Aku bersimpuh, meledakkan tangisku.

Isak tangisku bergema di depan Katedral suci ini, menyetubuhi malam dan udara yang begitu dingin, kurasakan mataku yang perih akibat maskara luntur yang mulai memasuki celah mataku, namun aku tidak berhenti. Aku terus menangis, merasakan sakitnya seluruh beban ini, pipiku rasanya berkedut akibat tamparan keras dari Jake. Dan pria berjas mahal yang mengikutiku menyaksikan semuanya.

Ia melihat kerapuhanku.

Aku bisa mencium esensial menenangkan di tubuhnya, pria paruh baya itu mulai menurunkan tubuhnya untuk berjongkok di depanku, hingga bisa kulihat tatapan teduhnya lagi yang begitu sulit untuk kuterka. Dan perlahan aku mendongak, diikuti bibirku yang gemetar, aku menatapnya di balik pandangan bunar ini. Menelusuri wajahnya yang sedikit memiliki kerutan, kuperhatikan pula bulu-bulu halus yang tumbuh di atas bibir serta dagunya. Embusan napas pria itu mengenai wajahku, dan aku terus menangis.

"Aku melihatmu, aku melihatmu." bisiknya lembut, seakan menekanku pada kenyataan bahwa dia sudah melihat bagaimana lemahnya aku. "Aku turut prihatin atas semua kejadian ini."

Aku terdiam, sama sekali tidak tahu harus melakukan apa.

"Jangan menangis, Rita." bisiknya lagi seakan menjadi sihir untuk membuatku tenang. Suaranya selembut beledu, membelai lubang telingaku di balik semua keresahan ini. "Jangan menangis seperti ini."

Tak bisa kutahan isakanku. "Aku, aku,"

"Dengar," tangan besarnya mulai menyentuh wajahku, ia meraih sebilah pipiku, hingga kurasakan elusan lembut dari jemarinya. Mataku terpejam, "Aku tidak akan mengeluarkan banyak omong kosong untuk menenangkanmu. Semua itu tidak berguna, bukan?"

Aku tidak menjawabnya. Hanya isak tangisku yang terus menggaung dan bergema di tengah keheningan Katedral tepat saat tengah malam seperti ini. Perlahan, pria itu mulai menuntunku untuk kembali berdiri. Ia menopangku saat tubuh ini terasa lemah untuk bertahan. Aku bangkit, bersamanya, aku dituntun olehnya untuk melangkah mendekati Katedral, hingga aku semakin merasakan getaran emosional saat jarak ini semakin mendekati tempat yang diberkati milik Tuhan.

Dan aku kembali jatuh, menangis, tidak mampu melangkah lebih dekat untuk meraih pengampunan Tuhan.

"Rita," bisik pria itu lagi, ia tetap berusaha menopangku ketika raga ini semakin lemah.

Aku tidak menjawabnya.

"Kau butuh pertolongan, kau membutuhkannya." ujarnya dengan suara yang begitu lembut, kembali membelaiku. Ia tetap menopangku dan menuntunku agar tidak terjatuh. "Mari, akan kutolong kau. Akan kubawa kau pergi dari sini. Lahirkanlah anak itu, rawatlah ia hingga besar. Aku akan membantumu."

Isakanku terhenti.

"Jika kau mengira aku menuntut jasa atas semua pertolongan ini, itu tidak benar." bisiknya lagi, ia seakan mampu membaca pikiranku. "Ini hanya pertolongan murni untukmu, Rita. Aku melihatmu, kau mengenalku."

Mataku terpejam kuat, hingga bisikan ini timbul tanpa kusadari. "Siapa kau..."

"Will," balasnya cepat. "William. Dan aku datang untuk membantumu. Anggap ini sebagai pertolongan Tuhan."


***

L'avenir

[Paris]

Gelap menguasai langit. Bulan terbit diikuti bintang-bintang yang bergabung membentuk setitik cahaya. Di balik mansion yang mulai menua, wanita itu berjalan menyusuri lorong panjang di tengah keheningan. Ketukan sepatu fantofolnya terdengar hingga bergema mengiringi langkahnya. Langkahnya terbilang tenang dan berkelas, setiap jarak dalam langkah yang diambil tampak begitu teratur. Namun tak bisa dipungkiri, gesturnya yang terkesan tegang memerlihatkan kecemasannya.

SLUT 2 [COMPLETED]Where stories live. Discover now