V : Bertempurnya naga dengan harimau

1.1K 16 1
                                    

Kamar diterangi dengan api lilin yang bergoyang-goyang, tetapi nampak nyata wajah mengejek dari Boe Yang itu, yang terus bertindak masuk dengan ayal-ayalan.
Nyonya In mengawasi suaminya, hatinya goncang, akan tetapi pada parasnya, ia tidak mengentarakan sesuatu, bahkan terus ia menggulung gambar itu.
"Saudara Boe Yang, kau sudah pulang!" Thian Tok menyambut.
"Kau tentu tidak menyangka aku pulang dengan begini cepat?" jawab orang yang ditanya, dingin.
"Aku datang mencari kau untuk satu urusan penting," kata Thian Tok tanpa memperdulikan ejekan, "sudah lama aku menantikan kau Saudara Boe Yang, kau, kau dengar aku..."
Boe Yang maju satu tindak, dengan tajam ia menatap isterinya.
"Poo Tjoe, aku mengucap terima kasih yang kau telah mewakilkan aku menyambut tetamuku yang mulia," katanya. "Sekarang kau letakilah itu gambar dan pergi kau masuk ke dalam untuk makan obatmu."
Nyonya In tidak membilang suatu apa, ia meletaki gambar di tangannya, tetapi kedua kakinya tidak bergerak.
Boe Yang mengawasi pula isteri itu.
"Baiklah," katanya pula, "karena kau menyesali aku yang sudah mendustakan kau, tidak apa kau tidak mau pergi masuk. Kau boleh berdiam di sini untuk mendengari."
"Saudara Boe Yang, kau dengar aku!" kata pula Thian Tok.
"Tidak usah kau mengatakannya lagi," berkata Boe Yang. "Aku telah ketahui maksud kedatanganmu ini."
"Saudara Boe Yang, jangan kau bercuriga. Aku si orang she Tjio satu laki-laki sejati, tidak nanti aku melakukan apa-apa yang tak bagus terhadap sahabatnya."
Boe Yang memperlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Kau hendak pergi ke mana?" ia menanya.
"Kau... kau hendak membilang..."
"Aku berterima kasih untuk kebaikanmu. Bukankah kau datang untuk ini?"
Tangannya tuan rumah merogo ke dalam sakunya, ketika ia menariknya keluar maka berkelebatlah sebuah sinar kuning emas.
Itulah kimpay.
"Kau telah bertemu dengan Tjit Sioe Tooheng dan Pouw Kian?" Thian Tok tanya.
Bahkan aku telah usir mereka berlalu dari gunung ini!" sahutnya Boe Yang. "Dan kimpay ini sengaja aku tahan, supaya dengan begitu mereka tak usah pergi membujuki lagi lain-lain sahabat kita." Thian Tok girang mendengar itu.
"Saudara Boe Yang, nyatalah kau telah ketahui semua! Tepat perbuatan kau ini! Aku puji padamu."
Boe Yang tertawa dingin, kedua tangannya dirapatkan kepada kimpay itu, atas mana kimpay tersebut lantas saja merupakan sepotong emas mumi, ketika ia menimpuk, emas itu nancap di tanah. Sungguh suatu kepandaian istimewa!
Di tempatnya sembunyi, Hian Kie bergoncang hatinya.
"Coba kemarin ini bukannya So So yang mencegah, tentulah tubuhku sudah hancur luluh..." katanya dalam hati.
Boe Yang tidak menyahuti Thian Tok, hanya dengan dingin ia berkata: "Dulu hari orang-orang gagah bagaikan mengepung-ngepung manjangan, aku berada sama Sri Baginda almarhum, aku mengalami perang ratusan kali, atas itu semua, menanya diri sendiri, tak usah aku malu untuk kerajaan kita itu. Sekarang lain. Sekarang ini dunia sudah berubah, seperti benda bertukar dan bintang berpindah, sekarang ini aku si orang she In membenci peperangan, maka ingin aku hidup merdeka seperti burung bangau liar terbang di udara terbuka, untuk melewati hari-hari yang tenteram dan aman. Sri Baginda sudah wafat, kerajaan Tjioe sudah musnah, maka aku dengan Keluarga Thio itu sudah tidak lagi mempunyai hubungan seperti raja dengan menterinya. Thio Tjong Tjioe si bocah cilik, cara bagaimana dia berani menggunai kimpay untuk memanggil aku?"
Thian Tok terperanjat. Itulah kata-kata yang ia tidak sangka-sangka. Memang ia tidak setuju dengan sepak terjangnya Siauwtjoe, si junjungan muda, yang hendak meminjam tenaga negara akan tetapi menghadapi anak cucunya Thio Soe Seng, si raja almarhum, ia masih menganggap dirinya sebagai menteri, sebagai hamba, maka heranlah Boe Yang, yang putusannya demikian getas. Ia merasakan hatinya menggetar.
"Jikalau begitu," katanya, menanya, "Tjoe Goan Tjiang memanggil kau, kau juga tidak akan pergi, bukankah?"
Boe Yang menjawab dengan temberang sekali.
"Aku menjadi tuan atas diriku sendiri, aku pergi dan aku datang dengan merdeka, ? aku pergi, putusannya ada padaku, aku tidak pergi, putusannya ada pada aku juga! Perlu apa kau mencampurinya tahu?"
"Kalau begitu bagaimana dengan semua sahabat-sahabat lama kita? Kau masih memandang mereka atau tidak?" Thian Tok menanya pula.
In Boe Yang mementang kedua matanya, mata itu bersinar tajam.
"Apakah katanya Poo Tjoe terhadap kau?" dia balik menanya.
"Katanya kau telah bertemu dengan Lo Kim Hong!"
"Memang!" kata pula Boe Yang dengan kejumawaannya. "Siapa aku senang melihatnya, aku menemuinya! Dan malam ini tidak senang aku melihat kau!"
Thian Tok menyeringai.
"Karena saudara jemu terhadapku, baiklah, aku meminta diri!" katanya.
"Eh, tunggu dulu!" Boe Yang mencegah, suaranya tetap dingin. "Kau tidak menghendakikah gambar ini?"
Thian Tok telah mengangkat dadanya, ketika segera juga ia berbalik pikir. Maka menyahutlah ia dengan suaranya yang pasti: "Dulu hari itu Sri Baginda almarhum telah menyerahkan gambar ini padaku, karena sekarang saudara sudah memerdekakan diri, kau hendak perbuat apa yang kau sukai, hingga telah putus hubunganmu dengan Kerajaan Tjioe, baik juga gambar ini diserahkan padaku, untuk nanti diserahkan lebih jauh kepada junjungan yang muda itu. Inilah memang baik sekali!"
Boe Yang melirik ke samping.
"Poo Tjoe, mari gambar itu kau serahkan padaku," katanya perlahan. Suaranya tenang akan tetapi sinar matanya berapi.
Dengan sendirinya Nyonya In menggigil.
"Boe Yang," katanya, "kau..."
"Bukankah kau hendak menyerahkan gambar kepadanya?" tanya suami itu dingin. Ia menunjuk kepada Thian Tok. "Tapi gambar ini, dulu hari akulah yang mengambil dengan tanganku sendiri, maka sekarang sudah seharusnya aku mengembalikannya dengan tanganku sendiri juga." Ia menggeraki tangannya, menyambar gambar itu dari tangan isterinya. "Hm!" kembali suaranya yang dingin dan menyeramkan. Terus ia memandang Thian Tok dan mengatakannya dengan keras. "Kau ambillah! Pheng Hweeshio telah mati maka kau, Tjio Thian Tok, kaulah sekarang orang kosen yang nomor satu! Dengan berani tengah malam buta rata kau datang kemari, mustahil kau tidak punyakan nyali untuk mengambil ini?"
Thian Tok mementang lebar kedua matanya, tetapi ia masih dapat mengendalikan diri.
"Saudara Boe Yang," katanya sabar, "apakah maksudmu dengan kata-katamu ini? Bukankah kita ada sahabat-sahabat dari puluhan tahun? Jikalau kau menghendaki gambar ini, aku pun tidak ingin memaksa mengambilnya."
Boe Yang tertawa terbahak.
"Bagus kau masih menyebut-nyebut tentang persahabatan! Aku In Boe Yang, aku menerimanya dengan baik. Kau tidak hendak mengambil gambar ini, tapi kau juga tidak hendak pergi dari sini! Hm! Kau harus ketahui, rumah ini ialah rumahku! Kau tidak hendak berlalu dari sini, apakah kau anggap aku dapat dipermainkan?"
Sekarang Thian Tok tak dapat mengendalikan diri lagi.
"Boe Yang, kau omonglah biar jelas!" bentaknya. "Aku segera akan berlalu! Hm! Kau menghina aku, masih tidak apa, kau, kau..." Ia hendak menyebutkannya "kau merusak Poo Tjoe, bukankah?" tapi kata-kata ini tak dapat dikeluarkan. Boe Yang tidak menanti orang bicara habis, dengan wajahnya bermuram durja, dia menuding.
"Hari ini kita bicara berlebih-lebihan!" katanya nyaring. "Karena kau tidak hendak lantas mengangkat kaki, baiklah, sekarang aku si orang she In mau minta pengajaran kau punya Tangan Besi dan Pit Sakti!"
Dengan melemparkan gambar di tangannya, Boe Yang lantas menurunkan pedang Koengo kiam dari tembok.
"Boe Yang!" berseru Nyonya In. "Kalau dua harimau berkelahi, salah satu mesti celaka, maka dengan tidak ada sebab musababnya, perlu apa kamu hendak mengadu jiwa?"
Sang suami dongak, ia tertawa terbahak.
"Oh, Poo Tjoe, kiranya kau masih memperhatikan aku?" katanya. "Seorang laki-laki tak dapat kepercayaan dari isterinya, dia juga dicurigai sahabatnya, karena itu, apakah artinya dia masih tinggal hidup di dalam dunia ini? Maka ingin aku terbinasa di tangannya, tetapi aku kuatir, tidak dapat dia melukakan aku! Thian Tok, kau cabut, poankoan pit-mu, mari kita pergi keluar!"
Mukanya Nyonya In menjadi sangat pucat. Ia mencelos hatinya mengingat suami itu untuk belasan tahun telah memperlakukan ia dengan tawar sekali, bahkan sekarang ini ia tidak diperdulikannya. Ia berdiri menjublak, dadanya dirasakan sangat sesak. Itulah kedukaan dan kemendongkolan yang bercampur menjadi satu. Ia merasakan hatinya diam, seluruh tubuhnya lemas. Maka tak dapat ia membuka mulutnya.
Segera terdengar tertawa lebar dari Thian Tok.
"Aku tahu kau telah berhasil meyakinkan ilmu silat Tat Mo Kiamsoet," katanya tawar, "karena kau sangat mendesak untuk mencoba padaku, baiklah, aku si orang she Tjio terpaksa suka menemani kau!"
Tjio Thian Tok seorang ksatria di jamannya itu, apabila tetap ia mengalah, nama baiknya bisa tercemar karenanya. Bukankah In Boe Yang telah membuatnya tak dapat berkutik lagi?
Sang rembulan sudah turun ke arah barat, jam sudah jam lima. Kedua orang itu, dengan sama-sama bungkam, bertindak ke luar. Cepat sekali terdengar suara "Sret!" dan In Boe Yang telah menghunus pedangnya, yang sinarnya berkelebat seperti halilintar.
"Thian Tok, bukan keinginanku yang sebenarnya akan menang unggul sendiri," kata Boe Yang dengan perlahan, "karena dalam ilmu silat tangan kosong kau lebih menang daripada aku, aku terpaksa mesti menggunai senjata tajam. Pedang ini ada pedang mustika yang dapat menabas kutung emas atau kumala, maka kau berhati-hatilah!"
"Terima kasih untuk petunjukmu ini," bilang Thian Tok. "Tetamu tidak mendahulukan tuan rumah, maka kau mulailah!"
In Boe Yang meletaki tangan kirinya di atas pedangnya, lalu ia berseru panjang, menyusul mana Koengo kiam bergerak keatas dalam gerakannya "Bintang sapu mengejar rembulan," hingga tiga kali sinarnya berkelebatan. Ia telah menikam saling susul, di kiri ke jalan darah pekhay hiat, di kanan ke jalan darah lengkioe hiat, dan di tengah ke jalan darah soankie hiat. Ia tidak dapat menjalankan satu serangan seperti Tjit Sioe Toodjin yang dapat menjurus ke tujuh arah, tetapi ini tiga tidak kalah hebatnya, karena sukar diduga arahnya yang tepat.
Di dalam hatinya, Thian Tok terperanjat.
"Benar-benar lihay Tat Mo Kiam-soet," pikirnya. Ia lantas menutup dirinya. Maka "Traang," terdengarlah satu suara nyaring, dari bentroknya kedua senjata. Ia tidak memakai tangan kosong hanya poankoan pit, senjatanya yang semacam alat tulis itu (pit). Ia menangkis dengan maksud menempel pedang lawannya. Hebat serangan si lawan, walaupun serangan itu tak mengenai sasarannya, toh ia merasakan telapakan tangannya sakit, hampir saja pitnya itu terlepas dari cekalannya. Ini pun menambah keinsafannya akan lihaynya lawan ini.
Dengan gerakan yang sangat sebat, Boe Yang menarik pedangnya, untuk membebaskan diri dari tempelan, lalu dengan sama gesitnya juga, ia membabat ke arah pinggang. Itulah jurus "Ikat pinggang kumala melibat pinggang."
Thian Tok menangkis dengan cepat, bahkan kali ini ia menangkis seraya terus menyerang, untuk membuat penyerangan membalas. Ia juga menyerang saling susul tiga kali.
Hebat desirannya kedua senjata, berkilau-kilau pedang mustika itu, hingga seumpama suramnya cahaya bintang dan rembulan.
Nyonya In menonton pertempuran itu sambil menyenderkan tubuh di jendela. Ia berduka sangat. Yang satu adalah suaminya, yang lain sahabat karib semenjak masih kanak-kanak. Sekarang mereka itu mengadu jiwa, pada itu ia kena terlibat. Jikalau ia maju sama tengah, ia akan seperti menuang minyak kepada api yang lagi berkobar, ia malah akan menambah merusak. Kalau ia berdiam saja, ialah yang menderita sangat. Makin ia berdiam, makin ia rasakan hatinya sakit. Hingga seperti kosonglah otaknya, tak tahu bagaimana harus berpikir. Ia diam menyender, tubuhnya bagaikan sepotong balok, hatinya bagaikan abu. Di akhirnya, ia merapatkan kedua matanya, membiarkan mereka itu bagaikan naga menempur harimau.
Kembali terdengar bentrokan hebat, mau atau tidak Nyonya In membuka juga matanya. Nyata Boe Yang, dengan gerakannya "Naga sakti masuk ke laut," sudah memaksa Thian Tok menangkis pula serangannya yang sangat dahsyat. Poankoan pit terbuat dari besi pilihan dan pemiliknya pun lihay, tetapi bentrokan itu membuat juga cacat di tiga tempat.
Tidak melainkan Nyonya In yang terkejut sekali, juga Hian Kie dari tempatnya bersembunyi, dia hampir tak bernapas. Dalam kengerihan itu, ia pun merasa sangat menyayangi, menyayangi kedua jago itu andaikata salah satu mesti roboh. Bukankah mereka sama-sama tersohornya? Tjio Thian Tok semenjak sekian lama, dan In Boe Yang baharu saja? Hanya sayang lagi untuk pemuda ini, ia cuma bisa mendengar, ia tak dapat melihat, sebab tidak berani ia muncul dari tempat mengumpatkan diri itu. Ia hanya "melihat" dari suara bentrokan senjata
Nyonya In tidak ingin menyaksikan tapi tanpa merasa, ia mengikuti setiap gerakan pedang dari suaminya, sejurus demi sejurus, hingga lekas juga tigapuluh jurus sudah berlalu, hingga sekarang nampak tubuh Thian Tok seperti terkurung sinar pedang mustika itu.
Dalam kuatirnya itu, Poo Tjoe pun heran dan kagum. Cuma ia yang mengenal baik kepandaiannya dua orang itu. Ia kagum untuk lihaynya suaminya, ia heran yang Thian Tok dapat terkurung hanya dalam tigapuluh jurus itu.
Lagi-lagi terdengar suara "Traang!" berulang-ulang. Lagi-lagi poankoan pit Thian Tok kena dipapas bercacat.
"Tjio Thian Tok," katanya, "ketika kau mulai kau tidak bersungguh-sungguh, tetapi sekarang tahulah kau bagaimana ilmu pedangku ini! Apakah kau kira aku In Boe Yang sudi menyerah kepadamu? Mari maju pula, kau berlakulah hati-hati!"
Boe Yang menantang sambil terus bekerja, mulanya pedangnya diputar bundar, lalu ia menikam.
Dua orang ini ada sahabat dan kawan-sejabat, bersama-sama mereka menghamba kepada satu junjungan, bersama-sama mereka menghadapi musuh, pernah mereka sama-sama menderita, pergaulan mereka bagaikan saudara kandung. Ini juga sebabnya mengapa, walaupun ia sangat jemu terhadap In Boe Yang, Thian Tok tidak lantas berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tapi kelemahan hatinya itu mendatangkan kerugian untuk dirinya. Nyata ilmu pedang Boe Yang lihay luar biasa dan ia kena didesak. Insaflah ia sekarang, tidak dapat ia main-main pula, tak dapat ia mundur lagi. Sekonyong-konyong ia menyambar dengan tangan kiri yang kosong, terus itu disusul sama pitnya, bahkan terus-menerus enam kali, ujung senjatanya itu mencari tigapuluh enam jalan darah lawan. Maka pertempuran menjadi hebat luar biasa.
Hian Kie cuma mendengar, ia tidak melihat, tentu sekali tak tahu ia apa yang terkandung dalam hatinya Boe Yang.
Nyonya In, yang mengenal kedua pihak, menghela napas. Ia mengerti yang Thian Tok sudah mencoba untuk mengalah. Itulah menandakan si orang she Tjio tidak melupakan persahabatan mereka. Di pihak lain, Boe Yang berkeinginan membinasakan sahabatnya ini. Dengan cara berkelahinya itu, Boe Yang pun hendak mempertontonkan kepandaiannya pada isterinya itu. Hanyalah karena kecerdikannya, ia menunda pertempuran sebentaran, untuk menunjuki kebaikan hatinya...
Yang hebat untuk Thian Tok, bukan saja pitnya bercacat, bahkan ujungnyapun kena dibabat kutung. Maka poankoan pit tidak lagi menjadi Sin Pit, Poankoan pit Sakti...
Tapi Boe Yang gagal untuk mendustai isterinya, Nyonya In dapat melihat isi perutnya.
Setelah keunggulannya itu, Boe Yang menjadi besar hati. Ia percaya taklah sukar untuk merobohkan Thian Tok. Tapi Thian Tok adalah jago tua, ia beda daripada duapuluh tahun yang lalu, maka juga bagaimana pun ia didesak, dapat ia bertahan.
Si Kelinci Kumala telah turun semakin rendah, gelanggang pertempuran itu menjadi semakin guram, untuk kemudian diganti sinar sang fajar. Selama itu, seratus jurus telah berlalu, tetap mereka sama tangguhnya.
"Shatjaplaktjioe Thiankong Tjianghoat benar-benar lihay!" In Boe Yang memuji sambil berseru panjang, suaranya nyaring. "Tapi untuk harap!" Shatjaplaktjioe Thiankong Tjianghoat itu ialah ilmu silat Thiankong tjiang yang terdiri dari tigapuluh enam jurus, yang merupakan ilmu silat istimewa dari Tjio Thian Tok. Dengan suaranya itu, Boe Yang memuji berbareng mengejek. Setelah itu, ia mencoba untuk mendesak pula. Kali ini ia mengubah gerakannya. Nampaknya pedangnya menjadi ayal, tetapi sebenarnya setiap serangannya bertambah berat. Dengan begitu agaknya Thian Tok cuma dapat bertahan saja.
Pertarungan berlanjut terus, makin lama bertambah dahsyat. Hebat beberapa pohon di dekat mereka, cabang-cabangnya terbabat pedang, daunnya rontok belarakan, hingga pohon itu menjadi gundul.
Nyonya In menyedot napas dingin.
"Itulah pohon yang Boe Yang paling menyayangi, sekarang ia membabatnya dengan pedangnya," pikirnya. "Rusaknya pohon itu menandakan pada hatinya sudah timbul napsu membunuh."

Boe Yang menyerang dengan hebat, Thian Tok menangkis. Tepat kedua senjata beradu, tepat Poankoan pit terbabat bagian tengahnya dan putus kutung!

Tentu saja nyonya ini menjadi bergelisah, sebab untuk mencegah, ia tidak berdaya.
Lagi duapuluh jurus telah dikasi berlalu. Thian Tok masih belum menggunai tiga jurusnya yang terakhir.
Boe Yang terkejut ketika satu kali ia diserang, karena ia berkelit, serangan itu meminta mangsa patahnya sebuah cabang besar di sampingnya. Ia lantas saja ingat: "Dia bersahabat erat dengan Pheng Hweeshio, kabarnya paderi itu telah mengajari dia ilmu Hiankong Yauwkoat, inilah rupanya ilmu itu. Nyata dia tak lebih lemah dari Pheng Hweeshio..."
Justeru Boe Yang berpikir, justeru serangannya Thian Tok datang pula. Ia menangkis dengan pedangnya tetapi pedang itu kena tersampok mental.
Itulah serangan yang ke dua dari Thian Tok, yang segera disusul dengan yang ke tiga. Serangan yang pertama dahsyat, yang ke dua lebih dahsyat pula, tetapi ke tiga ini aneh, hingga Boe Yang tercengang. Beda daripada yang dua tadi, kali ini tidak ada suara anginnya. Dalam kagetnya, Boe Yang memberatkan tubuhnya dengan pasangan Tjiankin twie. Toh ketika serangan datang, tubuhnya terputar, kakinya limbung, tanpa merasa lagi, ia roboh terguling.
Nyonya In kaget, hingga dia menjerit, akan tetapi belum lagi suaranya berhenti, tubuh Boe Yang bergerak, memutar beberapa kali, akan di lain saat dia berlompat bangun seraya pedangnya menyontek ke atas. Bahkan anehnya ia terus bisa menyerang hingga tujuh kali, hingga punahlah ancamannya Thian Tok.
Sekarang terlihat cara berkelahi yang aneh dari Boe Yang. Tubuhnya berputar dan terhuyung, ia bagaikan satu pemabokan yang sinting, pedangnya menikam ke pelbagai arah, seperti tidak keruan junterungannya, tetapi di matanya isterinya, ia mendatangkan keheranan dan kekaguman. Baru ini pertama kali isteri itu melihat suaminya jadi demikian lihay.
Segera juga Thian Tok terdesak mundur, tetapi baik tindakan kakinya, maupun gerakan tangannya, tidak menjadi kalut. Maka itu, ia dapat bertahan hingga lagi duapuluh jurus lebih.
Boe Yang menginsafi lawannya mahir tenaga dalamnya, ia melayani di bagian ini. Ia hendak membikin lawan itu letih. Kelihatannya ia berhasil, desakannya telah menciutkan kalangannya Thian Tok.
Lagi beberapa jurus, mendadak pundak Thian Tok kena tertikam, di lain pihak, kepalan Thian Tok pun mengenai sasarannya, hingga terdengar satu suara yang nyaring.
Nyonya In terkejut. Ia tahu, suaminya terhajar terlebih hebat. Tapi, ketika kedua orang itu bertempur terlebih jauh, lalu tertampak perbedaannya. Gerakan pedang menjadi terlebih kendor, sedang gerakannya tangan Thian Tok menjadi terlebih ayal pula.
Hati Nyonya In menjadi kecil. Sekarang ia ingat isterinya Thian Tok itu. Ia ketahui nyonya Thian Tok tak pernah mendapat cinta suaminya. Maka kalau Thian Tok terbinasa, janda itu akan hidup sunyi dan menderita bersama anaknya yang piatu... Siapa yang akan didik anak itu, karena ibunya tidak mengerti ilmu silat?
Sampai di saat itu, Nyonya In lantas berpikir untuk datang sama tengah. Tapi ia terlambat.
Boe Yang menyerang dengan hebat, Thian Tok menangkis. Tepat kedua senjata beradu, tepat poankoan pit terbabat bagian tengahnya dan putus kutung!
"Boe Yang!" teriak si isteri.
Tapi pedang Boe Yang sudah berkelebat, tubuh Thian Tok terus roboh, ketika dia dapat bangun pula, tubuhnya itu berlumuran darah. Sebab pedangnya orang she In itu telah melukai delapan belas lubang. Ia terhuyung-huyung.
"Saudara Boe Yang," ia berkata seraya menyeringai, "mulai saat ini, kaulah yang ilmu silatnya nomor satu di kolong langit ini, tidak akan ada yang dapat menandingi lagi. Saudara, aku beri selamat padamu!"
Habis mengucap, kembali jago ini roboh.
Boe Yang mengawasi, akan mendadak ia menjadi sangat kaget. Pada pundak Thian Tok yang bajunya robek itu, ia melihat kulit yang hitam.
"Ah, ah, kau terkena kuku beracun dari Pouw Kian!..." jeritnya. Baharu sekarang ia ketahui, Thian Tok menjadi lemah karena bekerjanya tangan beracun dari Pouw Kian itu, racun mana dapat Thian Tok lawan untuk sementara waktu, karena dia mesti berkelahi mati-matian, racun itu tak dapat dipertahankan terlebih lama pula, maka ditambah sama luka-luka pedang, habislah tenaganya.
Dua kali lagi Boe Yang memanggil namanya rekan itu. Thian Tok tetap tidak menjawab, maka itu, ia menjadi berdiri menjublak dengan pedang di tangan. Ia merasa segala apa menjadi sunyi...
-xXXXxx-

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora