17. Dae dan Sang Doa

Start from the beginning
                                    

"Tepat," kata pria itu. "Apa lagi?" Dia kembali pada posisi sebelumnya, menyenderkan punggung dengan tegak ke sofa.

"Ku-kurasa hanya itu." Dae kembali melirik pria emas yang kini menyipitkan mata ke arahnya. "Na-namun, pria tua--maksudku, se-sesepuh itu berkata tentang sebuah ujian untukku."

Pria emas mengangguk. "Untuk itulah kenapa kau dibawa ke sini." Dia melipat tangan di atas meja, kemudian melanjutkan, "Ini adalah kediaman sang doa. Merupakan perintahnya untuk membawamu ke Negeri Langit. Kaum kamilah yang memasukkan pikiran agar kau berani untuk keluar rumah, sehingga memudahkan kami--ketujuh wanita sebelumnya--untuk membawamu."

"Sesepuh mengatakan sesuatu seperti a-akan melatihku bila aku orang yang tepat. Bukankah, bukankah itu berarti kalian sudah pernah membawa o-orang lain se-sebelumnya?"

"Benar. Kami membawa mereka yang kami pengaruhi di waktu malam. Orang-orang sepertimu, mereka yang mempunyai mata istimewa. Kami hanya menduga, tetapi sang doa-lah yang menentukan."

"Kau juga menyebut itu sebelumnya. Siapa atau apa itu sang doa?"

"Kaummu menyebutnya peramal--manusia terpilih yang dapat berkomunikasi dengan penentu takdir. Kaum kami menyebutnya sang doa. Bedanya, peramal dari manusia permukaan berkomunikasi dengan dewa-dewi, bukan penentu takdir seperti sang doa.

"Sang doa sama sepertimu, dia punya mata istimewa. Kautahu, orang-orang dengan kemampuan khusus dapat dilihat dari bagaimana mata mereka sebab, setidaknya dalam prinsip kami, mata tak pernah berbohong. Itulah mengapa kami mencari orang-orang bermata istimewa dan membawanya pada sang doa."

"Apakah itu yang disebut sebagai--"

"Benar. Inilah ujian yang dikatakan sesepuh padamu. Kuharap kau tidak terlalu gugup untuk bertemu sang doa."

Hanya dalam satu menit setelah pembicaraan mereka selesai, ruangan itu menjadi hening. Angin kencang masuk tiba-tiba dan meniup semua tirai ungu, melayang-layang hingga menghalangi pandangan Dae. Ketika angin berhenti berembus dan Dae sudah mampu mengamati sekitarnya, di hadapannya tidak lagi duduk si pria emas. Lelaki kekar itu telah tergantikan oleh seorang wanita bersurai hitam dengan mata seungu tirai ruangan.

Dia tersenyum sopan pada Dae. Tatapannya lurus ke dalam mata belang cowok itu. Dae sendiri seolah terhipnotis, sehingga ia tidak mampu untuk berkata-kata. Ketika akhirnya sadar, Dae berteriak panik sampai-sampai terjengkang ke belakang. Kursi kayu yang ia duduki mengeluarkan bunyi patahan yang keras, menambah kepanikan pada dirinya.

Cowok itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok pria emas. Namun, ia tidak berhasil menemukannya. Begitu pula orang-orang yang tadi berpesta di sini. Seolah-olah, sejak awal mereka memang tidak pernah berada di sana.

Ketakutan, Dae memutuskan untuk bersembunyi. Dia merangkak ke bawah meja, menangkupkan wajah ke dalam lengannya yang terlipat memeluk lutut, Dae berdoa sungguh-sungguh. Dia tidak ingin hidupnya berakhir di sini apalagi sampai kehilangan ingatan seperti yang dikatakan sesepuh sebelumnya. Perasaan ingin segera pulang ke rumah melingkupinya. Tanpa sadar, air mata menelusuri pipi Dae.

"Tidak perlu takut." Suara lembut sang wanita ungu terdengar begitu dekat, tetapi Dae belum juga mengangkat wajah. "Aku hanya memindahkanmu dari ruangan ramai itu. Tenanglah."

Dae mengintip dari balik lengan. Wanita itu berjongkok tepat di hadapan Dae. Senyum belum memudar dari bibirnya. Wanita itu mengulurkan tangan, mengangkat bahu seolah meyakinkan Dae bahwa ia tidak akan melakukan apa-apa.

Sayangnya, Dae kembali menyembunyikan wajah.

"Baiklah. Aku tidak akan memaksamu," kata wanita itu. "Mari mulai dengan perkenalan. Kalau tidak salah, manusia permukaan selalu melakukan itu saat mereka pertama kali bertemu." Dia terbatuk sekali, mengetes suara. "Namaku Lona, tetapi karena posisiku, manusia langit yang lain selalu memanggilku Doalona.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now