Part 2 : Rain

67 10 0
                                    


Hujan menyisakan jejak basah,
Seperti hatimu yang tertinggal di sini,
Selamanya.

Anthony pov's

Namaku Anthony Regen Cecillius. Aku terbaring di brankar rumah sakit hari ini. Entah apa yang terjadi, yang kurasakan sekarang adalah brankar didorong-dorong entah kemana. Aku kira, aku sudah melewati lebih dari 3 koridor yang berkelok-kelok. Mungkin aku akan dibawa ke salah satu kamar perawatan.

Beberapa saat kemudian brankar berhenti, dan aku dipindahkan ke atas tempat tidur. Di tanganku ada selang infus, aku dapat merasakannya. Dan, sepertinya ada beberapa luka di dekat sana. Ada rasa perih yang mendera. Terlebih, jika luka tersebut tertiup angin, semakin terasa ngilu.

Seluruh ruangan terasa gelap. Gelap sekali. Aku tak bisa melihat apa pun. Atau mungkin, karena memang aku tak bisa melihat. Mulutku kaku, tak bisa digerakkan, hanya ada suara desis dan rintihan kecil setiap kali luka di tubuhku meremang menyebabkan sakit yang dua kali lipat dari keadaan yang sudah sakit itu.

Pintu tertutup, dan... suasana hening sekarang. Aku sendirian.

Berjam-jam sudah rasanya aku tertidur. Aku tidak tahu berapa lama tepatnya karena aku tidak bisa melihat petunjuk waktu di kamar ini. Kamar ini masih terasa gelap. Sekarang, aku hampir sadar sepenuhnya. Lalu aku teringat seseorang, aku ingin mencari seseorang. Salsha. Di mana Salsha? Di mana dia?

Aku mencoba mengingat-ingat, meskipun sulit. Kelebat bayangan tidak jelas muncul dalam pikiranku. Peristiwa itu, aku ingat, tapi hanya serupa bayang-bayang samar. Mobil, jalan raya, hujan, suara teriakan, dan....

Aku ingat sekarang.

Kecelakaan itu.

"Salsha... Salsha...!" aku berteriak, memanggil Salsha, memanggil orang yang paling aku cintai.

"Salsha...!" aku terus memanggil.

Lalu kudengar suara orang berlari masuk ke dalam kamar. Memegangiku dan mencoba menenangkanku. Tapi aku berontak. Aku masih memanggil Salsha, mencecar serapah menanyakan keberadaannya. Tapi tak juga dijawab, lalu mereka menyuntikkan sesuatu, membuatku... lemah dan tak sadar.

***

Aku sudah tahu. Aku ingat semuanya. Dan perawat telah memberi tahuku. Mobil kami tergelincir di tikungan ketika hujan deras mengguyur dalam perjalanan kami menuju Eindhoven Airport. Aku dan Salsha berencana pergi ke Milan. Sepupu Salsha akan menikah di sana, dan kami pikir kami akan mengambil liburan ke sana. Tapi mobil nahas yang kami tumpangi keluar jalur akibat jalan yang licin dan menabrak sebuah van yang melintas dari arah yang berlawanan. Aku hanya mendengar suara klakson panjang, benturan keras yang memekakkan telinga, dan suara Salsha yang berteriak ketakutan.

Tuhan berkata lain hari itu. Untuk semua rencana yang telah kami tetapkan. Untuk semua keinginan yang telah kami tuliskan. Semuanya berubah, dalam satu waktu saja. Termasuk, hidupku dan Salsha.

Salsha pergi. Selamanya.

Meninggalkanku.

***

Satu minggu berlalu. Seseorang datang, memanggilku. Aku mengenalnya. Itu... Sofie. Benarkah dia?

***

Semuanya masih gelap. Tanpa cahaya. Hitam, pekat, hanya itu yang aku lihat. Ke manakah semua warna? Apa hilang begitu saja?

Kudengar seseorang bicara padaku, mendorongku di atas kursi roda, membawaku berjalan mengelilingi taman. Menikmati harum musim semi, udara yang mulai hangat dan suara binatang yang tak lagi berdiam di dalam sarang mereka.

"Kalau kau sudah keluar dari rumah sakit, aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Mendatangi kanal-kanal, rumah tradisional, dan melihat bunga tulip.

Atau... kita bisa minum cokelat panas. Atau mungkin, kita naik trem. Atau, kau mau ke tempat lain? Rotterdam? Flevoland?"

Sofie bicara tanpa henti, seterusnya, bahkan meskipun aku hanya diam. Meskipun aku tak terlalu memedulikannya. Meskipun aku tak menanggapi keceriannya, dan lebih banyak memelihara kesedihan dan rasa kehilanganku.

***

"Smile," suara Sofie menandai jepretan kamera yang terdengar di telingaku. Entah bagaimana ekspresimu saat itu.

"Kau murung sekali. Tak bisakah senyum sedikit saja?"

Untuk apa?

"Anthony... Anthony...."

Sofie memanggilku dua kali. Kedua tangannya bersandar di atas bahuku, mengusap lembut. Apa yang membuatnya mau bertahan seperti ini, menemaniku terus sepanjang hari? Apa dia tidak bosan? Tahukah dia kalau aku bahkan sudah bosan dengan hidupku sendiri?

Apa jadi alasan untukku hidup? Apa lagi?

Salsha pergi. Masa depan kami hilang. Aku tidak dapat melakukan segalanya sebaik seperti dulu, bahkan. Karena aku... cacat sekarang. Kehilangan penglihatanku, selamanya. Walau sebenarnya lebih sakit dengan kehilangan Salsha.

Jadi kalau aku bilang hidupku sudah berakhir, betul kan?

***


If The Rain Ever AskWhere stories live. Discover now