Part 8 : Belum tahu mastah dia

3 0 0
                                    

 Braaakkkkkkk... dasar miskin, tapi lumayanlah buat jalan sama sama cewek. Waduhhh... ah gak bakal denger juga, dia kan agak budek. Hihihihihihi." Yaeeelah, coba-coba mau ngadalin kadal mastah dia, belum tau siapa jaya ya?

"Hmmmmmm... ." Dia pasti dengar, saatnya aku beraksi, pasti siasatku kali ini berjalan mulus dan menguntungkan.

 Braakkk...

 Benar saja firasatku, dengan muka tertekan penuh keringatan, aku lihat mulutnya ingin berucap dan matanya terkesan berfikir, memikirkan kata-kata yang pas agar aku tidak beranjak dari pintu ini. Dia pasti akan merayuku dengan beribu alasan. Kamu pikir aku tidak bisa jadi orang brengsek?

 "Ehhh.... Ehhh.. mau kemana lu?" Dia menahanku, hahaha, kena kau hidung belang, siap-siap saja kau bergulat dengan macan nanti malam, hahaha.

"Mau ke rumah abang, mau nanya soal tanggal bayar kos sama siapa itu tadi ani, barangkali aja bisa...?" Dia bergetar, gerakan mulutnya tersendat-sendat, di dalam hati aku hanya bisa terkekeh puas dan menunggu momen tepat untuk melancarkan jurus dewa pencabut uang.

 "Jangan lah, kita damai aja ya. Uang kos lu dan uang tunggakannya gua potong lah, jadi lu cuma bayar 1,8 juta aja. Kita damai kan?" Yelaahhhhh, cuma 200 ribu, omong kosong ini mah.

 "Oh." Untuk apa aku gubris, tidak ada untungnya juga, aku langkahi tubuhnya, aku berjalan sedikit jauh, walaupun jauh tapi jalanku sangat pelan, dia pasti akan memanggilku.

 "Ya... ya... tunggu, yaudah lu gua kasih diskon lebih gede lah. Lu bayar 800.000 plus makan pagi gua siapin selama dua bulan, mau ga? Asalkan lu jangan banyak omong ke bini gue." Apa kataku tadi, selicin dan secerdik apapun ikan, jika tegelincir ke umpan nelayan, dia akan tertangkap juga.

 "Itu mah sama aja bang, toh harga kos sebulan kan cuma 400 ribu." Aku berencana menekannya dan memancing dia agar menawarkan nominal serendah mungkin.

 "Yaudah yaudah bayar kos 500 ribu plus tunggakan sama utang lunas, tapi sarapan gak jadi." Nada ketus dan muncrat. Akhirnya negisiasi alot nan merugikan dimenangkan oleh pihak penggugat yang licik dan brengsek, hahahah.

 Tujuan sudah terlaksana, kesepakatan sudah terjalin, sekarang tinggal gosok gigi, cuci kaki, lanjut dah tidur lagi, soal mandi mah kapan-kapan saja lah. Mandi pagi di hari minggu bagai melihat telinga dengan kelopak mata telanjang sendiri, susah dan mustahil.

 Ditemani teh hangat dan maraton serial Got, aku mencoba memanjakan diriku dengan bersantai ria dan tidak melakukan apa-apa, sekalipun ketua rt diluar daritadi terus saja menyerukkan untuk semua laki-laki agar membantu membersihkan pekarangan. Blaaaaah... Aku tidak peduli, biarkan saja dia berteriak, sampai kerongkongannya mengeringpun aku tidak akan keluar, walaupun itu sejengkal dari pantatku bersandar.

 Enaknya tidak melakukan apa-apa, pikiranku bisa rileks dan santai, tidak terbebani oleh segala hal yang berhubungan dengan sosial dan kemunafikan akan kesempurnaan, tak ada yang bisa menilaiku sekonyong-konyong, kecuali diriku sendiri yang sadar aku hanya secercah spesies pengecut sekaligus brengsek yang masih beruntung bisa menyalurkan karbon dioksida kepada lingkungan.

 Melodinya, opening themenya terasa nikmat bagai mengayun-ngayun dan melambai-lambai di kabut otak dan telingaku, suara semacam ini yang bisa membuatku terenyuh dan terdiam dalam kumpulan irama dan not yang begitu sempurna dan memanjakan telinga

 Kuhabiskan hari ini total dengan tertidur dan membuang waktu, tak ada sedetikpun hal berharga yang kulakukan, semuanya hanya malas... malas... malas... malas dan kemalasan. Tidak disini, tidak di kantor aku selalu dipandang rendah, kelakuanku memang seperti anak kecil, setiap saat selalu saja aku ingin menggerakan segala peralatan bagai mobil dan kereta.

 Ngiiiuuuungggg... Ngiiiuuunggggg...

 Aku sendiri tidak tahu, ada apa dengan mentalku ini. Setiap detik dalam kemalasan, selalu saja timbul pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama, kenapa aku tidak bisa berubah dan bertransformasi menjadi dewasa? Kenapa? Sampai sekarang jawabannya masih belum bisa kutemukan, entah sampai kapan sifatku ini akan berakhir.

 Penindasan, pemukulan, dikucilkan, bully, hinaan, aneh, dimanfaatkan, tanpa impian, masa depan, cita-cita, apalagi tujuan. Itulah masa kecilku, tak ada yang berwarna sama sekali, bagai buta warna, aku hanya mengalami segelintir peristiwa hitam dan putih, dan itu memberiku sebuah efek sepia yang kentara dan kental dalam hatiku. Dendam akan bullyer selalu menggejolak dalam amarahku, membuat wajahku lupa akan ekspresi senang, sedih, atau marah.Bersembunyi adalah kehebatanku, tak ada yang lebih menyenangkan dari bersembunyi dan menyendiri dalam sudut gelap dan hilang di mata mereka, agar aku bisa dengan lebih leluasa me-evaluasi dan menilai diriku sendiri, tanpa ada campur tangan komentator yang berakting bagai tuhan, harus benar... Benar... Benar... Dan benar, tanpa mereka tahu, benar bagi mereka adalah suatu yang sempurna dan tanpa cacat sedikitpun. Benar itu relatif, tergantung bagaimana kita berbuat dan menilainya, ada kalanya suatu kejujuran pun berakhir dengan penilaian bahwa itu salah dan tidak dapat diterima oleh sebagian orang.

 Pantatku sudah membeku karena dingin, semenjak sore aku hanya diam dan melamun, tak ada hal yang aku lakukan selain itu. Kruuukkkk... Perutku berontak, stok makanan sudah habis lagi, aku harus keluar dan mengambil sarung. Barangkali saja ada pedagang melintas.

 Huaahhh... Treekkkk....

 Sudah jam 11, pedagang satu pun tidak ada yang melintas, perutku sudah kenyang dengan angin malam yang masuk dari hidung dan mulut, tak ada teh, apalagi serial GOT, sungguh sangat membosankan di luar sini, apalagi semenjak tadi tidak ada satu orangpun yang keluar. Dingin mempengaruhi alam sadarku, pikiranku melayang entah kemana, rasanya seperti terlepas sesaat, dan jatuh terhempas kembali ke dalam tubuhku, begitu terus berulang sampai konsentrasiku kembali normal.

Pancarona Senyap- Endorphin PembunuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang