one

3K 337 76
                                    

Happy reading pervs.


V O M M E N T S

***

.
.
.
.
.

"Sing! Dengar pho dulu!"

"Pho kau tak bisa menyuruhku satu kamar dengan si pucat itu. Aku tidak akan mau."

"Dia punya nama Sing."

"Terserah."

"Pho tidak mau dengar alasan apapun! Pokoknya kau sekamar dengannya! Ingat Sing, hanya 2 minggu sampai kamarnya diperbaiki!"

Kini Krist diam didepan sebuah ruangan, mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari ayah dan anaknya ini. Ia merasa tidak enak sekaligus merasa bersalah.

Cklek!

Pintu ruangan tersebut terbuka, Krist yang terpergok oleh anak dan ayahnya ini merasa malu. Iapun menatap sekilas wajah Singto yang sudah merah padam sebelum menundukkan pandangannya.

Singto sambil menaiki alisnya, menatap Krist dari bawah kaki sampai atas kemudian melenggang pergi tanpa berkata apapun. Membuat ayahnya tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Krist yang sudah mengetahui perginya Singto segera menatap Tep, ayah angkatnya itu sambil tersenyum bersalah. Wajahnya seperti ingin dikubur saja daripada ketahuan seperti ini.

"Krist, kau baik-baik saja? Maafkan Singto ya, memang dia seperti itu. Bisakah kau memakluminya?" Kini Tep bertanya sambil menepuk bahu anak tirinya itu. Kristpun mengangguk ragu.

"Oke kalau begitu, aku senang mendengarnya. Oh ya mulai malam ini kau tidur dikamar Singto ya, sampai kamarmu benar-benar baru." Tambah Tep antusias.

"Oke pho." Krist benar-benar canggung dibuatnya apalagi ketika kata 'pho'. Tep senang mendengarnya karena krist sudah memanggilnya Pho saat pertemuan pertama mereka.

Kristpun dituntun kekamar Singto oleh salah satu pelayan rumah. Rumah megah bergaya klasik eropa nan tua ini membuat krist canggung dibuatnya. Pagar setinggi tiga sampai empat meter, kolam renang yang luas, satu lapangan yang serba guna, meja makan sepanjang tiga meter, belum lagi fasilitas lainnya seperti perpustakaan luas pribadi, tempat gym dan sebagainya, tapi dengar-dengar rumah megah ini hanya memuat sepuluh kamar utama dan tiga kamar para pelayan. Kamar utama seluas rumah sedang dipinggiran jalan kota dan hanya dipakai dua saja, yaitu Tep sendiri dan kamar Singto, sisanya kamar kosong yang bedebu dan ada yang beberapa hampir rusak. Apa tinggal ditempat seperti ini akan menyenangkan? Pikir Krist ragu.

"Khun Krist kita sudah sampai." Ucap pelayan rumah sopan. Kristpun sadar dari pikirannya. Kemudian ia berterimakasih kepada pelayan tersebut seraya menginjak kamar seorang Singto Prachaya ini. Kamar yang lantainya dilapisi karpet berbulu tebal berwarna hitam. Dari kasur king size, poster-poster, lemari besar, tv tipis nan lebar yang menghias dindingnya, sofa yang terlihat empuk sampai kamar mandi yang tak kalah luasnya. Serba hitam putih.

'Akankah kamarku sebesar ini?' Pikir Krist. Ia pun menaruh kopernya dibawah kasur kingsize milik Singto, berniat agar si empunya kamar tak mengetahui bahwa sebagian barang milik adik tirinya sudah berada disini, Kristpun lalu merebahkan diri diatas kasur Singto.

"Golden chocolate parfume." gumamnya ketika mencium bau khas kasur Singto. Seketika Krist tersenyum. Tak tahu kenapa.

Dengan antusias Kristpun menoleh keseliling ruangan dengan keadaan masih berbaring diatas kasur empuk milik Singto. Matanya kini tertuju kearah beberapa poster yang memiliki kalimat yang sama tertulis,

The SOCIOPATHWhere stories live. Discover now