Aku hidup di gunung ini semenjak masih kecil, kecuali dengan ayah dan ibuku, sangat jarang aku bertemu dengan orang lain siapa juga. Ada kalanya aku turun gunung, untuk berburu tapi belum pernah aku melintas lebih jauh daripada lima lie di sekitar sini. Hanya tak tahulah aku, sejak itu hari aku melihat kau untuk pertama kali lantas aku mendapat perasaan bahwa kau mirip orang yang terdekat denganku..."
"Inilah aneh. Kenapa hati kita serupa? Ketika itu hari aku sadar, begitu melihat kau, aku lantas merasa kaulah adikku dengan siapa aku belum pernah bertemu."
Kedua belah pipinya si pemudi menjadi bersemu dadu.
"Ketika tadi malam aku mengasi makan kuda putihmu, aku lantas ingat kau," katanya perlahan, "maka itu aku lantas lari ke atas gunung di mana aku menabu khim. Apakah kau mendengar itu?"
"Aku justeru kena ditarik oleh suara khim dan nyanyianmu itu," Hian Kie aku. "Aku tidak menyangka bahwa demikian rupalah kesanmu terhadap aku. Semoga mulai hari ini kita berdua tak bakal berpisah lagi!"
So So menyingkap rambutnya, ia bersenyum manis. Cuma sebentar ia memandang si anak muda, lantas ia tunduk.
"Sembari menabu khim, aku terus memikirkan kau," ia berkata pula, mengaku. "Aku ingat halnya kau hendak membunuh ayahku. Tegang hatiku, aku cemas sekali. Itulah bukan disebabkan kau dapat membinasakan ayah. Ayah pernah membilang, jikalau kau hendak melawan ayah, untuk dapat berimbang saja, kau masih harus berlajar lagi sedikitnya sepuluh tahun. Aku hanya berkuatir untuk ayahku. Aku sangat memuja ayah, maka takut aku bahwa ia benar-benar seorang busuk? Pula aku menguatirkan keselamatanmu andaikata kau dapat bertemu sama ayah. Tanpa aku berada bersama, ayah dapat membunuhmu! Di sebelah itu aku memikirkan segala apa yang aku lihat dan dengar selama dua hari ini. Di mataku, semua perbuatan ayah tak wajar adanya, lebih-lebih kenapa ayah tidak sudi membayar pulang kitab pedang itu dan ia mengurung Siangkoan Thian Ya?... Ya, ayah bersikap tidak manis terhadapmu, hal itu membuatnya aku malu sekali. Maka itu, sebagai seorang yang berdosa, yang hendak menebus dosanya itu, ingin aku berbuat sesuatu untuk menyenangi hatimu. Untuk ini, aku juga bersedia untuk berbuat baik terhadap orang yang biasa berbuat baik terhadapmu. Demikian, aku jadi ingat Siangkoan Thian Ya. Bukankah dia telah datang kemari dengan menempuh bahaya? Bukankah dia telah sudi melepaskan kedudukannya sebagai Tjiangboendjin partainya, bahkan dia rela tak mendapatkan kitab pedang, asal itu semua dapat ditukar dengan kemerdekaanmu? Aku juga memikir kau pastilah hendak menolongi dia."
"Siangkoan Thian Ya itulah sahabatku satu-satunya yang mengenal aku baik sekali," berkata Hian Kie, "cuma dia masih belum dapat menembusi hatiku sebagaimana yang kau berbuat. Aku heran, kenapa pikiranmu selalu akur dengan pikiranku, sebagai juga hati kita berdua terangkap menjadi satu?"
Tanpa merasa keduanya saling memegang tangan mereka dengan erat sekali.
Kemudian si nona menghela napas perlahan.
"Sebenarnya ayahku sangat menyayang aku," ia menambahkan, "maka mimpi pun tidak yang sekarang aku mesti menentanginya. Demikian tadi malam aku telah berlaku dengan diam-diam datang ke mari untuk membuka pintu guha ini, untuk menolong memerdekakan Siangkoan Thian Ya. Sebenarnya aku jeri untuk sikapnya yang bengis itu, tetapi aku telah mengambil keputusan, andaikata ia salah mengerti dan hendak menghajar aku, aku tidak akan membalasnya."
