Chapter 8 : I just want to say sorry.

2.5K 211 1
                                    

Menurut penelitian, para wanita akan lebih mudah merasa bersalah dibandingkan dengan laki-laki. Dira pernah membacanya entah dimana, ia juga lupa. Mungkin karena wanita memakai 99% perasaan dan 1% logika kebalikan dari laki-laki yang perasaannya mungkin kurang dari 1% atau bisa jadi minus. Bukannya menyudutkan kaum laki-laki dan menjadikannya minoritas, hanya saja faktanya memang begitu.

Sudah hampir 10 menit Dira berdiri di depan pintu lift yang mungkin sudah 3 kali terbuka sejak pertama kali ia berdiri disana. Semua hanya karena rasa bersalah yang membuatnya tidak tenang dan ragu-ragu untuk menemui Reno yang sudah menunggunya di bawah. Dira sudah menerima ajakan Reno namun sekarang ia sendiri yang merasa ragu, sanggupkah dia menghadapi Reno dan menganggap semua baik-baik saja? Itulah pertanyaan yang sejak tadi terus menggema di kepalanya.

"Dir, ayok! turun gak?" Ladya menyadarkannya dari lamunan panjang, "Nungguin siapa sih? Udah keluar paling awal tapi masih ngendon di depan lift ajah."

"Hah? Iya ini juga mau turun. Dira menjawabnya canggung."

Dira tidak tahu apa maksud Reno menemuinya. Apakah Reno ingin marah kepadanya? ataukah ia ingin mengatakan kalau ia masih menjaga janjinya? ataukah ia hanya ingin menyapa wanita yang sudah menghancurkan hatinya? Dira tidak ada ide sama sekali. Dan kini Dira terjebak dengan semua pertanyaan di kepalanya, termasuk apa yang harus ia bicarakan dengan Reno nanti. Dira tidak mempersiapkan hari ini terjadi secepat ini.

"La, duluan ya! Mau ke Nusro dulu gue."

"Loh gak balik?"

"Gak La, mau ada janji sama temen." Lalu Ladya pergi ke arah pintu keluar yang berlawanan arah dengan arah Dira melangkah.

Semoga kamu hanya ingin menyapaku ya Ren, sapaan seorang teman lama. Tidak ada yang lain.

_*_*_*

Cantik. Meskipun wajah lelahnya cukup kentara, Reno melihat Dira masih tetap cantik. Seperti dulu. Seperti ketika dirinya masih sering menunggu Dira pulang kerja, disini, di tempat ini, sama seperti sekarang. Yang berbeda jika dulu Dira akan dengan senang hati memberikan senyuman yang membuatnya terlihat lebih cantik lagi untuk dirinya yang sudah mau dengan sabar menunggunya disini hanya untuk sekedar menjadi teman curhatnya, sekarang senyum itu tak diberikan dengan mudah. Dira hanya menatapnya datar dan berjalan ke arahnya dengan wajah lelahnya. Tanpa senyuman.

"Hai Ren, sudah lama?"

"Gak kok baru aja datang. Aku sudah memesankan kamu hot chocolate, kamu mau pesan makanan?" Iya, Reno masih mengingat minuman kesukaan Dira. Dira pernah mengatakan kalau cokelat itu punya rasa manis dan pahit yang seimbang, hal yang menjadikannya sebuah perpaduan yang istimewa. Seperti hidup yang juga harus seimbang kebahagiaan dan kesedihannya. Dira ingin hidupnya seperti itu, bisa merasakan kebahagian untuk membuatnya bersyukur dan bisa merasakan kesedihan untuk membuatnya menjadi pribadi yang kuat.

"Gak, itu aja." Dira meletakkan tasnya di kursi sebelahnya,menata posisi duduknya agar lebih nyaman. Meskipun kenyataannya tetap saja hatinya tak tenang. "Ehm ... Ren?"

"Dir ..."

"Kamu duluan Dir." Reno tersenyum menertawakan kecanggungan mereka berdua.

"Kamu baik-baik saja?"

Reno kembali tersenyum mendengar pertanyaan Dira, "baik, sehat, dan bugar. Kamu bisa lihat sendiri, i'm doing okay. Kamu gimana? Kamu kelihatan lelah. Masih sering jarang pulang?"

"Ehm... begitulah, makin besar tanggung jawab makin banyak yang harus dilakukan. Kamu mau bicara apa?" Dira kembali ke tujuan utama pertemuan mereka. Dira ingin segera mengakhirinya.

Let's (not) Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang