Part 6 The Right One

13.5K 1.4K 7
                                    


Aku duduk di lobi hotel Grand Hyatt seorang diri. Bram menyuruhku datang pukul 11, tapi dia malah belum muncul juga. Aku sudah kirim pesan menanyakan keberadaannya, tapi enggak ada balasan. Ditelepon juga enggak dijawab. Jangan-jangan Bram enggak jadi datang ke resepsi mantan pacarnya, pikirku.

"Sorry telat, tadi macet banget," kata Bram yang muncul dengan dandanan rapi. Gayanya dandy. Dia memakai setelan jas tanpa dasi dan sepatu pantofel. Bram memandangku sambil mengelus-elus jenggot tipisnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Mm..... Jadi dandanan kamu waktu kondangan kayak gini. Kenapa enggak dandan dikit gitu biar tambah cantik?"

Untung aku bukan ceweknya, paling males sama cowok yang suka ngatur. Oke. Aku memang paling sebel kalau orang mengomentari dandananku. Hari ini aku memakai blus peplum motif batik Madura warna merah yang kupadu dengan celana panjang hitam dan peep toe berhak 5 cm warna hitam. Sepatu yang hanya ku pakai saat acara resmi atau kadang saat ke gereja. Motoku yang penting nyaman dan enggak salah kostum. Untuk soal dandan memang aku sangat minimalis hanya memakai pelembab, bedak dan lipstik.

"Kayak gini aku udah cantik kok. Kalau kamu enggak suka ya udah kamu datang sendiri aja ke resepsi pacar kamu. Oke. Bye!" aku memutar badanku.

"Tunggu! Sorry, kalau kamu tersinggung. Masuk yuk." Bram meletakkan tangannya di bahuku dan memutar badanku agar mengikutinya masuk grand ballroom.

Pengantin, orang tua pengantin dan penerima tamu mengenakan pakaian adat Jawa. Gedung yang didekor dengan nuansa Jawa terlihat sempit, karena dipenuhi manusia yang berlalu lalang.

"Gile, ini ngundang orang satu kecamatan apa?" bisikku.

"Satu kecamatan kurang banyak, satu Jakarta diundang semua," bisik Bram saat kami berjalan menuju pelaminan. Kami menyalami orang tua mempelai pengantin pria lalu beralih ke pengantin pria. Tiba gilirannya untuk bersalaman dengan pengantin perempuan.

"Halo, Uci. Selamat ya." Bram mengulurkan tangan. Mantan pacarnya hanya diam dengan wajah syok.

"Yang, kok diem aja? Salaman dong." Suami Uci yang sejak tadi memperhatikan memegang lengan istrinya.

"Oh, iya. Maaf. Makasih ya udah datang." Mereka bersalaman, lalu giliranku bersalaman dengan Uci.

Turun dari pelaminan Bram langsung mengajakku pergi. Dia tidak membiarkanku untuk mencicipi makanan yang dihidangkan. Gara-gara Bram aku pulang dengan perut kosong. Aku membuka kulkas mencari apakah ada yang bisa dimakan. Di kulkas enggak ada makanan alias kosong melompong. Telur juga udah habis. Aku terpaksa turun untuk membeli telur dan makan siang. Kebetulan kompleks apartemenku jadi satu dengan ruko dan minimarket. Untuk makanan ada banyak pilihan mulai dari nasi Padang, bakso hingga Chinese food.

Aku kembali ke apartemen dengan membawa belanjaan berisi telur, buah-buahan, mie instan dan lauk pauk yang ku beli di rumah makan Chinese food. Aku membeli capcay, udang goreng tepung dan bakmi untuk di makan berdua dengan Dita siang dan malam. Aku sedang menikmati makan siangku ketika ponselku berdering.

"Halo," sapaku.

"Halo. Lagi ngapain?" tanya Bram.

"Makan."

"Aduh sorry ya, kamu belum makan. Besok aku traktir ya." Bram merasa bersalah.

"Santai aja jack."

"Makasih ya udah nemenin. Sorry tadi buru-buru pergi."

"Enggak apa-apa kok."

"Oke deh kalau gitu. Makasih ya. Bener lho besok aku traktir."

"Enggak usah."

"Eh, udah dulu ya." Bram buru-buru menutup telepon.

Aku melanjutkan makan siangku yang terhenti. Dita masuk ke apartemen dengan wajah capek. Dia meletakkan tas ke kursi lalu melepas kedua sepatunya.

"Aduh capek banget. Laper lagi."

"Makan dong." Kataku.

"Lho mbak katanya kondangan kok makan lagi. Masakannya enggak enak ya?"

"Boro-boro nyicipin, nglirik makanannya aja enggak sempat. Bram langsung ngajak cabut."

"Kenapa?"

"Tahu dah. Masih belum move on kali." Jawabku asal.

Tadi Bram mengantarku pulang. Selama perjalanan kami hanya diam. Aku enggak bertanya ada drama apa di antara mereka. Meskipun penasaran aku menahan diri untuk tidak bertanya karena itu bukan urusanku.

***

Aku sedang sibuk menulis artikel tentang penggemar Pokemon Go ketika mendapat pesan dari Bram.

Bram: Bisa ketemu enggak pulang kantor?"

Jani: Bisa.

Bram: Oke. Jam 6 di Kopi Oey Sabang?

Jani: Oke.

Bram sudah menunggu ketika aku sampai di restoran.

"Aku yang traktir," kata Bram setelah kami memesan makanan.

"Kenapa? Kamu ulang tahun?"

"Enggak. Kemarin kan aku janji mau traktir kamu."

"Enggak perlu repot-repot."

"Gara-gara aku, kamu jadi telat makan siang."

"Mm...... Sebenarnya kemarin kenapa?" aku bertanya dengan hati-hati. "Sorry, itu bukan urusanku. Kamu enggak perlu jawab."

Bram menghela nafas panjang. Dia menceritakan hubungannya dengan Uci. Mereka sudah pacaran selama lima tahun sebelum putus tiga tahun lalu. Uci yang memutuskan hubungan karena dia merasa Bram berubah. Meskipun Uci yang memutuskan hubungan, Uci masih menyimpan harapan Bram akan kembali padanya. Uci berpikir Bram jomblo selama tiga tahun karena masih mencintai Uci dan suatu saat kembali padanya.

"Kalau dia pikir kamu bakal balik sama dia kenapa dia nikah?" Aku bingung kenapa ada orang yang masih mengharapkan mantan pacarnya, menikah dengan orang lain.

"Aku enggak tahu. Dia pengin nikah sebelum umur tiga puluh tahun. Sekarang umurnya dua puluh sembilan tahun."

Suami Uci adalah teman sekantornya yang udah lama naksir Uci. Mereka berpacaran setahun setelah Bram dan Uci putus. Bram mengaku dia menyayangi Uci sebagai teman dan pengin Uci bisa bahagia bersama suaminya.

Aku dan Bram meninggalkan restoran satu jam kemudian. Bram kembali ke kantornya dan aku pulang ke rumah. Bram kerja di perusahaan iklan dan seperti kata neneknya dia seorang workaholic.

Sampai di rumah aku masih memikirkan Bram dan Uci. Selama ini aku enggak pernah memasang target menikah di usia berapa. Bagiku siapa yang akan aku nikahi lebih penting daripada kapan aku menikah dan di usia berapa aku menikah. Enggak masalah menikah di usia 50 tahun jika aku menikahi pria yang tepat. Tapi, setiap orang memiliki pola pikir yang berbeda. Dan, enggak semua orang menikah karena cinta. Ada yang menikah karena motif ekonomi, ada yang demi status ada juga yang menikah karena desakan dari orang lain.

Aku berbaring di tempat tidur sambil mengirim pesan ke Kris.

Janur: Hai, lagi di mana?

Kristina: Di rumah. Kamu?

Janur: Di rumah. Mana fotonya?

Kristina: Malu ah. Nanti aja liatnya pas resepsi.

Janur: Yah, masih lama dong.

Kristina: Xixixi.

Janur: Btw, kenapa kamu yakin kalau Bongky pria yang tepat?

Kristina: Hah? Kenapa? Kamu enggak mau nikah sama cowok yang dijodohin sama kamu kan?

Jani: Jangan khawatir aku enggak bakal nikah sama dia. Cuma penasaran aja, apa yang membuat kamu yakin."

Kristina: Hm...... Kita kan udah pacaran lama dan selama ini udah tahu kejelekan dan kebaikan masing-masing. Enggak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Akhirnya sampai pada kesimpulan kalau Bongky yang paling tepat.

You Can't Hurry Love [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang