BAB 1 part 1

699 48 2
                                    

BAB 1

"Realitas vs Candaan MasaLalu"    

part 1

Di sinilah mereka sekarang. Ruangan wakasek kesiswaan. Keduanya tengah duduk di hadapan wakasek kesiswaan, Pak Tana. Guru berkumis itu memandangi Caleb dan Adis tidak habis pikir. Dalam diam yang masih sama setelah mereka menjelaskan permasalahannya, Pak Tana tidak bisa merespon apapun.

Akhirnya hanya tarikan nafas dalam yang keluar dari mulut berhobi public-speaking itu.

"Alasan kamu yang hanya iseng saat mengatakan itu membuat semua jelas, seenggaknya."putus Pak Tana kemudian. Pandangannya terarah pada Caleb dengan mengamati.

"Berapa nomor telepon orang tua kamu?"

"Pak?" Caleb menanggapi itu dengan mendengus. "Nggak usah ngelibatin—"

"Hei, semua orang tau candaan itu udah keterlaluan." Pak Tana memperingatkan Caleb. "Ada yang perlu dipertanyakan soal tata-krama dan apa yang sebenarnya diajarkan sekolah kamu dulu. Siapa yang tau kalau kebiasaan bule ala kamu itu bakal ditularkan ke siswa disini? Bahaya namanya."

Dari sisi Caleb, Adis tergelak pelan dan menunduk. Di dalam sana ada rasa puas tersendiri mengetahui kalau Pak Tana sependapat dengannya atas "candaan" yang Caleb lontarkan.

"Berapa nomornya?"tanya Pak Tana lagi, tegas kali ini.

"085...712...786..590." "Percuma juga tapi, Pak. Nggak bakal diangkat. Mereka sibuk."

"Sesibuk apapun, mereka tetap bertanggung jawab atas kamu."

Caleb terdiam, menyerah dengan usahanya mencegah Pak Tana untuk menelepon ke nomor itu. Nomor yang barusan ia berikan adalah nomor ayahnya, Tom Ananta. Di sisinya, Adis jadi terdiam juga karena mendengar Pak Tana sudah mulai berbicara dengan seseorang di seberang sana. Pelan, dia melirik Caleb. Cowok itu sedang mengelap ujung bibirnya lagi, lalu memegangnya. Merintih.

Yah...setidaknya kalau bukan perkataan Caleb sendiri yang menyebabkannya, Adis akan langsung membawanya ke UKS untuk diobati. Secara tidak langsung dia juga sadar kalau seharusnya bukan seperti itu dulu responnya ketika menanggapi ucapan Caleb. Seharusnya dia bisa bersikap lebih bijak. Meski senang karena cowok aneh yang SKSD itu bisa dapat pelajaran dari perilakunya, Adis tetap harus meluruskan apa yang terjadi di antara mereka setelah ini. Terutama soal penamparan pertama sekaligus tersadis yang pernah dia lakukan ke seorang cowok yang belum sampai setahun—sekadar—dikenalnya.

"...Ya, saya hanya ingin mempertanyakan soal kelakuan anak bapak, Caleb. Dia sudah bercanda keterlaluan ke salah satu siswi dari jurusan lain." "...Yah...hampir seperti orang yang menawar PSK di pinggir jalan," "Anaknya langsung ditampar sama yang dia ajak bercanda. Saya juga nggak tau itu benar bercanda... atau memang sengaja diucapkan buat menciptakan musuh di sini."

"...Ya, Pak, nggak apa-apa kalau tidak bisa datang langsung kemari. Tapi saya sangat mengharapkan pengertian bapak atas perilaku Caleb. Ini bukan di luar negeri, Pak, ya..."

"...Sama-sama, Pak." "Nggak kok..nggak akan diskors. Ini cuma masalah kecil." Pak Tana tertawa di teleponnya bersama ayah Caleb. Matanya sesekali memandang Adis dan Caleb bergantian. Posisi mereka sendiri masih sama; diam di kursi dengan kepala tertunduk.

"...Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya, ya, Pak." "Ya. Maaf sudah mengganggu."

Selesai.

"Baik," Pak Tana menarik nafas untuk kesekian kalinya. "Kalian boleh keluar dengan catatan; Caleb lari keliling lapangan sepuluh kali, lalu Adis... kamu obati luka Caleb di UKS."

HITAM [END]Where stories live. Discover now