"Lo tahu darimana kalo Alvin sama Sivia jadian, Cak?" tanya Rio.

"Agni. Dia chat gue," kekeh Cakka.

"Kalau gitu longlast ya, Vin. Gue ikut seneng dengernya," ujar Rio dibalas anggukan ringan oleh Alvin.

Tersisalah Gabriel sebagai satu-satunya orang yang belum mengucapkan apapun pada Alvin. Namun detik selanjutnya pemuda itu justru beranjak dari posisinya. Awan mendung menyelimutinya.

"Gue lupa harus ketemu kepsek dulu," katanya kemudian berlalu.

Baik Cakka, Shilla maupun Alvin sama-sama mengernyitkan dahi. Berbeda dengan Rio yang menatap sendu ke arah sahabatnya. Biar bagaimanapun, ia tahu bahwa Gabriel terluka.

"Sekolah mau ada acara kan? Kayaknya Gabriel pusing banget mikirin itu," kata Rio memecah keheningan.

"Pantesan dia kayak nggak bersemangat gitu," gumam Cakka.

Sebenarnya Rio mengatakan itu hanya untuk menutup-nutupi.

***

Ify meletakkan novel yang baru saja dibacanya kemudian mendesah kecewa karena baru sadar novel itu adalah stok bacaan terakhirnya. Sepertinya ia harus ke toko buku secepatnya sebelum mati kebosanan. Terdengar berlebihan tapi begitulah.

Gadis itu terlonjak saat baru menyadari ia tak sendirian di taman belakang ini. Entah sejak kapan pemuda yang semalam bertandang ke rumahnya sudah bersandar di salah satu pohon dengan pandangan kosong. Gabriel. Kelas Ify sedang diadakan remedial kimia sehingga dia bebas kemanapun karena nilainya sempurna. Sementara Gabriel, bukankah kelasnya ada guru?

"Sejak kapan lo di sini?" tanya Ify dengan alis yang terangkat sebelah.

Gabriel tergagap, sepertinya baru sadar kalau Ify sudah selesai dengan novelnya.

"Udah selesai bacanya?"

Ify menganggukkan kepala, "Lo bolos?"

"Enggak. Cuman lagi nyari inspirasi," sahut Gabriel asal.

"Sangat berfaedah. Terus ngapain nyarinya di sini? Gue tahu kelas lo ada gurunya."

Gabriel menghela nafas berat lalu duduk di sebelah Ify. Raut wajah Gabriel terlihat putus asa. Wajar, dia baru saja patah hati.

"Gue harus gimana, Fy?" tanya Gabriel pelan.

"Jangan bilang lo jadi canggung sama Alvin," tebak Ify.

Pemuda itu membuang nafas dengan kasar. Tanpa ia menjawab pun, Ify tahu yang dikatakanya tepat sasaran. Dia lantas mengubah posisinya menjadi berhadap-hadapan dengan Gabriel.

"Patah hati itu nyakitin ya," gumam Ify.

"Lihat orang yang kita cintai justru jatuh cinta sama sahabat sendiri lebih nyakitin, Fy," sahut Gabriel seakan menggambarkan perasaannya saat ini.

"Gue tahu," balas Ify telak.

Ify menghela nafas panjang. Rasanya ia ikut merasakan sesak yang dialami Gabriel saat ini.

"Lo sayang kan sama Sivia?" tanya Ify.

Gabriel mengangguk, "Sangat."

"Kalau gitu, lepasin dia," kata Ify membuat Gabriel menatapnya.

Bola mata mereka sempat beradu sampai Ify mengalihkan pandangannya dengan cepat. Ia tahu reaksi Gabriel akan seperti ini. Baru saja kemarin Ify mendukung penuh ketika Gabriel ingin menembak Sivia, tapi sekarang dia justru menyuruh pemuda itu melepaskan.

"Lo lihat sendiri kan betapa bahagianya dia sekarang? Biarin dia tetap kayak gitu, Yel. Lo boleh mencintai Sivia, tapi nggak nunjukin itu ke siapapun termasuk ke Sivia."

When You Hold Me [Completed]Where stories live. Discover now