Song For You: Tiffany - I Think We're Alone Now

12.3K 985 112
                                    

Chapter 37 | Kencan dan kalian iri sama aku, muahaha!

Aku masih nggak percaya Damon mengajak aku ke Reputation. Ini seperti... apa, ya? Mimpi indah menjadi kenyataan. Bukannya mau lebay atau apa, sih. Banyak banci kayak aku di luaran sana punya mimpi yang kayak aku inginkan sekarang. Makan malam romantis di tempat sekece Reputation. Aku bisa update location di Path. Marilyn dan Lady pasti bakalan iri sama aku. I mean, mereka bisa kapan aja makan di Reputation. Mereka kan richy bitch. Sayangnya, makan di Reputation tanpa pasangan yang kita sayang itu menyedihkan. Berati aku beruntung.

Kami sedang ada di jalan, menuju ke sana. Damon mengenakan kemeja berwarna biru polos yang benar-benar cocok dengan tubuhnya. Aku juga memakai kemeja, tapi nggak terlalu resmi seperti punya Damon. Kemeja aku keluaran Tallahase, you know. Kemeja yang Tante India beliin waktu dia dan Om Alfred jalan-jalan ke Holland. Kemeja Tallahase ini menunjukkan bentuk tubuh aku yang langsing dan menggoda. Hihihi, dan malam ini aku merasakan hal itu.

Sebenarnya, aku nggak lagi bahagia-bahagia amat sih. Tadi sore aku berhenti kerja di van Mas Felix. Reaksi Mas Felix benar-benar nggak terduga. Aku pikir dia akan senang kehilangan staff yang suka telat datang. Nyatanya, dia malah melarang aku berhenti. Terpaksa aku main kartu yang paling oke yang aku punya. Aku bilang aja aku harus fokus sama sekolah. Aku sudah grade dua belas dan sebentar lagi ada ujian. Itu nggak sepenuhnya bohong, ya. Itu jujur.

Akhirnya Mas Felix mengizinkan aku keluar. Tapi dia memaksa untuk menyuruh aku datang ke sana jika sedang nggak sibuk. Aku mengiyakan, tentu saja. Meski aku nggak yakin apakah aku harus ke sana atau nggak. Maksud aku, aku mau dia move on dan menjadi cowok straight lagi. Aku nggak pernah punya niat jahat mengubah cowok yang awalnya suka perempuan berubah haluan jadi suka sama laki-laki. Aku emang manusia yang buruk, tapi nggak seburuk itu.

Aku juga sudah nggak sabar buat lulus sekolah. Supaya aku bisa berpisah dengan Luca dan Rick. Aku juga ingin mereka move on. Yah, aku sih tipe manusia yang mudah move on (seenggaknya itu yang aku rasakan). Aku mau mereka mencari orang yang lebih baik dari aku. Bukannya aku nggak baik, ya. Masalahnya aku sudah bersama Damon sekarang. Period.

"Lagi mikir apaan?" tanya Damon, mengecilkan volume di audio-nya. Suara Charlie Puth yang sedaritadi menemani digantikan oleh deru mesin mobil di sekitar kami. Oh, kami lagi kena macet di GBK. Great! "Jerry?"

Oh, aku lupa menjawabnya. "Lagi mikir soal makanan apa yang mau gue pesen di sana nanti."

Aku nggak mungkin kan bilang sedang memikirkan perasaan cowok-cowok yang aku tolak? Bisa berabe nanti urusannya. Damon kan mudah cemburu. Yah, aku juga. Nah, itu tandanya kami harus saling menjaga perasaan masing-masing. Apakah aku merasa terkurung atau nggak bebas dalam hubungan penuh kecemburuan seperti ini? Anehnya, nggak tuh. Aku merasa hal itu wajar sebagaimana mestinya. Kalian nggak perlu setuju atau apa. Aku nggak butuh.

"Emang lo tau makanan di sana ada apa aja?" tanyanya, mengalihkan matanya kembali ke jalan. Macet ini benar-benar menyebalkan deh. Aku kan mau cepat sampai di sana.

"Tau, dong. Kan gue udah lama baca-baca review restoran itu. Makanan apa aja yang enak. Euh, pelayan mana aja yang service-nya oke. Makanan penutup apa yang paling laris dipesan. Saking banyaknya yang gue tau, gue sampe bingung harus mesen yang mana aja nanti."

Damon mencubit hidung aku pelan. "Nggak usah bingung. Lo bisa mesen apa aja yang lo mau. Mau lo pesen semua juga boleh." Aku menatap Damon nista. Bukannya aku nggak tersentuh sama ucapannya. Hanya saja, kok kesannya aku itu rakus, ya? Nggak dong. Lady said: makan malam nggak boleh banyak-banyak. Nanti bikin gemuk. Aku kan nggak ada niat naikkin berat badan aku lagi. Segini sudah cukup. Supaya Damon mudah menggendong aku.

Catch Me If You CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang