Chapter 10 : Memaafkan masa lalu

1.6K 176 0
                                    

Dira mematung tak percaya melihat seseorang yang menyapanya. Sudah lama. Dira bahkan sudah melupakannya sosoknya meskipun luka yang ia hadirkan tak kunjung sembuh jua. Penampilannya sudah berubah, ia terlihat lelah dan putus asa. Bulu-bulu halus yang tumbuh di wajahnya pun terlihat tidak terurus, sepertinya sudah terlalu lama tidak dicukur. Dira tak percaya kalau ternyata orang ini masih berani datang di hadapannya. Tidak tahukah ia luka yang telah ia hadirkan sudah benar-benar menghancurkan kehidupan Dira.

"Aku sedang banyak pekerjaan, kalau maksud kamu menemuiku tidak penting, aku akan pamit pergi." Dira sudah membalikkan tubuhnya, namun suara Restu menghentikannya.

"Tunggu Dir! Aku berjanji tidak akan menghabiskan waktumu. Bisakah kita bicara sebentar? tapi jangan disini." Dira terlihat enggan untuk mengikutinya, namun melihat tatapan memohon dan putus asa Restu yang tidak biasa menggerakkan hatinya,"Aku mohon Dira, ini soal Dania."

Dira memutuskan untuk berbicara di restoran hotel, waktu hampir menunjukkan jam makan siang. Dira memilih tempat yang ramai karena ia tidak suka berada dalam suasana sepi jika harus berdua saja bersama Restu. Keramaian akan mengalihkan perhatian dan pikirannya.

Setelah memesan minuman, Dira menembak Restu agar cepat berbicara,"Ada apa? Aku tidak punya waktu banyak."

"Dania sekarat Dir, waktunya sudah tidak banyak dan dia sangat ingin menemuimu untuk meminta maaf. Dania ingin kamu memaafkannya sebelum ia pergi. Aku memohon pertolonganmu Dir agar menemuinya."

Dira terdiam, ia menatap Restu tak percaya. Dania? Dia sakit apa? Apakah ini alasan dibalik penampilan Restu yang acak-acakan? Karena mengurus istrinya yang sedang sekarat?

"Dira ... bisakah Dir?"

Suara Restu menyadarkannya kembali,"Dania sakit apa?" Ujar Dira lirih. Ia mencoba mencerna semua penjelasan Restu.

"Kanker rahim stadium akhir. Rahimnya sudah diangkat, namun penyakitnya sudah menyebar. Dira masih membutuhkan waktu untuk mencerna semua informasi yang keluar dari mulut Restu. "Dania sangat ingin menemuimu untuk terakhir kalinya."

Dira bukanlah sebuah boneka, ia juga tidak berhati baja. Ia masih punya perasaan iba dan rasa simpati, tidak mungkin hatinya tidak tergerak mendengar kisah tragis tentang orang yang pernah ia sebut sahabat. Dira tidak mampu menolak permintaan Restu, bukan karena ia ingin memaafkan Restu ataupun Dunia. Ia hanya tidak ingin Dania terus merasa bersalah di akhir hidupnya, karena Dira merasakan hal itu. Merasa bersalah pada seseorang dan hal itu menghantuinya bertahun-tahun tanpa tahu apa yang harus dilakukannya.

Dira menyetujui ajakan Restu untuk menemui Dania di rumah sakit. Awalnya Dira meminta Ladya menemaninya, Dira tak ada ide lagi harus meminta bantuan siapa kecuali teman sekubikelnya. Tapi apa daya, Ladya haru mempersiapkan acara malam ini yang ada di bawah tanggung jawabnya. Dira hanya takut kehilangan kendali dan tidak siap untuk menghadapi apa yang akan dia lalui. Ini berhubungan dengan masa lalunya, dan semua yang berhubungan dengan masa lalunya tak pernah terasa mudah baik itu dengan Restu atapun dengan Reno.

Ah Reno, apa aku harus meminta bantuannya. Seperti dulu ketika aku sangat membutuhkannya?

Dira mengurungkan niatnya dan memilih menuju ke rumah sakit seorang diri. Ia harus sanggup melewatinya. Tidak mudah memang berdamai dengan masa lalu, namun tidak ada salahnya untuk mencoba bukan. Jika kemarin ia akhirnya bisa meminta maaf kepada Reno dan menghilangkan rasa bersalahnya, mungkin pertemuan dengan Restu juga Dania akan menggugah hatinya untuk memaafkan kedua orang ini. Meringankan beban masa lalunya.

*_*_*_

Dira menatapi sosok wanita yang tengah berbaring tak berdaya di hadapannya. Bukan sosok ini yang ia kenal dahulu, sosok yang selalu membuatnya lebih ceria karena sifat periangnya, sosok yang selalu mengatakan apa yang ada dipikirannya meskipun akan terasa menyakitkan, ini bukan Dania. Meskipun kesalahan fatal telah dilakukan Dania terhadap dirinya, penilaian Dira terhadap Dania tidak berubah, ia selalu jadi sosok menyenangkan yang membuat orang di sekelilingnya hidup. Mungkin itu yang membuat Restu lebih memilih Dania daripada dirinya.

Mata yang terpejam itu membuka perlahan, terlihat keterkejutan yang begitu kentara ketika Dania menyadari ada sosok selain Restu dan keluarganya disana,"Di ... Ra?" Dengan lemah Dania mengucapkan nama Dira. Dania terlihat sangat kurus dan pucat. Ia terlihat begitu lemah, terlebih dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuhnya.

"Iya Dan, ini aku Dira. Apa kabar?" Hati Dira bergetar hebat, sangat sulit untuk menahan tangisannya ketika mendapati orang yang pernah menjadi sahabatnya dulu kini sekarat menanti ajal. Dira bahkan sudah tak melihat lagi kesalahan yang pernah dilakukan Dania. Saat ini ia hanya ingin menguatkan Dania dan memeluknya seerat mungkin.

"Sangat tidak baik Dir. Kamu?" Dania mecoba bangun dari tidurnya dengan Restu yang membantu membetulkan posisinya.

"Kamu lihat sendiri Dan. Begini-begini saja."Suara Dira bergetar menahan tangisnya, meskipun ia tetap memaksan senyum ada disana.

"Mas, bisa kamu tinggalkan aku dengan Dira?" Dania meminta masih dengan suara lemahnya. Restu pun menurut dan berjalan menuju pintu keluar.

Setelah Restu sudah benar-benar pergi, Dania meminta Dira agar sedikit mendekat ke arahnya. Ia takut Dira tak mampu mendengar suaranya. Dirapun memilih untuk duduk di samping ranjang Dania, tak lagi berdiri kaku seperti tadi.

"Kamu lihat aku sekarang Dir? mungkin ini karmaku karena telah menyakitimu. Meskipun aku tidak pantas menerima maafmu, tapi aku selalu ingin mengatakan ini. Aku minta maaf." Dania menatap Dira lekat, lalu berusaha meraih tangan Dira."Aku kangen kita yang dulu Dir, maafin aku."

"Dan ..."Dira mengangguk lemah, kali ini tangisnya tak sanggup ia tahan lagi. Air mata terus mengalir dari kedua celah matanya,"Kenapa gak pernah cerita sih Dan? Lupakanlah semuanya, aku sudah memaafkanmu. Kamu memang pernah salah,tapi bukan hukuman seperti ini yang aku inginkan kamu untuk terima. Harusnya ..." Dira tak mampu meneruskan perkataannya.

"Aku begitu beruntung karena sahabat yang pernah aku sakiti mau dengan senang hati menemuiku bahkan berkata sudah memaafkanku. Aku begitu jahat Dir, aku tau aku tidak berhak atas kata maaf itu. Aku hanya ..." Dania terbatuk beberapa kali, nafasnya terengah-engah berusaha menyelesaikan kalimatnya," ingin menemui dan meminta maaf sebelum aku pergi."

"Cukup Dan," Dira menghambur memeluk Dania. Melihat keadaan sahabatnya seperti ini, Dira tidak sangggup. Bukan ini yang Dira harapkan. Harusnya Dania hidup lebih lama agar ia bisa melihat hasil dari perbuatannya terhadap Dira. Ia harus melihat Dira bahagia dan baik-baik saja setelah Dania menghunuskan pedang di balik punggungnya. Ia ingin memberitahu Dania bahwa hidupnya baik-baik saja dan bahagia. Harusnya hukuman seperti itu yang Dania terima bukan seperti ini.

"Jangan nangis Dir, aku gak pantes kamu tangisin."

"Berhenti bicara begitu Dan. Kamu akan tetap jadi sahabat aku. Aku juga kangen kamu. Kamu harus hidup dan liat aku bahagia."

"Aku yakin kamu akan hidup bahagia Dir. Terima kasih Dira karena sudah mau menjadikan wanita jahat ini sebagai sahabatmu." Dira tak mampu lagi berkata-kata. Ia hanya bisa memeluk Dania dengan erat di tengah tangisannya.

Setelah pertemuan yang menguras emosi bersama Restu dan Dania, Dira kini masih termenung seorang diri. Ia terduduk di kantin rumah sakit ditemani sebotol air mineral tanpa tahu apa yang sedang dan akan ia lakukan. Dira butuh seseorang. Dira membutuhkan teman meskipun hanya untuk sekedar melihatnya menangis dan menunggu hingga tangisnya reda. Hanya ada satu orang yang mampu melakukannya.

_*_*_*

Let's (not) Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang