Prolog

22.3K 959 32
                                    

Pertama kali dipublikasikan 20 desember 2016. Versi full bisa kalian akses di Google Play dan Karya Karsa (@iamtillyd)

 Versi full bisa kalian akses di Google Play dan Karya Karsa (@iamtillyd)

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

***
MATURE CONTENT!

***

Los Angeles, Amerika Serikat
Tiga belas tahun yang lalu...

Siang itu langit nampak begitu cerah. Seorang anak laki-laki mengayuh sepedanya dengan semangat. Senyum cerah tak pernah luntur dari bibir tipisnya. Matanya yang berwarna biru--bak samudera--terlihat begitu teduh, namun kilat kebahagiaan tetap terlihat darisana. Anak laki-laki itu begitu semangat dengan hari ini. Tepat pada tanggal 11 Mei--hari ini--adalah hari ulang tahunnya yang ke-10. Cukup sudah ia menunggu, ayahnya telah berjanji bahwa ia akan membelikan mainan pesawat terbang yang menggunakan remote untuk ulang tahunnya yang ke-10. Pasti keren sekali jika ia tunjukan apa yang ia miliki pada teman-temannya.

Ia menyimpan sepedanya di garasi, lalu bergegas berlari kecil menuju rumahnya. Anak laki-laki itu berteriak kegirangan memanggil ayahnya. Ia rela meninggalkan temannya yang masih bermain di lapangan demi menagih hadiah pada sang ayah. Ia terus memanggil sang ayah hingga akhirnya lelah dan menangis. Ayahnya sama sekali tak muncul. Ia kecewa, apakah ayahnya berbohong? Padahal ayahnya telah berjanji. Kemudian ia mencoba memanggil ibunya juga, tapi tetap tak ada sahutan. Rumah tampak sepi tak seperti biasanya. Ke mana perginya para pelayan?

Dengan air mata yang masih berlinang, ia melangkah menaiki anak tangga satu-persatu. Langkah kakinya terhenti ketika ia mendengar suara-suara aneh dari ruangan rahasia ayahnya. Ia menyebut ruangan itu begitu karena ayahnya tak pernah mengizinkannya memasuki ruangan itu, dan ayahnya jarang sekali membukanya.

Anak laki-laki itu mengintip dari celah pintu yang terbuka. Kedua matanya membelalak lebar melihat sang ayah tengah dipukuli dengan brutal. Kemudian ibunya... wanita berambut pirang itu diperkosa dengan brutal. Dengan cara yang begitu mengerikan digauli secara bergantian. Ibunya diikat disebuah palang berbentuk X dengan beberapa--ia menghitung dengan jarinya--ada 4 pria. Mereka semua bertubuh besar. Salah satu darinya terus bergerak dengan kasar. Dan yang lainnya mencambukki tubuh ibunya dengan sabuk.

Ia bergetar ketakutan. Dalam diam ia terus mengamati. Kenapa ayahnya hanya diam saja? Apa yang mereka perbuat? Apa wanita memang harus diperlakukan dengan kasar?

Ia adalah darah daging ayahnya. Mungkinkah jika besar nanti ia akan melakukan ini pada wanitanya?

Ia meringsut menjauh, ketakutan berlari kecil menuju kamarnya. Mereka salah, ayahnya salah. Wanita harus diperlakukan dengan lembut, bukan untuk disakiti. Tidak dengan seperti ini. Ia memukul tubuhnya sendiri dengan kasar. Menjerit sekeras-kerasnya seraya terisak kecil. Ayahnya jahat, berarti ia juga jahat.

Jika besar nanti berarti ia akan seperti itu...

***

"Maafkan aku, Baby Girl. Aku tak bisa bermain lagi denganmu." anak laki-laki itu berbisik dengan serak pada gadis kecil dihadapannya.

Gadis kecil dihadapannya terisak, "Gave jahat, kenapa Gave tak ingin bermain denganku lagi? Hiks... Hiks..."

Gadis kecil itu terus merengek seraya memukul tubuh anak laki-laki itu dengan tangan mungilnya. Matanya yang berwarna cokelat jernih tampak memerah dengan air mata yang terus mengalir. Anak laki-laki itu berusaha menenangkannya dengan mengulurkan tangannya perlahan. Mengusap lembut puncak kepala gadis kecil dihadapannya. Lalu tanpa ragu memeluknya.

"Gave, ayo main kerajaan-kerajaan lagi, hiks..."

"Tak bisa, Camryn. Aku harus pindah ke New York."

"Hiks..."

"Aku pasti kembali, janji."

"Hikss... aku maunya Gavin disini. Hiks..." gadis kecil itu terus terisak.

Merasa bingung, anak laki-laki itu mulai berpikir keras untuk menenangkan gadis kecil di pelukannya. Ia mengulurkan tangannya mengusap lembut anak itu. Mereka memang telah bersama-sama selama 1 tahun ini. Tapi ia tak bisa tetap tinggal disini selamanya. Kedua orangtuanya memutuskan untuk pindah sore ini juga ke Kota New York.

"Kalau sudah besar kita pasti bertemu lagi. Dan... uhm, kita tak akan berpisah lagi."

"Terush--hiks--bagaimana?"

"Aku akan menikahimu kalau sudah besar nanti. Jadi jangan nangis, ya?"

"Menikah yang seperti di kerajaan-kerajaan itu? Kau menjadi raja dan aku ratu, begitu?" senyum gadis kecil itu mengembang.

Mau tak mau Gavin kecil tertular senyuman gadis kecil dihadapannya.

"Ya, Camryn." dipeluknya gadis kecil itu dengan erat.

***

Ottawa, Ontario, Kanada
Sekarang

Pria itu mendesah, berpegang erat pada kepala ranjang. Kedua matanya terpejam dan bibir merah tipisnya terbuka sedikit. Peluh membasahi tubuh atletisnya. Diatasnya seorang pria terus bergerak dengan liar, menambah kecepatan sedikit demi sedikit membuat pria itu menggila merasakan kenikmatan tiada tara.

Ia tak membutuhkan one-night-stand dengan wanita-wanita sialan yang berada di jalanan manapun. Sekalipun tubuh mereka 'berisi', toh ia tahu bahwa semuanya palsu. Mungkin uangnya lebih dari kata cukup untuk membayar mereka semua. Tapi dirinya--hanya menginginkan satu--bukan diantara mereka. Gavin Millian hanya menginginkan kekasihnya, Alfredo Ambrosio; si pria latin yang seksi.

"Shit, Gavin." pria itu menggertakan giginya menggeram. Dan saat itu juga dirinya datang mendapatkan puncak kenikmatan yang panjang.

Bersamaan dengan itu, pria dibawahnya pun mendesah panjang. Mereka berpindah posisi menjadi telentang. Masing-masing menatap langit kamar dengan napas yang masih saling terengah-engah.

"Selalu membuatku gila." kekeh Gavin dengan serak.

Pria di sampingnya membalikan tubuhnya, menatap kekasihnya dengan tatapan memuja.

"Ya, kau selalu membuatku ketagihan." balasnya seraya mengusap peluh di kening Gavin.

"Aku mencintaimu, Alfredo."

Tiba-tiba gerakan Alfredo Ambrosio terhenti. Senyuman pria itu memudar, raut wajahnya tampak berubah menjadi datar. Kedua matanya menatap lurus dinding kamar apartemen Gavin dengan pandangan sedih.

"Gavin. Sejujurnya... ada yang ingin aku bicarakan."

"Ada apa?" Gavin beranjak, menatap perubahan raut wajah kekasihnya.

"Aku akan menikah, Gavin." setelah kata itu terucap, Gavin hanya tertegun.

"Kau bercanda?"--lirih Gavin dengan sedih--"pasti ini hanya gurauan 'kan karena besok adalah hari ulang tahunku yang ke 23. Benarkan?"

"Aku serius. Aku dijodohkan oleh Ayahku. Maaf, sepertinya hubungan kita harus berakhir sampai disini."

Gavin Millian (RE-POST)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora