Part 2 - Kafe Kopi

4.6K 276 15
                                    


Aku dan Badai berjalan beriringan menuju kafe yang ada di sudut pantai. Yang kudengar dari beberapa pengunjung, kafe itu memberikan kepuasan tersendiri bagi penikmat kopi. Sebagai salah satu pecinta kopi, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini.

Di sepanjang perjalanan menuju kafe, tidak ada satupun kalimat yang terdengar dari mulutku ataupun mulut Badai. Kita menyelam pada pikiran masing-masing. Hingga beberapa menit kemudian kita sampai dikafe tersebut.

Benar. Apa yang kudengar dari banyak pengunjung, tidak ada satupun yang salah. Kafe ini sempurna. Dengan nuansa cerah dari berbagai ornamen yang ada. Pengangkatan temanya pun luar biasa, enam musim didunia dan dua keistimewaan alam. Malam dan senja. Menarik. Indah. Keren. Cantik.

Pujianku mengalun dengan indah ketika sepasang mataku menjelajah sekeliling kafe ini. Dari berbagai tema yang diangkat oleh pemilik kafe, ada satu hal yang membuatku takjub. Malam. Tema itu lebih indah dibandingkan tema yang lain. Dengan balutan warna biru pekat dan pantulan sinar berlian dari jutaan rayap di langit mampu membuat kafe terlihat elegan.

Kutatap Badai yang masih berdiri di sampingku. "Aku ingin di sana. Kalau kamu tidak ingin nuansa malam, pilih saja yang lain," ucapku pelan. Badai hanya menggeleng lalu melangkah mendahuluiku.

**

"Satu porsi tuna fish salad dan satu peanut coffe latte," ucap Badai ramah dengan sandingan senyum merekah. Dasar si tebar pesona, batinku.

"Ada lagi?" tanya pelayan itu tak kalah ramah.

Badai menengadahkan wajahnya menatapku. "Kamu makan apa?" tanya Badai ketus. Sudah kutebak bagaimana ekspresinya pada pelayan itu dan padaku, berbeda jauh.

" Satu starshine toast dan creamy ice coffe."

"Oke. Akan segera kami antar," ucap pelayan itu lalu menuju bar dapur dimana para koki melakukan aksi hariannya.

Sebelum pelayan itu pergi, Badai sempat mengedipkan sebelah matanya lalu tersenyum manis ke arah pelayan.

"Sok tampan," gumamku. Sepertinya Badai mendengar gumamanku barusan karena raut wajahnya seketika berubah sambil menatapku tajam.

"Memang aku tampan. Baru sadar?"

Aku mendengus kesal lalu merogoh tas punggungku untuk mencari benda pengantar komunikasi jarak jauh.

"Sejak kapan kamu tampan? Dari mitos yang kudengar, keluarga Galatoma tak satupun yang memiliki wajah mempesona. Apalagi keturunan baru-baru ini. Jauh dari kata tampan," sahutku terkikik pelan.

"Dan akulah keturunan pertama yang memiliki wajah tampan. Kalau tidak percaya, tanya saja pada teman satu sekolah. Kupikir kamu harus segera ke optik untuk membeli kacamata. Bisa-bisanya wajah setampan ini kamu bilang biasa saja." cowok ini benar-benar mengacaukan kehidupanku. Huh.

Aku tak merespon ucapan Badai sampai pesanan kita datang.

"Selamat menikmati." Pelayan itu lagi. Apa dikafe ini tidak ada pelayan lain yang bisa menjajakan mata? Dia lagi dia lagi. Aku tahu ini kesempatan emas bagi Badai untuk tebar pesona. Kamu pikir kamu setampan apa?

Beberapa detik kemudian, pelayan itu melangkah meninggalkan mejaku. Dan selanjutnya hanya terdengar dentingan sendok yang berpadu pada piring. Hal ini terjadi sekitar lima belas menit.

"Kakakmu belum pulang dari Itali?"

Aku masih fokus pada cangkir berisi creamy ice coffe ku tanpa memperdulikan pertanyaan Badai.

Aku janji jika aku nanti datang ke pantai ini lagi, aku tidak akan melewatkan minum kopi di sini. Kopi ini benar-benar nikmat. Aku juga akan mengajak Kak Gevan.

Badai Galatoma || #Wattys2019حيث تعيش القصص. اكتشف الآن