"Adikku, kau baik sekali!" Hian Kie memuji, kagum. Ia tahu betul, kecuali ibunya sendiri yang bijaksana tidak ada lain orang daripada si Nona In ini yang begini polos.
"Benar saja, bermula kita bertemu, dia bersikap garang sekali," So So melanjuti, "cuma tidaklah sampai dia menyerang aku. Setelah dia mendengar perkataanku, aku lihat dia menggigil, tubuhnya gemetaran. Dia bilang sungguh dia tidak menyangka bahwa aku sudi berlaku demikian baik hati terhadapnya. Mulanya dia tertawa, kemudian dia menangis, rupanya saking terharu. Kemudian dari itu, kau tahu, dia mendamprat aku! Dia menegur aku, aku tahu atau tidak bahwa kau telah mempunyai kekasih..."
"Salah faham itu tadi aku telah menjelaskannya," kata Hian Kie tertawa. "Apa lagi katanya dia?"
"Aku menahan sabar, aku lawan kesedihanku, aku membiarkan dia mencaci aku," menyahut si nona. "Aku tetap berlaku baik dengannya. Aku bilang, jikalau dia menghendaki kitab pedang, akan aku mencurinya untuknya, supaya dia boleh mengangkat kaki. Aku pun membilangi dia bahwa kau sudah lolos dan selamat, karenanya tidak ada artinya untuk dia berdiam lebih lama pula di sini, bahkan lebih baik dia mengambil kitab pedang sebelum ayahku pulang, untuk dia kabur. Di luar dugaanku, kembali dia menunjuki tabiatnya yang keras."
"Demikian memang tabiatnya Siangkoan Thian Ya!" kata pula Hian Kie, tertawa.
"Dia bilang kitab pedang itu ada kepunyaan partainya, Boetong Pay, maka itu katanya, perlu apa dia mengambilnya dengan jalan mencuri. Dia memastikan, kecuali dia dapat mengalahkan ayah hingga ayah rela menyerahkannya, biarnya aku mengantarinya kepadanya, biarnya dia dianjurkan menyingkir, tidak sudi dia melakukannya. Dia telah bersumpah bahwa dia lebih suka mati daripada berbuat begitu. Sambil tertawa dingin, dia kata: "Ayahmu sengaja berlaku bijaksana, dia seperti bermaksud baik untuk menolong aku, tetapi aku tidak kesudian menerima budinya itu. Kitab itu ada milikku! Sungguh, aku tidak mengerti maksudnya itu."
Mendengar sampai di situ, Hian Kie ketahui sudah maksudnya Siangkoan Thian Ya. Maka ia tertawa pula.
"Kau lihat semua lukisan di empat penjuru tembok ini," ia berkata kepada si nona sambil tangannya menunjuk keliling tembok. "Bukankah itu peta dari ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat?"
"Mungkin benar," menyahut si nona, "Aku mempelajari Tat Mo Kiamhoat itu baru tiga bagian, semuanya yang aku pelajari berada dalam peta ini. Kau lihat itu peta jari tangan, itulah ilmu silat Ittjie Sian. Aku mengerti sekarang, ayah telah melukiskan di sini semua kepandaiannya, maka itu siapa dapat meyakinkan semua ini dengan sempurna, dia lebih menang daripada belajar menuruti kitab pedang itu. Ayah mengurung Siangkoan disini, rupanya ia bermaksud biarlah Thian Ya mempelajarinya. Sekarang tidaklah heran lagi yang Thian Ya tidak sudi berlalu dari guha kurungannya itu!"
So So mengatakan demikan, akhirnya ia heran sekali, sebab Thian Ya toh menghilang juga.
"Menurut tabiatnya Thian Ya," kata Hian Ki, "asal dia bersumpah tidak mau pergi, meskipun gunung ambruk dan bumi longsor dan guha ini keurukan, tidak nanti dia lari keluar, tetapi sekarang dia menghilang, inilah aneh."
Keduanya berpikir, keduanya bicara lebih jauh, dengan duga-dugaan mereka, tetap mereka tidak mengerti, tidak ada dugaan mereka yang tepat. Hian Kie menjadi masgul sekali.
"Dia sudah pergi, tidak ada perlunya kita berdiam di sini lebih lama pula," kata So So kemudian. "Mari kita pulang. Kau tentunya sudah lapar."
Hian Kie menurut, maka mereka kembali ke rumah. Melihat rusaknya lantai dan pohon bwee, yang daunnya berhamburan, keduanya berduka. Rumah yang tadinya demikian tenang seperti tempat dewa dewi, sekarang kacau tidak keruan. Segala apa nampak menyedihkan dan seram juga.
"Mari kasi aku pinjam pacul," Hian Kie minta. So So carikan alat yang diminta itu. Ia mengerti maksud orang.
"Kau bekerjalah sendiri," katanya sambil memberi hormat, "aku hendak menyalin pakaian sekalian terus mematangi sesuatu untukmu."
"Pergilah," menjawab si anak muda, yang terus saja bekerja. Ia menggali lubang, yang mana mengambil tempo lama juga, sesudah mana, ia pondong tubuhnya Tjio Thian Tok untuk dikubur di situ, dikubur menurut cara yang paling sederhana. Tidak ada perlengkapan, tidak ada upacara, cuma kemudian, di atas itu ditumpuk cabang-cabang pohon dan dedaunan. Ia menjadi sangat terharu mengingat demikian macamlah akhirnya seorang gagah perkasa, yang pernah mengeluarkan tenaganya untuk negara.
Belum lama Hian Kie selesai beketja, So So muncul dengan pakaian baru. Si nona tidak datang menghampirkan, ia hanya menyender di pintu.
"Eh, mengapa kau menjublak memandang aku?" menegur ia sambil tertawa geli. Memang Hian Kie mendelong mengawasi ia. "Apakah kau belum kenal aku?"
"Dengan dandananmu ini, ya, kau sungguh cantik!" memuji si anak muda, yang kesengsam, hanya habis itu, ia menghela napas. Ia masih terharu dan penuh dengan pelbagai dugaan.
"Ada apakah yang luar biasa?" tanya si nona. "Bajuku ini aku bikin menurut pola yang direncanakan ayahku, katanya inilah pakaian dari jaman tigapuluh tahun yang lampau, yang ketika itu sangat digemari. Dan ini sepatu sulam dengan dua ekor burung hong dan terabur mutiara sekarang sudah sangat jarang orang yang memakainya."
"Ibuku juga mempunyai sepatu semacam ini," berkata Hian Kie. "Ibu simpan itu di dalam koper, satu kali aku pernah melihatnya, cuma belum pernah aku lihat ibu memakai itu."
Si nona berdiam sebentar, lalu ia berkata pula: "Karena ini ada dandanan tigapuluh tahun yang berselang, tidak heran jikalau ibumu masih menyimpannya." Ia mengatakan demikian, tapi sebenarnya, ia pun heran.
So So mengatur barang hidangan di kamar tulis.
Ia memasak dua rupa sayur yang disukai Hian Kie. Sebenarnya hendak Hian Kie memujinya, apa mau ia terbenam dalam kedukaan, ia melainkan bisa mengucapkan: "Terima kasih!"
"Sebenarnya kau memikirkan apa?" si pemudi tanya kemudian.
Pemuda itu mengangkat kepalanya.
"Tidak," sahutnya sembarangan.
Si nona tertawa.
"Aku tahu kau tengah memikirkan ibumu!" katanya. "Itu hari ketika kau tidur, kau telah ngelindur memanggil-manggil ibumu itu. Sungguh berbahagia ibumu itu yang mempunyai anak berbakti seperti kau."
Habis berkata begitu, nona ini mendadak ingat ibunya sendiri, ia menjadi sedih sendirinya, saking sedih, ia sampai tak dapat menangis dengan bersuara.
Hian Kie bisa menduga kesusahan hati orang, ia mengusap rambut nona itu.
"Ibuku pasti akan menyukai kau," kata ia perlahan. "Mulai hari ini, dalam hidupku ada dua orang yang terdekat dan menyintai aku. Yang satu ibuku, yang lain ialah kau."
Airmatanya So So mengucur deras. Ia berduka berbareng girang.
"Ah, baru aku salin pakaian, sekarang kukotorkan lagi dengan air mata," katanya likat.
"Memang!" berkata si anak muda. "Siapa suruh kau doyan menangis? Mari kita bicara dari hal-hal yang menggembirakan!"
"Ya aku ingat sekarang," berkata si nona. "Bukankah itu hari kau membilang bahwa kamar tulismu sama dengan kamar tulisku ini? Sayang sekarang ini pohon-pohon bwee pada gundul. Setahu sampai kapan aku ada mempunyai untung bagus akan dapat pergi melihat rumahmu itu..."
Senang Hian Kie mendengar kata-kata itu, tetapi berbareng ia pun sedikit terkesiap. Entah kenapa, ia menjadi bersangsi. Semakin ia memperhatikan kamar tulis ini, makin ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa seperti juga kepalanya ditindih bayangan gelap hingga ia sukar bernapas...
"Ah, kau nampaknya ketakutan?" menanya So So, yang mengawasi wajah orang sebab si anak muda diam saja, matanya memandang kelilingan kamar, mata itu seperti lenyap sinarnya.
Mendadak Hian Kie berjingkrak bangun.
"Berada di rumahmu ini benar-benar aku merasa takut," ia mengaku. "So So, maukah kau mengikut aku pergi?"
Si nona tertawa dengan manis.
"Tentu sekali akan aku ikut kau!" sahutnya.
Pemuda itu bernapas lega. Ia pun lantas merasakan tubuh yang lemah-lembut dari si nona berada dalam rangkulannya.
Dalam itu saat yang pemuda ini melayang-layang pikirannya karena mabuk cintanya itu, sekonyong-konyong ia mendengar satu suara keras dan dingin: "Kau lepaskan anakku!" Ia menjadi kaget sekali begitupun So So, bahkan nona itu lompat berjingkrak. Ia melihat ayahnya, yang setahu kapan sudah berada di dalam kamar tulis itu, berdiri di depan mereka sejarak tak ada tiga kaki. Ayah itu bermuram durja, pucat mukanya seperti tak ada darahnya. Tangan kanan ayah itu pun diangkat perlahan-lahan.
Anak ini dapat menduga maksud ayahnya itu. "Jikalau kau bunuh dia, kau bunuhlah aku sekalian!" berseru kepada ayahnya itu.
Kepalan Boe Yang seperti tertunda di tengah udara, lalu kemudian dengan sama pelahannya seperti tadi, dikasi turun pula. Ia pun menghela napas.
"Mana ada niatku akan membunuh orang pula?" katanya. "So So, kau suruh dia keluar, hendak aku bicara denganmu."
Lagu suaranya ayah ini bukan lagi lagu suara menitah dari seorang ayah, hanya bernada sebagai mohon sesuatu kepada seorang sahabat. So So pun lantas melihat di wajah dingin dari ayah itu bagaikan ada sinar kecintaan orang tua kepada anaknya. Dengan sendiri hatinya menjadi terharu.
"Hian Kie, kau keluarlah sebentar," ia minta pada si anak muda, suaranya sangat perlahan.
Si anak muda menurut, maka sebentar kemudian di dalam kamar tulis tinggallah si ayah dan anak daranya berdua saja. Mereka berdiri berhadapan, saling mengawasi. Merekalah biasanya orang-orang paling terdekat satu dengan lain akan tetapi sekarang mereka bagaikan orang asing dengan orang asing.
Berselang beberapa saat, sinar matahari mulai menjadi lunak.
"Di dalam hidupku ini cuma kaulah seorang yang aku paling cintai," berkata sang ayah kemudian, "apa pun dapat aku kurbankan kecuali kau."
"Aku tahu itu, ayah," menjawab si anak.
"Ibumu telah pergi," berkata pula si ayah. "Selama belasan tahun ini aku mengerti hatinya ibumu itu, ia terbenam dalam kedukaan, tetapi juga aku kapannya aku tidak pernah berduka? Tentang rumahku ini, sebenarnya sudah tak aku menghendakinya pula, tetapi masih ada sesuatu, jikalau aku tidak utarakan itu pada kau, setelah aku mati nanti, pastilah hatiku tidak tenang, maka itu sekarang aku balik juga kemari. Sesudah aku berbicara, suka kau mengakui aku sebagai ayah, bagus, tidak suka kau mengakuinya, juga bagus, terserah padamu!"
So So mengangkat kepalanya.
"Ayah, bicaralah," berkata sang anak. "Sebenarnya anakmu tak dapat meninggalkan kau..."
-xxXXXxx-

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)Where stories live. Discover now