Part 10 Single by Choice

12.7K 1.3K 9
                                    

"Mbak, ada titipan dari Abhi." Rizky mengambil amplop kecil dari saku bajunya dan memberikannya kepadaku. Kemudian, dia berjalan ke mejanya. Rizky baru pulang dari liputan acara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang tentu saja dihadiri CEO Dodolan.

Aku membuka amplop itu dan menemukan kartu nama Abhi. Ye, ngapain ngasih kartu nama sekarang? Dulu dimintain enggak kasih, omelku.

Aku meletakkan kartu nama Abhi di atas tumpukan kartu nama lain.

"Lho kok dianggurin, Mbak?"

"Terus diapain? Dipeluk sama dicium, gitu?"

"Kalau dia kasih kartu nama ke Mbak, pasti ada apa-apanya. Kalian kan sama-sama jomblo."

Aku memutar bola mata. Dalam hati, aku berpikir kenapa dia memberikan kartu nama. Apa karena sekarang kami sudah lebih kenal? Maksudnya, ketika pertama bertemu, kami adalah dua orang asing. Kalau sekarang, kata apa yang pas untuk menyebut hubungan kami? Sepertinya, kenalan adalah kata yang paling tepat.

Rizky masih menyerocos, "Masa enggak bosan jomblo terus? Aku aja bosan."

"Aku sih lebih bosan karena kamu ribut terus. Aku mau kerja. Kamu jangan ganggu!"

Rizky tertawa, lalu kembali kemejanya. Aku melanjutkan menulis artikel mengenai manfaat jeruk nipis untuk kecantikan kulit.  Satu jam kemudian ponselku berdering. Aku tidak mengenali nomor telepon itu.

Aku mengangkatnya sambil berjalan menuju tangga darurat. "Halo."

"Halo Jani. Ini Abhi."

Aku enggak mengenali suaranya. "Maaf, ini Abhi siapa, ya?"

"Berapa banyak orang bernama Abhi yang kamu kenal?" tanya Abhi penuh selidik.

"Abidin, Abhisek, Abimanyu," jawabku asal.

"Bagaimana dengan Abhirama?"

"Oh, Abhi yang itu," jawabku. "Ada yang bisa dibantu?"

"Kamu udah terima titipanku dari Rizky?"

"Udah. Tapi, kenapa kamu ngasih sekarang. Aku udah enggak butuh," kataku sambil membuka pintu darurat dan berjalan menuruni tangga. Aku duduk di anak tangga.

"Kenapa? Apa karena kamu udah tahu nomor teleponku?"

"Enggak. Alasannya karena aku enggak bakal wawancara kamu lagi atau liputan acara Dodolan."

"Maksudnya?" Abhi terdengar bingung.

Aku belum sempat menjawab tiba-tiba pintu darurat terbuka lebar. Muncul seorang pria paruh baya yang ternyata pak Jaja OB di kantor.

"Eh udah dulu ya." Aku menutup telepon.

"Jani ngapain di sini? Lagi galau ya?" tanya pak Jaja.

"Lagi nelpon. Pak Jaja ngapain?" tanyaku sambil berjalan menaiki tangga menuju pintu.

"Lagi suntuk aja, pengin nyepi."

"Ok, deh. Silakan menyepi seorang diri." Aku meninggalkan pak Jaja dan kembali ke ruanganku.

Mulai bulan ini aku resmi menjadi redaktur gaya hidup. Artinya aku hanya akan meliput acara yang berhubungan dengan fashion, kecantikan, kesehatan, karir, kuliner dan gaya hidup. Berhubung rubrik gaya hidup masih dianggap enggak penting oleh redaktur lain jadi aku menjadi satu-satunya orang yang mengisi rubrik ini. Aku memiliki tugas ganda sebagai redaktur sekaligus reporter, tapi aku menikmati pekerjaanku. Ketika membutuhkan bantuan aku bisa meminta bantuan jurnalis lain. Saat ini sih aku belum butuh. Rubrik lain lebih membutuhkan reporter daripada rubrik gaya hidup.

You Can't Hurry Love [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang