Part 18 The Truth About Bram

10.5K 1.1K 20
                                    


Bram duduk di depanku dengan gelisah. Dia berkali-kali mengecek ponselnya. Sepertinya dia sedang menunggu telepon atau pesan dari seseorang.

"Kenapa kamu ngajak ketemu?" Aku membuka suara karena sudah enggak tahan dicuekin dari tadi. Sejak aku datang ke restoran, Bram hanya menyapaku dan belum mengutarakan maksud pertemuan ini.

"Aku butuh seseorang untuk diajak ngobrol," kata Bram.

Aku menaikkan alisku. Bram anak gaul yang punya banyak teman. Kenapa pas dia butuh seseorang untuk diajak ngomong, dia meneleponku. Kami juga bukan teman dekat meskipun akhir-akhir ini kami sering mengobrol lewat WA atau telepon.

"Apa ada sesuatu?" tanyaku.

Bram menggigiti kukunya. "Aku punya pacar baru."

"Siapa? Cewek mana yang berhasil meluluhkan hati kamu?"

"Bukan cewek," jawab Bram dengan wajah tanpa ekspresi.

Aku sedang mencerna ucapan Bram. "Cowok? Apa kamu......?"

"Gay. Iya," jawab Bram.

Aku menggaruk leherku. "Terus siapa cowok itu?"

Bram menceritakan pacar barunya seorang pria bernama Jan Pieter, orang Belanda yang bekerja di Bangkok, Thailand. Mereka bertemu tujuh tahun yang lalu saat Pieter bekerja di Jakarta. Pieter pindah ke Bangkok lima tahun lalu. Dan, selama ini Bram belum yakin dengan dirinya sendiri sampai akhirnya mereka bertemu beberapa waktu lalu dan jadian. Bram gelisah karena sekarang Pieter sedang berbaring di rumah sakit karena kecelakaan. Kondisinya masih belum stabil. Bram masih menunggu perkembangan terakhir Pieter.

Pengakuan Bram membuatku teringat pada Uci yang berpikir Bram masih mencintainya dan mengharapkannya.

"Kamu harus kasih tahu Uci. Biar dia move on," saranku.

"Untuk saat ini baru kamu yang tahu. Nanti aku akan kasih tahu dia," jawab Bram.

Bram mendapat kabar dari temannya kalau Uci sekarang sedang hamil. Dia berhenti bekerja dan akan pindah ke Makasar untuk mengikuti suaminya yang dipindah ke sana.

"Cepat atau lambat kamu harus kasih tahu dia," desakku.

Bram hanya mengangguk dan kembali mengecek ponselnya. Dia masih sibuk dengan ponselnya ketika aku pamit.

***

Aku sedang menulis artikel tentang manfaat yogurt untuk kecantikan ketika Bram meneleponku.

"Hai Jani. Malam ini ada acara enggak?" tanya Bram dengan nada penuh harap.

"Enggak. Kenapa?"

"Bagus. Aku mau traktir kamu makan malam buat perpisahan."

"Emang kamu mau ke mana? Jadi pindah Bangkok?" Beberapa waktu lalu Bram mengutarakan niatnya untuk pindah ke Bangkok agar dekat dengan Pieter.

"Yoi. Jam tujuh ketemu di lobi Plaza Indonesia. Oke."

"Oke. Sampai ketemu."

Sebelum aku meninggalkan kantor, Bram mengirim pesan yang menyebutkan tempat pertemuan di salah satu restoran di Plaza Indonesia. Ketika aku tiba di restoran, Bram sedang mengobrol dengan Abhi. Aku enggak tahu kalau dia juga diundang ke sini. Aku mendekati mereka dan bingung mau duduk di mana karena tempat duduk berupa dua sofa yang saling berhadapan.

"Jani duduk sini," kata Bram sambil menepuk sofa agar aku duduk di sebelahnya.
Aku menurut dan duduk di sebelahnya. Bram memanggil pelayan yang membawa menu dan mencatat pesananku. Abhi dan Bram sudah menghadapi minuman mereka dan sedang menunggu makanan mereka.

You Can't Hurry Love [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang