Namun ternyata bukan itu alasannya.

Alasan sebenarnya kenapa Barra seolah memutus komunikasi dengan Amira terkuak bertepatan dengan acara syukuran kelahiran Edgar. Ketika itu, kediaman Amira dan Ivan begitu meriah oleh pesta kecil untuk kalangan keluarga dan sahabat menyambut kelahiran putra pertama mereka. Termasuk kejutan menyenangkan, ketika Barra, sahabat Ivan datang tanpa pemberitahuan. Laki-laki itu datang dengan membawa sebuah boneka panda ukuran jumbo serta senyum lesung pipitnya yang khas.

Amira sempat terpana sesaat dan kemudian menghambur ke dalam pelukan Barra. Menyambut kehadiran sahabat yang tanpa disadarinya sangat dirindukannya. Dan pesta kecil di kediaman Ivan dan Amira menjadi ajang reuni bagi ketiga sahabat. Ivan, Doni dan Barra. Ketiganya tampak bahagia bisa saling bertemu satu sama lain dan asyik berbagi kisah. Bahkan ayah Amira, yang memang sejak dulu akrab dengan Barra, ikut berbincang, menambah riuhnya suasana.

Diam-diam, Amira mengamati Barra dan merasa bahagia, karena ternyata Barra masih menganggap mereka semua sahabatnya. Terbukti dengan kehadirannya waktu itu.

Iya, meskipun Barra sudah sangat jarang membalas surel Amira, namun Amira masih terus mengirimkan kabar tentang keadaan dirinya, Ivan juga Doni. Termasuk ketika Ivan dan dirinya akan mengadakan pesta kecil menyambut kelahiran Edgar. Dan niat baik Amira menjaga komunikasi membuahkan hasil. Walau sempat merasa sebal dengan kedatangan Barra yang tanpa pemberitahuan namun pada akhirnya Amira bahagia. Usahanya tidak sia-sia untuk terus menyatukan ketiga sahabat itu.

"Ivan, gue mau liat jagoan lo dong! Moga-moga lebih banyak gen baik dari Amira daripada gen dari kamu,”

Kala itu Ivan langsung menonjok bahu Barra pelan sambil bersungut-sungut kesal dan disambut tawa yang mendengar seloroh Barra. Sementara, Amira merasakan ada sentakan halus dalam hatinya. Karena ia melihat sinar yang berbeda di mata Barra ketika Barra menatap ke arahnya.

”Jangan salah lo Barra! Justru anak gua itu, gua banget gantengnya! Kalau ga percaya, sana gih, tengokin di kamarnya, tapi inget, jangan berisik!”

Dan sambil masih tergelak, Barra mengikuti Amira menuju kamar bayi. Entah mengapa, kala itu punggung Amira meremang. Kehadiran Barra terasa begitu nyata bagi Amira membuatnya sedikit gugup. Terlebih ketika melihat Barra berdiri di atas lututnya, mengintip ke dalam box bayi, berbicara lembut pada bayi Edgar yang tertidur lelap.

”Hi boy, here’s uncle Barra... Your best uncle ever...”

Seakan mengerti, secara spontan jemari mungil Edgar merespon Barra dengan menggenggam erat telunjuk Barra yang sebelumnya membelai lembut tangannya.

”Yes my little boy... Here I am...”

Hati Amira tergetar melihat interaksi bayi mungilnya dengan Barra. Serangan haru mendadak menyerang Amira, membuatnya mencari-cari alasan keluar kamar dan membiarkan Barra berduaan dengan Edgar. Dan perasaan tercekat semakin dalam menghantam hati Amira ketika ia kembali ke kamar Edgar. Sebelum ia sampai di ambang pintu, suara dalam Barra terdengar begitu pilu di pendengaran Amira, membuatnya terhenti seketika.

”I wish, I am your father...”

Dada Amira terasa sesak.

Terjawab sudah semua sikap Barra yang seolah menjauh darinya dan sahabat-sahabatnya.

Barra mencintainya. Mencintainya diam-diam.

Sejak saat itu, Amira mulai mengurangi intensitasnya menghubungi Barra. Ia tak mau lebih jauh melukai laki-laki yang telah begitu baik padanya. Memberikan kesempatan pada Barra dan dirinya sendiri untuk mencerna dan menerima kenyataan yang terpampang di hadapan mereka. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa perlu lebih banyak lagi hati terluka. Bahkan Amira hampir lupa, bahwa masih ada Barra selain Doni dan Lina yang menjadi sahabatnya.

Hingga hari ini.

Tiba-tiba Barra menghubunginya kembali. Mengingatkannya pada saat-saat ia mencurahkan segala permasalahannya pada Barra. Apapun itu, Barra, sebagai sahabat terbaik merupakan temannya berbagi kisah dan selalu siap mendengarkannya.

Amira mengusap wajahnya, menghembuskan nafas melalui sela-sela jemarinya. Berusaha menghilangkan beban berat yang menghimpit dadanya. Hati kecilnya membutuhkan sandaran, sekedar untuk melepaskan penat yang tiba-tiba mendera.

’Barra kah tempat yang tepat?’ hati kecilnya berbisik.

Namun seketika logikanya menolak mentah-mentah. Bagaimanapun, ini adalah pertarungan Amira sendiri. Tak seharusnya ia melibatkan orang lain. Terlebih lagi jika orang lain itu Barra. Bagaimanapun dia telah mampu menahan semuanya sendiri selama setahun lebih. Hingga ia berada di posisinya saat ini, tak sekali pun Amira mengungkapkan luka hatinya yang sebenarnya. Baik pada ayahnya sendiri. Namun, Amira meyakini, ayahnya telah melihatnya demikian terluka, hingga mengulurkan tangan, menguatkan Amira dengan caranya sendiri.

’Kami baik-baik saja, Barra... Terima kasih...’

Amira mengetikkan surel balasan pada Barra dan kemudian menutup lembar surel pribadinya. Hatinya sudah menetapkan. Sudah cukup banyak hati yang terluka, ia tak ingin menambah panjang daftarnya, walaupun itu harus mengorbankan hatinya sendiri.

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang