9. Pendamping Hidup

Mulai dari awal
                                    

"Cuma kenalan biasa," ujarku singkat.

Mama berdeham. "Kamu bukan abege lagi, Kiky. Kalau ada pria yang mendekati seharusnya kamu peka, kalau dia pasti ingin lebih dari sekedar berteman sama kamu," ujar Mama menasehatiku.

Aku berdecak pelan. "Serius, Ma. Kiky sama dia cuma berteman," jawabku mencoba meluruskan.

"Sudah waktunya kamu untuk membuka hati. Jangan terus-terusan tenggelam sama pekerjaan. Nggak perlu memaksakan diri untuk menerima, tapi setidaknya beri kesempatan hati kamu untuk merasakan cinta." Mama terus berbicara tanpa jeda seperti orang yang sedang tidak sakit saat memberiku wejangan seperti ini.

"Kantor terus yang kamu pikirin, kamu dapat opo tho, Nduk?"

"Ini nggak ada sangkut pautnya sama kantor dan kerjaan."

"Kamu tidak bisa menutupinya dari Mama. Mama ini mengenal kamu lebih baik daripada kamu mengenal dirimu sendiri. Kamu kerja dari pagi sampai malam semata cuma untuk melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu kamu 'kan? Segera carilah pasangan hidup untuk mendampingimu, supaya kamu benar-benar lepas dari dia. Mama dan Andra tidak bisa selamanya berada di samping Kiky. Mama tidak tahu umur Mama sampai kapan, sedangkan Andra, dia juga pasti akan segera menikah. Mama pengin lihat kamu menikah dan bahagia, biar Mama bisa menyusul Papa kamu dengan tenang." Mata mama mulai berkaca-kaca. Tetapi masih berusaha untuk menahan diri, supaya air matanya tidak sampai tumpah di hadapanku.

"Mama nggak usah mikir macem-macem, deh, sekarang pikirin kesehatan Mama aja dulu, ya."

"Pikirkan omongan Mama baik-baik, Kiara. Kamu sudah lebih dari matang untuk bisa memahami omongan Mama."

Kalau Mama sudah menyebut namaku begitu lengkap, berarti beliau benar-benar serius dengan ucapannya. Aku pasti sudah membuat Mama sangat sedih dengan sikap yang aku tunjukkan tiga tahun ini, semenjak Papa meninggal.

Setelah om Salman berada di rumah sakit, aku bisa pulang ke rumah untuk istirahat sebentar. Sesampainya di rumah, aku tidak lantas masuk kamar. Aku mengempaskan tubuhku di sofa dekat taman samping rumah. Dari posisiku ini, terpampang rerumputan hijau seperti karpet. Ditumbuhi deretan bunga anggrek, mawar, melati, bougenvile dan banyak lagi tanaman bunga milik Mama yang menjadi spot favorit-ku di rumah ini. Saat melihat ponsel, aku menatap deretan BBM yang dikirim oleh Dastan dari awal aku mulai berkomunikasi dengannya. Belum sempat aku end chat. Entahlah, belum sempat atau aku-nya saja yang enggan.

"Dilihatin mulu chat-nya. Kirimin BBM dong." Andra sudah berdiri di belakangku membawa dua botol minuman dingin, lalu menyodorkan salah satunya untukku.

"Apaan, sih, dek. Mau dihapus, kok. Ponsel mbak kepenuhan chat jadi rada lemot."

"Nggak mungkin lemot. Itu ponsel, space memorynya gede, mbak. Palingan juga isinya cuma lagu-lagu, foto-foto. Aplikasi medsos mbak aja cuma BBM doang, jadi nggak mungkin lemot cuma gara-gara chat BBM." Aku membuang muka, pura-pura sebal dan meletakkan ponselku di atas meja kopi. Andra lalu duduk di sampingku.

"Dastan gimana, Mbak?" tanya Andra iseng.

Yasallam! Tadi Mama yang tanya, terus sekarang Andra ikutan tanya. Ibu sama anak kompak benar. Kenapa juga ikatan batinku dan Andra bisa sangat dekat begini. Aku memikirkan Dastan dan dia menanyakan tentang lelaki itu.

"Gimana apanya, Dek? Pertanyaanmu itu ambigu tau."

"Nggak jadi ambigu kalau Mbak peka sama apa yang aku tanyain. Apa aku harus jelasin dengan detail maksud dari pertanyaanku, heh?"

"Nggak usah. Mbak ngerti kok. Ya nggak gimanagimana, Dek. Begitu aja."

"Nah, sekarang Mbak yang gantian bikin kalimat ambigu. Susah, ngomong sama perempuan dewasa tapi masih labil. Mending ngomong sama si kembar, Safa dan Marwa. Mereka loading-nya lebih cepat meski usianya masih enam tahun." Langsung saja aku menggetok kepala adikku itu dengan ujung botol minuman yang ada di tanganku saat ini.

Love At First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang