Roland yang baru saja ingin menjawab langsung mengernyit bingung melihat perubahan raut wajah Adara yang tiba-tiba ia langsung memejamkan matanya dan tangannya memegang perut seperti menahan kesakitan.

"Lo kenapa?"

Adara pun membuka matanya dengan cepat, "gue mau ke kamar mandi dulu. Kayaknya tadi malem gue kebanyakan makan deh, perut gue sakit," dan langsung berlari menuju kamarnya meninggalkan Roland yang masih terbingung-bingung.

***

"Lan," panggil Adara. Sekarang sudah jam sepuluh pagi.

Mereka semua kecuali Adara sedang bersiap-siap untuk pergi jalan-jalan lagi.

"Kenapa?" Tanya Roland sambil menyuap roti yang baru saja diraciknya dengan selai coklat.

"Gue pulang ke Jakarta duluan ya?"

Roland langung tersedak. Ia baru sadar bahwa di samping Adara terdapat koper kecil miliknya.

"Kok gitu?" Tanya Roland bingung. "Kan pulangnya nanti jam tujuh malem,"

"Tiba-tiba Mama nyuruh pulang," jawab Adara. "Gue gak tau alasannya apa. Gue udah pesen travel untuk balik ke Jakarta kok."

Roland terdiam tampak berfikir, "yaudah, kita pulang sekarang aja."

"Gak usah," tolak Adara langsung. "Maksud gue, jangan. Gue udah pesen travel. Gapapa kok. Kalian kan udah bikin plan dari tadi malem, kasian yang lain kalau plan yang udah dibuat malah gak jadi."

Roland pun terdiam lagi kembali berfikir, "yaudah kalau gitu. Gue anter deh ke tempat travelnya."

"Gak usah," tolak Adara lagi. "Gue udah pesen taksi."

Roland mengernyit sebentar, "oh–yaudah kalau gitu. Hati-hati."

Adara mengangguk, "iya." Lalu memegang kopernya bersiap untuk pergi.

"Sini peluk dulu," Roland pun memeluk Adara sebentar karena setelah itu langsung di lepaskan oleh Adara.

"Yaudah. Gue duluan ya bilang sama yang lainnya. Bye," Adara pun menggeret koper kecilnya itu berjalan keluar Villa dan masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan sedari tadi.

Baru sepuluh menit perjalanan, Adara menyetop taksi itu di tengah jalan. Setelah membayarnya Adara pun keluar dari taksi dan berjalan menuju mobil sedan hitam yang sedari tadi menunggunya.

"Kamu masih bisa tahan dulu kan?" Tanya orang yang duduk di kursi pengemudi itu menatap Adara dengan raut wajah paniknya.

Adara tersenyum. Wajahnya mulai memucat. Dan suaranya pun mulai memelan. "Its okay, Bara. Aku gak selemah itu."

***

Adara masuk ke dalam rumahnya dengan langkah pelan. Kepalanya terasa benar-benar pusing ditambah lagi badannya yang entah kenapa semakin lemas. Ia pun langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa.

Amara yang baru saja ingin pergi langsung mengurungkan niatnya ketika melihat Adara yang sepertinya penyakitnya kembali kambuh.

"Dara?" Amara menatap wajah Adara yang sekarang tampak pucat pasi, "dada kamu sesak? Kamu masih bisa denger Mama kan?"

Dengan lemah Adara mengangguk.

"Kamu udah minum obatnya?" Amara pun mencari koper Adara. "Mana koper kamu?"

Bara yang baru saja masuk ke dalam rumah sambil membawa koper Adara langsung menjawab, "Adara gak ada bawa obatnya, Ma."

Amara berdecak pelan lalu langsung berlari menuju kamar Adara untuk mengambil obat yang dua tahun terakhir ini sudah Adara konsumsi. Bara pun mengambil segelas air hangat di dapur dan setelah itu kembali ke ruang tengah.

Amara memberikan tiga obat dengan ukuran dan warna yang berbeda akan tetapi rasa yang sama; pahit, ke Adara.

Setelah itu Amara mengambil segelas air hangat dari tangan Bara dan memberikannya lagi ke Adara yang langsung diminum dengan cepat karena sudah tidak tahan lagi.

"Duh. Kepala aku makin sakit," keluh Adara sambil memijit dahinya berusaha menghilangkan rasa nyeri yang masih melanda kepalanya.

"Nyesel Mama izinin kamu ke Puncak." Amara pun langsung mengambil handphone di sakunya, "Mama telfon Dokter Jihan dulu."

•••

Aku nggak ada sengaja untuk memperlambat alur ceritanya. Dan juga aku sebenernya enggak mau nambah konflik. Tapi ya mau gmn lagi. Ini emg plotnya udh ku atur.

Tenang.

Bentar lg tamat.

Are u happy now?

Ahaha.

13 Agustus 2016

ROLANDARAWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu