Part 1 It's Five O'clock Somewhere

45.1K 1.9K 53
                                    

"Menjadi seorang jurnalis itu artinya bekerja 24 jam. Kamu harus siap jika dibutuhkan kapan saja dan di mana saja. Apa kamu sanggup?" Pertanyaan itu diberikan oleh pak Yono, pemimpin redaksi Jagat Daily News, saat aku wawancara kerja.

"Iya, saya sanggup," jawabku mantap.

Waktu itu aku berpikir jikaPak Yono hanya menakut-nakuti untuk menguji apakah aku benar-benar mau jadi jurnalis atau enggak. Aku masih ingat betapa bahagianya aku ketika diterima sebagai jurnalis di Jagat Daily News. Setelah bekerja selama lima tahun sebagai jurnalis, perkataan Pak Yono tidak benar-benar terbukti. Jurnalis juga manusia enggak mungkinlah kerja 24 jam. Yang pasti jam kerja jurnalis tidak dari jam 9 sampai jam 5, tapi tergantung situasi dan kondisi. Jurnalis harus siap kalau harus kerja di hari apapun termasuk hari libur dan jam berapa pun.

Hari ini hari Sabtu, tapi semua jurnalis di kantor harus masuk untuk liputan khusus tentang kenaikan harga sembako dan bumbu dapur. Sumber daya manusia di kantorku sedikit, jadi untuk berita kami kadang mengandalkan jurnalis di harian Jagat yang masih satu grup.

"Jani! Sini bentar," perintah pak Rio sambil melambaikan tangan.

Aku berjalan mendekatinya. "Kenapa, Pak?"

"Coba hari ini kamu ke Pasar Kramat Jati terus pantau harga sembako dan bumbu dapur di sana. Habis itu kamu cari pasar tradisional lain buat perbandingan. Terserah di mana," terang pak Rio.

"Oke, Pak." Aku berjalan menuju mejaku untuk mematikan komputer dan bersiap berangkat.

"Pagi, Mbak. Mau ke mana?" sapa Nadya, reporter yang bentuknya mirip anggota girlband K-Pop, lengkap dengan lensa kontak berwarna dan BB cream yang membuat kulitnya tampak flawless.

"Ke pasar. Mau ikut?" kataku sambil memasukkan botol minuman ke dalam tas.

"Ogah ah, ngapain," kata Nadya sambil mengibaskan rambutnya yang bercat pirang.

"Cap cus dulu ya." Aku beranjak meninggalkan Nadya. Belum sampai ambang pintu pak Rio memanggilku. "Jani, ajak Nadya tu!"

Aku membalikkan badan dan bertatapan dengan Nadya yang memasang ekspresi ngeri.

"Nadya, cepat ikut Jani! Nanti beritanya kirim ke aku ya!" teriak Pak Rio. "Kamu pantau harga daging sapi ya!"

Nadya menurut, dia langsung mengambil tasnya dan berlari ke arahku. Kami berjalan menuju lift. Kantorku ada di lantai 25 atau lantai teratas.

"Mau ke pasar mana, Mbak?" tanya Nadya saat kami masuk ke lift.

"Kramat Jati. Terus habis itu disuruh ke dua pasar lain. Aku mau ke pasar Benhil sama Senen aja yang dekat kantor," jawabku.

Pekerjaan sebagai jurnalis tidak hanya menggunakan otak saja tapi juga fisik. Aku harus pergi ke sana ke mari mencari berita dengan angkutan umum. Kami ke pasar Kramat Jati naik angkutan umum. Di kantor jatah taksi hanya untuk marketing. Ketika marketing tetap wangi dan rapi saat sampai di tujuan, jurnalis tampak kucel dan bau saat sampai tujuan. Kami sampai di Pasar Induk Kramat Jati pukul sepuluh dan langsung mencari tempat yang menjual bumbu dapur. Berhubung belum pernah masuk pasar ini, kami berdua kesulitan menemukan tempat yang kami cari. Kami malah kesasar ke tempat buah.

"Cari apa, Neng?" tanya seorang cowok muda penjaga stan buah.

"Tempat bumbu dapur di mana, ya?" balasku.

Bukannya menjawab cowok itu malah berkomentar, "Beli buah aja Neng. Ini jeruknya manis lho kayak Neng."

Aku dan Nadya langsung kabur. "Lho kok malah kabur?" teriak cowok itu yang disambut tawa pedagang lain. Kami mempercepat langkah kami dan melewati kerumunan cowok muda yang sedang menunggui dagangan sambil merokok.

You Can't Hurry Love [Dihapus Sebagian]Where stories live. Discover now