6. Second Lunch

7.4K 650 10
                                    

TAN:

Gue memasuki kantor dengan perasaan bahagia pagi ini. Sepanjang perjalanan menuju ruangan baru gue di lantai 25, gue nggak berhenti bersiul. Gue bahagia banget hari ini. Efek makan malam bareng Kiara, nih kayaknya. Gue memandangi ruang kerja baru gue ini. Gue tersenyum puas sambil menelusuri setiap sudut ruangan ini, tepat seperti yang gue mau. Nggak terlalu besar, cukuplah, desain interior-nya simpel, dominan warna hitam dan putih. Gue baru menempati ruangan ini setelah serah terima jabatan dengan Arif Sakanada kemarin. Gue melangkah menuju meja kerja dari kayu jati yang cukup besar dan sudah ada beberapa map file di atasnya. Gue duduk di kursi besar dan beroda, membuka aplikasi BBM di iphone.

DASTAN ALFARENDRA:

Selamat pagi Kiara. Selamat beraktivitas ya.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit menunggu, masih belum ada balasan. Mungkin Kiara sedang ada di ruang workshop dan sedang konsentrasi penuh, sehingga nggak memerhatikan BBM gue. Gue memilih mulai berkutat dengan map-map di atas meja dan memulai pekerjaan gue hari ini. 1,5 jam kemudian, iphone gue berbunyi sekali tanda BBM masuk. Ternyata Kiara mengirim sebuah gambar. di atas kertas folio bergaris. Gambar laki-laki berjas dan berdasi longgar yang sedang tersenyum, kedua tangannya terselip di dalam kantong celana, rambutnya dibikin jabrik dan sedikit berantakan. Ditambah ada tulisan 'PAGI KOKO DASTAN. HAVE A NICE DAY', di samping gambar karikatur tadi. Anjir, lu kate gua koko toko bangunan Kia, gerutu gue dalam hati saat membaca tulisan itu. Gue tersenyum lebar menatap layar iphone dan mulai mengetik balasan kepada Kiara. Gue terlarut dalam chat BBM ini, dan berakhir dengan janjian untuk lunch bersama hari ini. Gue nggak lagi melanjutkan chat dengannya yang memang cuma dibalas dengan kata 'oke' , 'iya' dan emote saja.

"Ciye, ciye, yang lagi kesengsem. Cuma mandangin ponsel aja sampek senyum-senyum mulu, Pak GM."

Kehadiran dua sahabat gue ini cukup mengejutkan. Gue nggak sadar kapan masuknya dua cecunguk ini. Masa iya gue bisa terhipnotis hanya gara-gara BBM-an? Gue tertawa saja membalas ledekan Fandi dan Alvin.

"Gimana bro, sukses semalam acara jalannya?" Alvin selalu lebih peduli daripada meledek, berbeda dengan Fandi yang meledek dulu baru peduli.

"Ya gitu lah, Al. So far, lancar-lancar aja. Kiara masih mau balas BBM gue pagi ini."

"Kayak apa, sih, orangnya? Ada fotonya nggak? Sumpah ya, gue penasaran banget sama perempuan yang bikin lo mendadak ingat sama Agama lo sendiri," tanya Fandi yang sangat ingin tahu seperti apa rupa Kiara. Alvin terbahak mendengar terusan kalimat yang diucapkan Fandi di akhir pertanyaannya.

"Anjriiit ..., nyari ribut lo! Kagak ada, Fan. Gue bukan ABG labil yang kalau lagi jalan sama cewek, sempet-sempetnya foto selfie di mobil." Fandi mencibir mendengar jawaban gue dan langsung saja gue timpuk wajahnya itu dengan bolpoin.

"Elaah ... foto candid gitu masa nggak ada?" Fandi masih saja bertanya, sepertinya belum puas kena timpukan bolpoin.

"Bentar lagi sepatu gue yang melayang ke muka lo, Fan!" Fandi putus asa dan nggak memaksa gue lagi.

"Apa yang membuatnya istimewa di mata lo, Tan?" tanya Alvin kali ini. Fandi memilih mengelilingi ruang kerja gue.

"Istimewa banget, Al. Dia memiliki sesuatu yang nggak perempuan lain miliki. Gue sekarang lagi ngadepin perempuan dewasa, nggak kayak perempuanperempuan yang pernah gue temuin selama ini."

"Dewasa? Emang berapa usianya? Pekerjaannya apa?"

"28 tahun, kerja di salah satu bank di Jember, Jawa Timur, udah hampir tujuh tahun ini. Gue yakin dia workaholic kayak gue."

"Tetangga dong sama mas Anang Hermansyah?" celetuk Fandi, tapi nggak gue peduliin dan memilih melanjutkan obrolan dengan Alvin.

"Oh, perbankan. Lo nggak curiga, perempuan di usia segitu masa iya belum punya pasangan hidup? Minimal pacar atau tunangan gitu?"

Love At First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang