Part 1: Cloud

217 16 2
                                    


Kesetiaan seperti awan, menemani hujan sepanjang zaman, tak tergantikan.


Kamu percaya takdir? Kamu percaya segala yang terjadi di dunia ini adalah bukan sebuah kebetulan, melainkan sudah ada rencana awal yang dituliskan? Lalu Tuhan mewujudkannya dalam sebuah bentuk kenyataan. Ada yang telah dituliskan sebagai sebuah kebaikan, atau sebaliknya.


Namaku Sofie, aku tinggal di ketinggian hanya beberapa meter dari permukaan laut. Ya, begitulah, kota-kota di sini memang sangat rendah, bahkan nyaris tenggelam jika tidak dibantu dengan bendungan bendungan luar biasa hasil teknologi temuan manusia.

Amsterdam, kota pesisir yang indah, suamiku menyebutnya begitu. Kami telah menetap cukup lama di sini, setelah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dan besar di negara asalku, Indonesia. Ayahku berkebangsaan Belanda, sedangkan ibuku perempuan asli Indonesia. Sudah belasan tahun mereka tinggal dengan tenang di surga, dan rumah yang aku dan suamiku tempati sekarang adalah warisan keluarga, tempat di mana ayah dan ibuku menghabiskan waktu senja mereka dulu.

Aku mempunyai tiga orang anak: Jason, Steve, dan Sheila. Mereka tidak tinggal bersamaku. Jason bekerja di Irlandia, sementara Steve dan Sheila sudah menikah, mereka tinggal bersama keluarga mereka. Tapi musim ini, kebetulan Sheila datang bersama putri semata wayangnya. Ia sedang pergi keluar, mengajak Anthony suamiku, ikut serta. Dan kemungkinan mereka baru akan kembali saat makan siang nanti.

Aku mengenal Anthony pada sebuah kesempatan ketika musim dingin di Amsterdam puluhan tahun silam. Kau tahu, bagian terindah kota Amsterdam adalah ketika musim dingin, salju turun dan membuat jalanan pekat oleh tumpukan berwarna putih. Dan nikmatilah suasananya di malam hari. Kau akan melihat cahaya kuning keemasan berpadu dengan hamparan salju yang putih, akan membuat pemandangan menjadi indah. Lebih indah lagi karena banyak penduduk yang justru berlalu lalang saat malam. Membuat kota serasa hidup dan hangat di tengah cuaca yang begitu dingin. Ini seperti... saat kau menyesap cokelat panas ketika tubuhmu menggigil dingin.

Kehangatannya menyesap ke seluruh tubuhmu dan membuatmu mau merasakannya lagi dan lagi. Begitulah Amsterdam dan musim dingin. Dan terlebih, kemudian aku bertemu seorang lelaki yang membuatku jatuh cinta dan menikahiku kelak.

Saat itu, entah bagaimana sikap Anthony kepadaku, aku sudah lupa. Tapi Anthony bilang, aku bukanlah tipe wanita yang menarik perhatiannya. Ya, tubuhku tidak tinggi jangkung seperti wanita Belanda atau wanita Eropa lainnya. Rambutku hitam, mewarisi rambut ibuku, sedangkan sebagian besar wanita Belanda berambut cokelat atau pirang. Tinggiku juga tak sampai 170 cm. Dan... ada satu hal lainnya yang membuatku percaya diri. Kadang entah mengapa penyebabnya, aku mengalami gagap saat bicara, dan membuat ucapanku terpotong-potong. Sungguh bukan sebuah kesan yang menarik. Jadi kalau saat itu Anthony bilang ia tidak tertarik kapadaku, aku kira wajar saja.

Baiklah, itu tentang Anthony. Tapi yang aku alami, justru sebaliknya. Aku sudah jatuh cinta padanya sejak kali pertama melihatnya. Anthony tampan, oke, itu bukan satu-satunya. Tapi yang aku sukai adalah dia pribadi yang hangat dan menyenangkan. Meskipun aku tidak menarik di matanya, tapi Anthony tetap memperlakukanku sebagaimana ia memperlakukan seorang teman.

Musim dingin itu kali pertama kami bertemu, saat cuaca sedang begitu dingin. Aku kehilangan kunci rumahku saat pulang dari sebuah toko kelontong di salah satu blok Kota Amsterdam. Aku ceroboh, mungkin aku tidak sengaja menjatuhkannya saat merogoh saku untuk mengambil dompetku. Sialnya, kunci itu adalah kunci satu-satunya yang kami punya karena aku sudah menghilangkan 1 duplikat lainnya bulan lalu. Dan kalau kunci itu tidak juga ketemu, bisa dipastikan aku tidak bisa masuk ke dalam rumah, dan kedua orang tuaku akan marah besar kepadaku.

Aku kesulitan menemukan kunci logam tersebut karena jalanan yang ditutupi salju tebal. Dan aku sudah bolak balik 2 kali ke toko kelontong tadi untuk memastikan kalau kunciku memang tidak terjatuh di sana, dan pemiliknya sudah membantuku untuk mencari sampai 2 kali pula dengan hasil yang tetap sama. Maka kupikir, kunci tersebut memang terjatuh di jalan.

Hari sialku. Dan sekarang aku tengah mengais-ngais tumpukan salju untuk menemukan kunci tersebut.

Salju turun lagi. Menambah timbunan salju sekian sentimeter tingginya. Aku masih terus menyusuri dan mencari. Kemungkinan terburuk adalah kunci tersebut sudah terbenam di dalam salju dan aku harus rela mengaisnya meter demi meter di sepanjang blok ini.

Hampir putus asa, sampai akhirnya aku melihat seorang lelaki tengah berjalan sendirian dengan scarf yang melingkar di lehernya. Kupikir, aku bisa meminta bantuannya. Maka, aku pun memanggilnya.

Aku menghampirinya. Menghentikannya. Tanpa menyebut namaku, aku bilang sejujur-jujurnya kalau aku membutuhkan bantuannya.

Sial. Dengan cara bicaraku yang gagap, ia tampak kebingungan.

Aku mengulanginya lagi.

Sekali. Dua kali.

Wajah lelaki itu bertambah bingung. Atau karena bahasa Dutchku sedikit berantakan? Atau kombinasi antara kegagalan dan bahasa?

Tapi, kemudian dia tersenyum. Aku membuang nafas lega. Dia bilang, dia akan membantuku mencarinya. Butuh waktu lebih dari 30 menit sampai akhirnya kunci rumahku ditemukan tertimbun di dalam salju di depan pelataran sebuah rumah. Aku tersenyum gembira, mungkin lebih dari sekadar gembira. Lalu setelahnya kami saling mengenalkan diri, dan aku tahu namanya adalah Anthony.


If The Rain Ever AskWhere stories live. Discover now