I : Berkejar-kejaran

6.5K 55 0
                                    

"Rembulan di langit mengejar sang Surya.
Nona di bumi mengejar kekasihnya.
Sang Surya naik di Timur.
Sang Rembulan silan di Barat.
Bidadari di istana rembulan sia-sia berduka....
Layung sore menabur langit biru.
Sinar sang Surya menyinari sang Rembulan.
Meski sang Surya dapat dikatakan tak berbudi,
Tetapi si Gagak Emas1) tetap mendampingi si Kelinci Kumala.2)
Oh, engko, Kenapa kau tak menoleh memandang 'daku?"

Sang Surya telah menyilam akan tetapi sinar layungnya masih bertebaran, di saat itu sang angin sore telah bertiup mengantarkan suara nyanyian yang perlahan ? nyanyian yang menggenggam rasa penasaran, rasa kekaguman, bagaikan tangisan mengeluh, hingga burung-burung yang berterbangan pulang ke rimbanya mesti terbang terputar-putar di atas rimba, tak turun ke bawah. Walaupun demikian halus nyanyian itu mengalun, nyanyi itu masih tak dapat menahan seekor kuda pilihan yang berlari-lari di dalam lembah.
Penunggang kuda itu adalah seorang muda dengan baju putih yang tampan rupanya, dia bukannya tidak mengetahui yang di belakangnya ada si nona remaja, yang mengejar ia, yang bernyanyi untuknya, ia tapinya telah mengeraskan hatinya, ia mengaburkan terus kudanya itu. Setelah suara nyanyian hilang lenyap dan lembah menjadi sunyi kosong, diam segala apa, baharulah ia menghela napas dan bersenandung:
"Sungai Ek Soei tenang diam, angin barat yang dingin berdesir, si orang gagah sekali pergi tak kembali. Mengadu jiwa hanya mengandali sebatang pedang panjang tiga kaki, biarpun cintanya sangat tetapi dia menoleh ke belakang, ia tidak cuma dapat mensia-siakan si nona belia..."
Kemudian ia menoleh kebelakang ia tidak melihat seorang jua. Kudanya itu kuda jempolan yang bagaikan dapat "mengejar kilat mengubar angin," maka dengan kaburnya barusan, dia telah meninggalkan jauh si nona hingga terpisah dengan beberapa buah bukit...
Pemuda itu adalah Tan Hian Kie dan ia tengah menjalankan tugas yang berat yang dibebankan kepadanya, ialah untuk membunuh seorang ahli silat kenamaan yang tinggal mendiamkan diri, bersembunyi di gunung Holan San. Maka itu jangankan ia memangnya tak berniat menyintakan si nona, taruh kata ia menyintainya dengan sangat, di dalam saatnya seperti itu, tidak dapat ia terhalang oleh nyanyian itu.
Memang, nyanyian itu telah dapat menggoncangkan hati sanubarinya, di lain pihak si nona telah terpisah dengan beberapa lapis gunung, dari itu nona itu tak dapat mendengar helaan napas dan senandungnya itu dan tak dapat melihat juga air yang mengembeng pada kedua matanya...
Matahari telah berturun, angin berhawa dingin, maka sang magrib datang makin lama makin suram. Tan Hian Kie mengangkat kepalanya, memandang ke arah depan. Di sana samar-samar terlihatlah puncak dari gunung Holan San itu. Tanpa merasa hatinya menjadi tegang sendirinya. Segera ia membiluki kudanya, dengan mengayun cambuknya, ia melaratkannya ke arah barat.
Sekeluarya dari mulut lembah, pemuda ini mulai mendaki di jalan pegunungan yang berliku-liku. Ia sekarang berada dalam ragu-ragu. Kudanya memang kuda jempolan, tetapi ia berada di jalan pegunungan yang sesukar itu, pula di depan ada seorang musuh yang lihay sekali, walaupun ia tidak jeri, apabila ia menunda perjalanan untuk melewatkan sang malam di situ, ia bisa mendapat kesulitan dari si nona... Bagaimana kalau nona itu dapat menyandak ia dan karenanya ia menjadi kena terlibat? Tengah ia bersangsi itu, bimbang hati, tiba-tiba kupingnya mendengar suara tindakan kaki kabur dari seekor kuda, yang datangnya dari arah depan. Hanya sekejab saja, kuda itu sudah tiba di depannya, hampir kedua binatang saling tabrak, atau mendadak saja penunggangnya telah berlompat turun, tangannya diulur untuk mencegah tabrakan itu.
Kudanya si anak muda berjingkrak berdiri seraya memperdengarkan ringkikan yang keras, tetapi dia tidak dapat maju terus, maka itu si anak muda sendiri pun mesti berlompat turun. Sekarang dapatlah ia melihat di hadapannya seorang muda dengan alis yang kereng dan mata yang besar yang wajahnya bermuram durja, dingin, seperti tak ada perasaannya, sedang di saat magrib seperti itu, cuaca remang-remang, dia nampaknya seram...
Hanya sedetik Tan Hian Kie tercengang, lantas ia mengangkat kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Saudara Siangkoan, sungguh beruntung, sungguh beruntung untuk pertemuan kita ini!" katanya.
Anak muda itu mengasi dengar suara dingin, "Hm!"
"Memang, sungguh beruntung pertemuan kita ini!" berkata dia, tawar.
Hanya sedetik Tan Hian Kie tercengang, lantas ia mengangkat kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Saudara Siangkoan, sungguh beruntung, sungguh beruntung untuk pertemuan kita katanya.
Anak muda itu mengasih dengar suara dingin, "Hm!" "Memang, sungguh beruntung pertemuan kita ini!" berkata dia, tawar. "Mana Oen Lan?"
"Dia berada di belakang," menyahut Hian Kie.
"Jikalau kau melintasi gunung ini, mungkin kau dapat bertemu dengannya."
Dengan tangannya, dia menunjuk.
Terbangun sepasang alisnya anak muda itu, wajahnya nampak terlebih muram.
"Jadinya dia menyusul kau?" tanyanya.
Parasnya Hian Kie menjadi bersemu merah.
"Jangan bergurau, saudara Siangkoan."
Tetapi si anak muda, yang dipanggil "saudara Siangkoan" itu, menjadi gusar.
"Siapa bergurau denganmu?" bentaknya. "Aku cuma hendak menanya kau, kau menginginkan dia atau tidak?"
"Eh, saudara Siangkoan, kau bicara apakah?" tanya Hian Kie keras, "Terhadap entjie Oen Lan itu belum pernah aku memikir yang tidak-tidak!"
"Jikalau demikian adanya, kau cuma mempermainkan dia, kau memincuknya, lalu sekarang kau mensia-siakannya?"
Parasnya Hian Kie berubah.
"Saudara Siangkoan, kau pandang aku orang macam apa?" dia kata nyaring. "Terhadap Oen Lan aku cuma memandang sebagai saudara, maka mana dapat kau membilangnya tentang mempermainkan dan memincuknya?"
Pemuda itu tertawa dingin.
"Jadi, menurut kau, Oen Lan adalah yang memincukmu?" katanya.
Hian Kie mengerutkan kening. Yang benar memang Oen Lan yang "melibat" padanya. Akan tetapi, mana dapat ia membilangnya terus terang? Tidakkah itu akan merusak nama baiknya anak dara itu?
Pemuda itu, pemuda she Siangkoan, bernama Thian Ya, maju dua tindak.
"Tan Hian Kie, kau kembalilah!" katanya bengis.
"Kau menghendaki apa?" Hian Kie tanya.
"Kau menghaturkan maaf terhadap Oen Lan, lalu kau bersumpah bahwa selanjutnya kau tidak akan mensia-siakan lagi padanya!" berkata Thian Ya tetap bengis. "Hendak aku mengawasi kau bersumpah itu, aku melarang kau menyangkalnya!"
Bengis suaranya pemuda itu akan tetapi akhirnya bernada sedih, seperti juga ia tengah memohon terhadap Hian Kie yang mulanya ia perlakukan hebat sekali.
Hian Kie mundur dua tindak.
"Saudara Siangkoan, aku mengerti maksudmu, aku tahu hatimu," ia berkata. "Kau menyintai entjie Oen Lan, mengapa kau menyimpannya itu di dalam hati saja?"
"Tidak salah!" menjawab Thian Ya. "Dialah orang satu-satunya yang aku sangat menyintainya, maka itu tidak nanti aku membuatnya dia berduka, tidak nanti aku membiarkannya kau mensia-siakan padanya!"
"Saudara Siangkoan, kau tidak mengetahui hatiku," kata Hian Kie. "Dengan setulusnya aku berdoa supaya kamu berdua menjadi pasangan yang berbahagia! Kenapa kau bercuriga? Kau membuatnya aku jadi menyesal."
Hian Kie telah membeber hatinya itu, akan tetapi Thian Ya beradat tinggi, ia menerimanya secara keliru. Ia mau menganggap bahwa ia justeru dipermainkan. Ia menduga Hian Kie adalah si pemenang dalam perebutan asmara ini. Tentu sekali, inilah di luar dugaan pemuda she Tan itu.
Wajah Thian Ya kembali menjadi muram, kedua matanya dibuka lebar.
"Tan Hian Kie, jangan banyak omong pula!" ia membentak. "Kau hendak kembali atau tidak?"
Hian Kie melihat ke langit, melihat cuaca, hatinya cemas.
"Kau tidak dapat mengerti, saudaraku aku tidak bisa membilang apa-apa lagi," katanya. "Tetapi aku ada punya urusan yang sangat penting, aku minta sukalah kau membagi jalan padaku..."
Kata-kata itu belum habis diucapkannya, atau "Sret!" maka Thian Ya telah menarik keluar sepasang gaetannya.
"Aku justeru tidak hendak melepaskan padamu, lelaki tidak berbudi!" bentaknya.
Bukan main mendongkolnya Hian Kie.
"Apa sangkutannya aku denganmu, aku berbudi atau tidak?" pikirnya. Tapi tengah ia berpikir itu, di depan mukanya telah berkelebat gaetan orang, yang bersinar kuning bagaikan emas.
"Masih kau tidak hendak menghunus pedangmu?" Thian Ya berseru.
"Saudara Thian Ya, sabar," berkata Hian Kie berkelit. "Dengar dulu aku."
"Kau hendak ngaco apa lagi?" kata Thian Ya dengan dingin. "Kau masih hendak banyak omong pula?"
"Kalau saudara pasti hendak memberikan pelajaran padaku, tidak berani aku menolaknya," berkata Hian Ki sabar, sedang hatinya panas dan berduka, "Hanya benar-benar hair ini aku mempunyai urusan yang sangat penting. Begini saja, selang sepuluh hari nanti aku datang pula ke mari untuk menerima pengajaranmu itu. Umpama kata pada hari yang aku janjikan itu aku tidak muncul, bukanlah aku salah janji, hanya terang aku telah kena orang bunuh, dengan begitu tak usahlah saudara menjadi mencapaikan tangan lagi."
Thian Ya melengak. Tapi hanya sejenak.
"Kau tidak mempunyai tempo, apakah kau sangka aku sempat menantikanmu?" katanya keras, "Lekas geraki tanganmu, di sini kita memastikan menang atau kalah, supaya Oen Lan tidak lagi berduka!"
Sambil mengucap demikian, Thian Ya menggeraki kedua tangannya, menyambar dari kiri dan kanan.
Dengan terpaksa, Hian Kie mencabut pedangnya. Maka juga gaetan dan pedang bentrok keras sekali, sampai pedangnya Hian Kie hampir terlepas terbang dari cekalannya.
Siangkoan Thian Ya tertawa lebar menyaksikan pedang orang mental.
"Oen Lan memuji ilmu silat pedangmu sampai di langit lapis ke tigapuluh tiga, tidak tahunya cuma sebegini saja!" katanya mengejek.
Hian Kie mendongkol berbareng geli di hati.
"Kau hendak melampiaskan hatimu, baiklah aku mengalah," pikirnya.
Setelah berpikir begitu, anak muda itu membalas menikam. Ia memikir untuk mencari ketika untuk meninggalkan lawannya itu. Di luar sangkaannya, gaetan Thian Ya dapat juga digunakan sebagai pedang, ia dilawan secara hebat. Sebab setelah hasilnya yang pertama, Thian Ya mendesak, serangannya bertubi-tubi. Dia hendak mencegah orang mengangkat kaki.
Cuaca sementara itu semakin suram, tanda sang sore lagi mendatangi.
Ketika itu ada terdengar tindakan kaki kuda.
Hian Kie menduga kepada Oen Lan, si nona yang tadi bernyanyi dan menyusul padanya. Maka ia berpikir: "Meski aku lekas menyingkir, apabila dia keburu tiba di sini, sulit nanti...
Karena itu, kalau tadi ia melayani hanya untuk membela diri, sekarang ia membalas menyerang secara sungguh-sungguh.
Thian Ya lantas saja menjadi terkejut. Inilah ia tidak mengira.
"Pantas adik Oen menyintai bocah busuk ini, benar-benar dia lihay!" katanya di dalam hati. Tentu sekali ia tidak mau mengalah, ia pun berkelahi dengan terlebih hebat.
Sementara itu tindakan kaki kuda mendatangi semakin dekat.
Hian Kie membalik tangannya, ia menyerang dengan hebat. Dengan jurusnya ini, ia membuatnya gaetan Thian Ya terdesak ke samping.
"Kau masih tidak suka membuka jalan?" katanya perlahan tetapi membentak.
Dalam cuaca remang-remang itu, di sana terlihat kabur mendatanginya seekor kuda, lalu penunggangnya, seorang nona, berseru menanya: "Hian Kie, kau bertempur dengan siapa? Ah! Apa? Kau, Thian Ya? Hayo, kamu berhentilah!"
Siangkoan Thian Ya menyahuti: "Bocah ini tidak sudi menemui kau, nanti aku bekuk dia untuk diserahkan padamu!"
Hian Kie mendesak pula tetapi orang di depannya tidak mau mundur. Ia menjadi berpikir: "Kalau aku melukai ia didepan Oen Lan, mungkin jodoh mereka tidak bakal terangkap...
Tengah orang berpikir itu, sepasang gaetannya Thian Ya menyambar hebat, lalu dua-duanya terlempar terpental, tetapi sebagai pembalasan untuk itu, sebelah tangannya orang she Siangkoan itu melayang ke dada Hian Kie hingga dia ini menjerit tertahan, tubuhnya mental setombak lebih.
Hian Kie tidak menyangka, setelah pedangnya terlepas, Siangkoan Thian Ya bakal meneruskan menyerang dengan tangan kosong, ia sampai tak waspada.
Thian Ya tercengang untuk hasil serangannya itu.
Oen Lan, yang sudah lantas tiba, berseru: "Thian Ya! Kau bikin apa? Kenapa kau menurunkan tangan berat? Lekas, lekas kau mengasi dia bangun!"
Thian Ya mencoba menenangkan dirinya, habis itu ia bertindak menghampiri Hian Kie, hanya segera ia kecele. Mendadak ia melihat satu tubuh mencelat naik ke atas kuda, lalu dengan sekali tepuk kempolannya, binatang itu berlompat untuk lari kabur. Ia terkejut. Untuk mencegah, sia-sia belaka. Sekalipun ekor kuda, tak dapat ia mencekalnya. Ia heran sekali, setelah roboh, pemuda itu masih dapat berlompat naik atas kudanya. Hanya sekarang Hian Kie tidak duduk tegak di atas kudanya itu, dia mendekam seraya memeluki erat-erat leher binatang tunggangan itu.
Kuda itu kuda terdidik berlari pesat sekali, hingga di lain saat dia telah menyelinyap di sebuah tikungan.
"Minggir!" Oen Lan berseru selagi Thian Ya menjublak mengawasi kaburnya lawannya itu, sambil memperdengarkan suaranya itu, si nona pun mencambuk ke arah pemuda she Siangkoan itu.
Bukan main mendongkol, menyesal, malu dan cemburunya Thian Ya. Ia bertindak untuk si nona, sekarang si nona membentak dan mencambuk padanya. Sedetik itu ingin ia menyambar si nona untuk menjewer kupingnya, buat di lain saat memelukinya sambil menangis. Tapi semua itu telah lewat. Hanya, di luar kehendaknya, ia pun naik atas kudanya, untuk menyusul nona...
Oen Lan mengaburkan kudanya dalam cuaca remang-remang, tempo ia menikung, kudanya melanggar sebuah tunggul batu, tidak tempo lagi, ia kena dibikin terpental.
Justeru Siangkoan Thian Ya tiba, ia kaget sekali, ia lantas berlompat untuk menyambar, guna menolongi si nona.
Oen Lan tidak roboh terbanting, selagi terlempar, ia melompat jumpalitan hingga ia dapat berdiri dengan kedua kakinya, hanya ia berdiri tepat di depannya si anak muda.
"Hm!" bersuara si nona. "Kau baik sekali!" Lantas ia menolak tubuh orang. Hanya berbarang dengan itu ia terperanjat. Ia mendapatkan tangan Thian Ya berlepotan darah, sebab tadi selagi menyerang dada Hian Kie, tangan itu membentur pedang lawannya, yang nyerepet ke lengan.
Oen Lan terperanjat hingga ia tercengang. Ia memandang pemuda itu, yang terus menyenderkan tubuh di sebuah batu, wajahnya sangat bersedih. Ia lantas menghela napas.
"Ah, orang dewasa semacammu masih mengucurkan airmata," katanya, perlahan. "Apakah kau tidak malu? Mari kasi aku lihat lukamu!"
Memang juga, saking menyesal, Thian Ya berlinang airmatanya.
Nona itu merobek ujung baju, dengan itu dengan perlahan-lahan ia membalut lukanya si anak muda.
Thian Ya memutar tangannya, untuk menolak, ia merasakan tenaganya hilang. Ia tidak sanggup bertahan, ketika si nona mengusap lengannya. Maka saking malu, ia berpaling ke lain arah, didalam hatinya ia mencaci dirinya...
"Beruntung lukanya tak mengenakan tulang," berkata si nona menghela napas.
"Umpama kata aku mati pun tidak ada halangannya!" berkata si anak muda, tawar.
"Ah!" berkata si nona. "Mengapa kamu mengadu jiwa untukku?"
Dengan tiba-tiba Thian Ya menoleh.
"Adik Lan," katanya, perlahan, "mengapa kau tak ketahui hatiku? Aku, aku... ah, aku berbuat itu untuk kebaikan kamu... Seranganku barusan memang bukannya enteng tetapi mengingat tenaga dalamnya Hian Kie sempurna, tidaklah itu bakal mengambil jiwanya. Asal untuk kebaikanmu, tubuhku hancur-lebur pun tidak apa..."
Oen Lan menghela napas.
"Masih kau mengatakan demikian. Memang tanganmu tidak membinasakan dia, tetapi karena lukanya itu, cara bagaimana dia dapat meloloskan diri dari tangan lain orang?"
Siangkoan Thian Ya kaget.
"Apa kau bilang?" tanyanya cepat.
"Dia hendak membinasakan satu orang. Orang itu sudah melenyapkan diri dari dunia kangouw duapuluh tahun lamanya. Selama duapuluh tahun itu, dia telah mengangkat namanya hingga menjadi tersohor. Setelah berselang duapuluh tahun, bisa dimengarti yang sekarang ini ilmu silatnya bertambah dahsyat!"
Thian Ya melengak. Sekarang ingatlah ia akan kata-katanya Hian Kie tadi. Hian Kie meminta tempo sepuluh hari, andaikata dia tidak muncul pastilah sudah bahwa dia telah dibinasakan orang.
"Siapakah orang itu?" ia tanya tanpa merasa.
"Apakah kau pernah dengar nama In Boe Yang?" si nona balik menanya.
"Apa?" menegasi Thian Ya, kaget. "Dialah In Boe Yang?"
Paras pemuda ini menjadi berubah.
Oen Lan heran.
"Kenalkah kau dengannya?"
"Pada duapuluh tahun itu, aku adalah bocah umur tiga tahun," menyahut Thian Ya, "maka itu, mana aku kenal dia? Coba bilang, mengapa Hian Kie hendak membunuh In Boe Yang?"
"Panjang untuk menutur itu," sahut si nona. "Sekarang ini tahun Hong Boe ke berapa?"
"Tahun ini tahun ke tiga belas. Kenapa kau tidak tahu?"
"Pasti aku mengetahuinya. Hanya sekarang ini ada serombongan orang yang masih tidak sudi menggunakannya!"
"Pastilah mereka itu bekas orang-orangnya Thio Soe Seng dan Tan Yoe Liang."
"Benar. Walaupun kita terlahir belakangan tetapi kita pernah mendengar ceritanya orang tua dan saudara bahwa dulu hari itu adalah orang itu yang bergulat hebat dengan Kaisar Hong Boe memperebutkan kerajaan. Mereka itu sama-sama memakai nama kerajaan sendiri-sendiri, ialah yang satu Tay Han, kerajaan Han yang terbesar, yang lain Tay Tjioe, kerajaan Tjioe yang agung."
"Habis, apakah hubungannya itu dengan percobannya Hian Kie sekarang untuk membunuh In Boe Yang?"
"Dulu hari itu Thio Soe Seng telah mendapat bantuannya beberapa orang gagah kaum Rimba Persilatan, tahukah kau?" si nona tanya.
"Ya," menyahut si anak muda. "Pertama-tama Pheng Hwesio yang bernama Eng Giok. Katanya dia, dalam hal tenaga dalam, tak ada tandingannya."
"Memang. Habis, siapa lagi?"
"Yang ke dua yaitu Tjio Thian Tok. Katanya dia ini dengan sepasang Tangan Besinya pernah menjagoi di seluruh negara."
"Masih ada lagi?"
"Orang gagah di jaman dahulu itu, mana aku dapat mengingat semuanya?" menyahut Thian Ya, yang tapinya matanya bersinar, seperti ia memikir sesuatu tetapi ia mencegah sendiri untuk menyebutnya.
"Yang ketiga itu ialah In Boe Yang ini!" menambahkan si nona. Ia memandang si anak muda tetapi anak muda ini tidak mengentarakan sesuatu sikap, nampaknya ia sudah tahu tapi sengaja ia menghendaki si nona yang menyebutkannya.
"Pada duapuluh tahun yang lalu itu Thio Soe Seng telah bertempur sama Kaisar Hong Boe di sungai Tiangkang, dia kalah dan kena ditawan, di itu hari juga dia tenggelam mati di sungai itu, akan tetapi orang-orang sebawahannya yang dapat lolos bukan sedikit jumlahnya, bahkan puteranya terbakar telah dapat ditolongi Tjio Thian Tok itu. Selama sepuluh tahun yang belakangan ini, orang-orang sebawahannya Thio Soe Seng itu pada hidup sembunyi dan menyendiri, dengan diam-diam mereka berusaha untuk bangun pula. Tentang asal-usulnya Hian Kie, belum pernah dia memberitahukannya kepadaku tetapi aku tahu dialah turunan dari salah seorang bawahannya Thio Soe Seng itu."
"Jikalau demikian adanya, sudah selayaknya Hian Kie memanggil paman kepada In Boe Yang. Kenapa dia hendak membinasakan In Boe Yang itu?"
"Kabarnya itu disebabkan In Boe Yang sudah mendurhakai kepada tuannya untuk mendapatkan pangkat tinggi, maka itu Hian Kie mendapat tugas dan yang lain-lainnya untuk membinasakan dia, bahkan tak dapat tidak, dia mesti dibunuhnya. Hanya mengenai penjelasannya, aku tidak mendapat tahu."
Siangkoan Thian Ya tertawa terbahak.
"Jikalau benar demikian halnya, apabila In Boe Yang sampai terbinasa terbunuh, dia pasti mati tak puas!" katanya.
"Mengapa begitu eh?" bertanya si nona.
"Isteri pertama dari In Boe Yang itu justeru telah terbinasa dalam peperangan di sungai Tiangkang itu. Maka kenapa dia bisa berbalik menunjang kaisar yang sekarang ini?"
"Kenapa kau ketahui itu ?"
"Sebab isteri yang ke-dua dari In Boe Yang itu ialah bibi guruku..."
"Bagaimana? Kau jadinya murid dari Boetong Pay?" tanya si nona heran. "Kenapa tak pernah kau memberitahukannya? Bahkan belum pernah aku menyaksikan kau menjalankan ilmu silat Boetong Pay itu?"
Di dalam cuaca samar-samar malam itu, kedua matanya Siangkoan Thian Ya bersinar tajam. Bibirnya pun telah bergerak akan tetapi dia tidak mengatakan sesuatu.
Isteri ke dua dari In Boe Yang itu dengan siapa Boe Yang menikah setelah kebinasaannya isterinya yang pertama adalah puterinya Bouw Tok It yang menjadi tjiangboendjin, ahli waris yang memegang pimpinan partai Boetong Pay, yang semasa hidupnya dikenal sebagai ahli silat pedang nomor satu. Memang benar Siangkoan Thian Ya memanggil dia soekouw, bibi guru, karena mana, Bouw Tok It itu ialah kakek gurunya, soetjouw. Hanya selama beberapa tahun Oen Lan mengenal Thian Ya, pemuda ini belum pernah mengasi lihat ilmu silat pedangnya, ilmu silat pedang Boetong Pay itu, baharu sekarang secara tiba-tiba dia menyebutnya. Maka mau atau tidak, si nona menjadi heran.
Siangkoan Thian Ya pun terbenam dalam keragu-raguan, beberapa kali dia hendak membuka mulutnya tetapi senantiasa gagal. Hanya, berselang sekian lama, baharulah sambil tertawa menyeringai ia berkata juga: "Aku baharu mempelajari kulit atau bulunya ilmu silat pedang Boetong Pay itu, maka itu cara bagaimana aku berani petantang-petenteng di muka orang banyak? Tidakkah dengan begitu aku akan dapat membuat malu rumah perguruanku itu?"
Oen Lan cerdas sekali, walaupun orang mengatakannya demikian, ia dapat membade pemuda di depannya ini niscaya mempunyai kesulitan yang tak dapat dia menjelaskannya. Maka berpikirlah ia: "Biasanya Siangkoan Thian Ya belum pernah tak memberitahukan aku segala apa, kenapa sekarang, di dalam urusan ini, dia hendak menutupnya? Adakah urusan itu demikian besar hingga mesti dirahasiakan?"
Nona ini merasa heran, dari itu meskipun ia tidak menanyakannya pula, herannya itu menjadi bertambah-tambah.
Sang malam merayap terus, sebentar lagi muncullah si Puteri Malam.
"Hian Kie terluka parah, di waktu malam sunyi begini dia berada di tanah pegunungan ini, siapakah yang nanti menolongi dia?" berkata si nona menghela napas.
Di mana cahaya rembulan menyinari wajah mereka, Oen Lan heran menampak muka Thian Ya pucat mendadak sedang kedua matanya dipentang lebar-lebar, pada kedua mata itu bagaikan hendak mengalir air mata dara...
Tanpa merasa, nona ini menggigil sendirinya.
"Aku tidak menyesalkan kau, aku hanya berkuatir untuk Hian Kie," katanya, menjelaskan, suaranya perlahan.
Siangkoan Thian Ya tidak menyahuti si nona, sebaliknya dia bertanya: "Barusan kau membilang Hian Kie hendak membunuh In Boe Yang, tahukah kau In Boe Yang itu berada di mana?"
"Katanya dia berada di gunung Holan San di depan ini," menyahut si nona.
Baharu si nona berkata atau Siangkoan Thian Ya sudah berlompat berjingkrak.
"Adik Lan, jangan kuatir!" serunya. "aku tidak dapat mencari Hian Kie, untuk selama-lamanya tak nanti aku kembali!"
Hanya sejenak itu dia sudah berlari-lari mendaki gunung, gesitnya bagaikan seekor kera, hingga di lain saat lenyaplah tubuhnya di antara pepohonan yang gelap, juga dengan sang malamnya.
Hendak Oen Lan menyusul akan tetapi ia telah terlambat.
Sang Puteri Malam bersinar menggenclang akan tetapi tanah pegunungan itu sunyi senyap, maka itu, berada sendirian, Oen Lan menjadi kesepian.
Hian Kie sudah pergi, Thian Ya juga, tinggallah ia seorang diri. Bukankah kudanya pun telah terbinasa. Maka itu, gunung itu, dengan lembahnya yang diam, bukankah menakutkan?
Dengan samar-samar Oen Lan masih dapat menampak tapak kaki kudanya Hian Kie.
"Hian Kie, Hian Kie, kau di manakah?" ia menanya, matanya mendelong mengawasi tapak kuda itu. "Kau tunggu aku..."
Ia ketahui kuda Hian Kie kuda pilihan hanya tak tahu ia kuda itu sudah kabur ke mana, tetapi walaupun demikian, ia lantas membuka tindakannya, untuk mengikuti tapak kuda itu, mengikuti tanpa harapan...
Hian Kie sendiri telah tiba di suatu tempat yang ia tidak menyangkanya sama sekali. Ia terluka bukannya enteng tetapi ia kabur bersama kudanya itu, selagi dibawa lari binatang itu, ia merasakan dadanya sesak dan kepalanya nyeri sekali, maka sebentar kemudian, gelaplah pikirannya, lenyap kesadarannya. Sebagai gantinya timbullah hayalnya. Ia menjadi ingat saatnya gurunya menyuguhkan ia arak untuk memberi selamat jalan padanya, kupingnya seperti mendengar nyanyiannya Nona Oen Lan, si nona yang seperti terus mengintil di belakangnya.
"Tidak, aku tidak dapat mati, tidak dapat mati!" kemudian ia kata dalam hatinya.
Sekonyong-konyong, ia mendengar suara kuda meringkik keras, lalu tubuhnya seperti terlempar jauh berlaksa tombak di dalam awan, terlempar turun ke jurang yang dalam sekali, atau mendadak ia merasakan hawa yang dingin luar biasa.
Kiranya kudanya telah tersandung dan ia terdampar ke dalam jurang.
Dalam keadaan tak sadar itu Hian Kie merasakan tangan yang halus dan satu nona mengusut-usut dadanya. Adakah dia Nona Oen Lan? Tak tahulah ia! Ingin ia membuka matanya, untuk melihat tegas, tetapi tak dapat, matanya itu tak sudi mengikuti keinginannya. Ia merasa, dalam hawa yang sangat dingin itu, hatinya menjadi hangat, ia merasa sangat nyaman, maka tak lama kemudian, pulaslah ia dengan nyenyaknya.
-xxXXXxx-

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)On viuen les histories. Descobreix ara