~luka dalam diam~

27.1K 1.2K 53
                                    

Ivan memarkir Mercedes Benz E 63 AMG di pelataran asri rumah mewah yang ditinggalinya bersama Amira dan anak-anaknya. Ia diam sejenak di dalam mobil, berusaha mengatur detakan jantungnya yang entah kenapa tiba-tiba menjadi lebih cepat dari biasanya. Matanya menatap ke arah lampu taman yang berpendaran, memberikan kesan magis pada kebun hasil rawatan tangan Amira sendiri. Ia tahu, dari aura yang terpancar, Amira dan anak-anak sudah tiba di rumah. Terlebih lagi pesan singkat yang dikirmkan Amira padanya tadi, bahwa Amira beserta Edgar dan Naomi telah sampai dengan selamat. Hanya saja masih lelah setelah menempuh penerbangan panjang dan terpengaruh jet lag akibat perbedaan waktu antara dua benua.

Ivan menghela nafas, buku-buku tangannya yang mencengkeram roda kemudi tampak memutih. Sejurus kemudian ia menutup wajahnya telapak tangannya yang besar, memijitkan jari-jari panjang pada dahinya yang terasa tegang. Terbayang di matanya perbincangannya dengan Doni tadi siang yang berakhir dengan kepergian sahabatnya tanpa mau mendengarkannya lagi.

"Sudah elo pikir baik-baik apa yang elo bilang barusan?" ketus Doni.

Ivan mengangguk. Sejujurnya ia masih ragu, namun bayangan Verina begitu kuat menarik-narik pikirannya.

"Ya sudah terserah elo, gue ga akan ngomong apa-apa lagi Van. Gue cukup tahu siapa elo, semakin gue kasih banyak masukan ke elo, elo akan semakin maju untuk melaksanakan keputusan gila elo itu. Sory, I move on! Thanks buat traktirannya,"

Doni pun berdiri dari duduknya dan beranjak meninggalkan Ivan yang termangu melihat reaksi Doni. Seketika kesadaran menyergap Ivan.

"Don!" 

 Sahabatnya itu berhenti, menunggu Ivan namun tak memalingkan wajah ke arahnya. Ivan tahu, inilah akhir persahabatannya dengan Doni. Tapi sebelum semuanya benar-benar berakhir, ia ingin menyampaikan sesuatu pada Doni.

"Tolong, jangan sampai Amira tahu, biar gue yang menyampaikannya sendiri,"

Doni tampak terdiam sesaat untuk kemudian mengangguk pelan dan berlalu tanpa menoleh sedikit pun pada Ivan.

Kilasan cahaya ruang depan dari pintu yang terbuka menyadarkan lamunan sesaat Ivan. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangan yang  sudah menunjukkan pukul 00.13 tengah malam.

'Amira' bisik hatinya.

Sosok yang dibisikkan namanya dalam hati oleh Ivan, kini muncul di ambang pintu. Dilatari temaram lampu, membentuk siluet bagai gambaran sosok seorang dewi yang memancarkan sinar.

Ivan meneguk ludah. Ia tak bisa melihat ekspresi wajah Amira yang membelakangi cahaya, namun Amira tampak begitu anggun, bersahaja dan... classy.

Perlahan Ivan pun keluar dari mobilnya dan melangkah menapaki anak tangga, menuju pintu rumah yang terbuka lebar.

"Selamat datang, Pa,"

Seperti sejak awal pernikahan mereka, Amira menyambutnya dengan penampilan yang segar, seulas senyum manis, ciuman di tangan Ivan dan kecupan di kedua belah pipi Ivan. Seketika seluruh tubuh Ivan menegang waspada. Tanpa bisa dicegah bayang Verina memintas dan bercokol dalam benaknya.

Amira memejamkan mata sekejap, berusaha setengah mati menganulir nyeri yang tiba-tiba menyerang sudut hatinya terdalam. Delapan tahun lebih bukan waktu yang sebentar bagi Amira untuk mengenali sekecil apapun perubahan dalam diri dan sikap Ivan. Termasuk perubahan bahasa tubuh Ivan yang janggal ketika Amira mengecup kedua belah pipinya.

 "Pasti karena perempuan itu,' desah resah hati Amira.

 "Papa sudah makan?" terdengar suara lembut Amira mengalun di tengah kesunyian suasana.

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang