"Terutama untukmu. Karena aku menginginkanmu. Aku tetap akan memilikimu tak peduli perasaanmu atau oranglain." Ucapnya sinis. "Jadi jauhi Daniel." Tambahnya.

Aku mengernyit bingung karena tiba-tiba nama Daniel disebut. Dan aku tahu sekarang dia tengah menahan emosinya, entah kenapa.

"Bisa kasih tahu aku alasan kenapa kamu tiba-tiba marah?" tanyaku penuh selidik. Biasanya aku akan mengabaikan emosi Rey yang tiba-tiba berubah seperti ini. Namun jika ingin hubungan kami berhasil, pengabaian bukanlah jalan keluar. "Ada yang mengganggumu?" lanjutku

"Daniel," dia mendesah perlahan. "aku nggak suka ada dia di antara kita."

"Sama seperti aku yang nggak suka ada Laura di antara kita." Aku mengucapkannya dengan tenang. Berusaha sekuat tenaga menutupi emosiku yang membuncah sejak mendengar Rey bicara dengannya tadi.

"Kamu mencintainya Rey, aku sudah tahu dari dulu. Kamu juga sudah mengakuinya. Akulah yang menjadi orang ketiga di antara kalian." Aku menoleh padanya, "Jika dulu kita nggak terpaksa menikah, kamu sekarang bersamanya."

Rey dengan ketenangannya, diam memperhatikanku dengan seksama. "Jadi kamu membalasku dengan bersama Daniel. Membiarkannya menyentuhmu sesuka hati dan meninggalkanku begitu saja."

Tuduhannya begitu  menyakitkannya. Aku memejamkan mata, kesadaran baru menghantamku. Daniel tidak pernah memperlakukanku dengan intim, kami hanya berbagi ciuman beberapa kali. Tapi Rey, dia berbeda. Saat aku masih bersamanya dia dengan mudah mencium Laura.

Kebisuanku membuat Rey ikut mematung, matanya mengikuti kemanapun mataku bergerak. Kesedihan menerjangku begitu kuat, alasan kami menikah dulu karena aku hamil. Rey yang baru beberapa kali bertemu denganku dengan mudah membawaku ke tempat tidur. Setelah kami menikah dia masih berhubungan dengan wanita lain, dia bermain-main dengan mereka dan mengabaikanku.  Puncaknya aku melihat dia berciuman dengan Laura.

Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bertanya, "Berapa banyak wanita yang kamu tiduri semenjak kita berpisah?"

"Kejora..." panggilnya pelan.

"Aku hanya butuh jawaban, berapa banyak?"

Rey tidak menjawab.

Aku mencoba menahan emosi dengan memejamkan mata, menutupi kecemburuan dan kesedihan yang menerpa. Setelah kepergianku, Rey melupakan pernikahan kami dan menjalani hidup seperti biasanya. Dia menikmati menjalin hubungan dengan wanita lain, tidur dengan wanita lain. 

"Aku nggak pernah tidur dengan lelaki lain selain denganmu." Aku tertawa pahit, "Tidur denganmu dulu aku anggap sebagai kesalahan, aku merasa lebih baik karena ada anak-anak. Akan lebih mudah melupakanmu  jika aku berhubungan dengan lelaki lain, mencari penggantimu dengan begitu setidaknya ---''

"Kamu bertunangan dengan Daniel." Potongnya, "Kamu memojokkanku padahal kamu sendiri sudah membiarkan lelaki lain memakaikan cincin di jarimu." Tambahnya sengit.

" Kami tidak benar-benar bertunangan. Selama ini aku menggantung hatinya tanpa kepastian. Membiarkannya berpikir bahwa suatu saat aku akan bisa menerimanya.  Aku nggak pernah tidur dengannya, belum." Aku mengaku. Dan kemudian bertanya pada diriku sendiri, maukah aku melakukannya? jawabannya tidak. Aku bahkan tidak punya keinginan untuk itu.

"Aku tidak perlu menjelaskan apapun atas apa yang aku lakukan, setelah kamu meninggalkanku. Kamu meninggalkanku tanpa pesan dan alasan masuk akal, lalu berharap aku akan hidup seolah semuanya baik-baik saja."

"Banyak kesalahan yang telah aku lakukan, kemarin aku melakukannya lagi dengan percaya bahwa kamu mencintaiku."

"Aku memang mencintaimu."

"Tapi tidak cukup menghentikanmu untuk menyentuh wanita lain."

Matanya membelalak tak percaya. "Caramu percaya padaku menakjubkan. Mudah sekali kamu mengambil kesimpulan." Ucapnya sinis dan sedih. Matanya menampilkan rasa sakit yang begitu dalam seolah apa yang aku katakan telah sangat melukainya.

Rey langsung berbalik kembali ke villa tanpa mengatakan apapun. Yang aku lakukan kemudian hanyalah berdiri mematung sembari memandangi punggungnya yang semakin menjauh.

Airmataku menetes, ternyata aku masih belum bisa menyerahkan seluruh hatiku padanya. Aku masih belum bisa memberikan seluruh kepercayaanku padanya.

"Mba lama banget sih, aku udah sampai tikungan Mba belum sampe juga. Aku balik lagi, takut Mba sama Mas Rey nyasar. Eh malah masih diam di sini, bukannya jalan. Buruan ih Mba, rujaknya keburu abis." Keluhan Mada, membuatku cepat-cepat menghapus airmata. Begitu Mada berdiri di depanku, dia terpaku. "Mba kenapa, kok nangis?"

"Nggak pa-pa, Mba abis berantem sama Rey. Kamu beli rujak sendiri yah, Mba mau pergi dulu sebentar."

Mada mengangkat alisnya, "Kemana?"

"Nggak jauh, Mba pengin sendiri."

"Mau aku temani?"

"Nggak usah."

"Mba,"

"Mba pengin sendiri."

*****

Seandainya dulu aku tidak tahu kalau Rey mencintai Laura, mungkin ciuman yang aku lihat hanya akan aku anggap sebagai ciuman antar teman. Mungkin aku akan dengan mudah melupakan dan memaafkannya. Tapi aku tahu seperti apa perasaannya dan ciuman itu melambangkan pengkhianatan yang Rey lakukan padaku.

Pernah suatu malam Rey pulang dalam kondisi mabuk. Aku yang telah beberapa minggu hidup dengannya punya kebiasaan menunggunya pulang baru bisa tidur. Rey berjalan sempoyogan dan merancau tidak jelas. Aku membantunya berbaring di tempat tidur dan melepas sepatu serta bajunya. Saat dia sudah mulai tenang dan suaranya mulai terdengar jelas, baru aku bisa memahami apa yang dia ucapkan.

Aku mencintaimu, Laura.

Saat itu aku hanya tersenyum getir, aku sudah mengetahui apa yang dia rasakan saat melihat kondisi kamar remajanya yang penuh dengan foto mereka berdua. Rey memang mencintainya, aku hanya orang yang baru muncul dalam kehidupannya dan tanpa bisa ditolak menjadi istrinya. Saat itu aku masih mengabaikannya. Namun, seiring berjalannya waktu perasaanku berubah. Aku mencintainya dan punya perasaan yang makin dalam untuknya. Jadi, pemandangan yang aku lihat saat itu bukan hanya melukaiku tapi juga menghancurkanku.

Kepercayaan yang Rey bangun, butuh sedetik untuk dihancurkan dan selamanya untuk diperbaiki. Selamanya aku akan terus curiga dan tak punya keyakinan padanya. Kepercayaanku padanya akan dengan mudah goyah.

Sekarang, saat aku menyendiri dan memikirkan semuanya aku berharap sedikit saja bisa mempercayainya. Tapi ternyata sulit. Ada bagian kecil sisi hatiku yang masih enggan memaafkannya.

*****

"Rey mana, Mad?" Mada yang tengah menikmati rujaknya mengangkat kepalanya dan menatapku khawatir.

"Di kamar, Mba." Jawabnya ragu-ragu.

Aku mengangguk berterima kasih dan melangkah perlahan ke tempat Rey berada. Tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk ke dalam, Rey sedang berbaring menyamping di tempat tidur. Menyadari kehadiranku, Rey bergeming, bahunya terlihat tegang namun dia enggan membalikkan tubuhnya dan melihatku.

"Satu hari sebelum aku pergi, aku ke kantormu." Ucapku pelan. Aku menjaga suaraku agar terdengar setenang mungkin namun tetap saja tak bisa. "Pak Nim nganterin aku ke sana. Sepanjang jalan aku tersenyum senang, karena akan bertemu denganmu. Tapi, sampai sana senyumku hilang. Aku melihatmu dan Laura pergi ke atap gedung."

Rey berbalik, dengan cepat dia bangkit dan mendekatiku. Dari matanya aku tahu, dia mengerti apa yang akan aku katakan selanjutnya.

"Aku mengikuti kalian kesana dan melihat semuanya."

Thanks for read, vote and comment.

Mars, 23 Sept 2106

XOXO

tuheRofiah

ReconciliationWhere stories live. Discover now