Bagian 4

25.8K 2.4K 112
                                    

Zavier melirik Zia yang tampak gelisah. Gadis itu sedari tadi jelas sekali mencuri-curi pandang ke arahnya.

"Nasi gorengnya enak," ucap Zavier kemudian. Membuat wajah Zia langsung tampak begitu lega.

Begitu rupanya, ucap Zavier dalam hati. Ternyata Zia khawatir masakannya tidak enak hingga merasa perlu berkali-kali melirik ke arah Zavier. Huh, daripada mencemaskan masakannya, seharusnya Zia lebih mencemaskan isi kepala Zavier. Yang mana sejak tadi terus menerus membayangkan hal yang berbahaya untuk Zia. Isi kepala Zavier jelas lebih mengerikan daripada masakan yang gagal.

Tadi, Zavier buru-buru ke kamar Zia karena khawatir gadis itu telah pergi lebih dulu dan menyetir seorang diri ke kampusnya. Zavier tidak menginginkan hal itu terjadi. Tapi tebak apa yang dia dapat? Gadis itu berdiri di hadapannya, masih dengan kaus ketat yang dikenakannya semalam, serta rambut yang diikat asal tapi malah membuatnya terlihat sangat menggoda.

Tidak sampai disitu, sebelum Zavier sempat mengumpulkan kembali kewarasannya, Zia malah lebih dulu menyeretnya ke dalam kamar lalu menariknya menuju tempat tidur. Zavier sempat membayangkan dirinya dan Zia berbaring di sana, namun gadis itu segera menarik kembali pikirannya dengan cara memasangkannya dasi. Gadis itu rupanya mengira kemunculan Zavier di depan pintu kamarnya karena hal itu. Wajah Zia yang sejajar dengannya, lalu telapak tangan gadis itu yang menyentuh dadanya. Fokus Zavier yang semula berada di tempat tidur pun segera teralihkan.

Tangan Zavier hampir saja terangkat untuk menarik pinggang gadis itu ke tubuhnya. Tapi untunglah, stok kewarasannya segera kembali. Yang mana pada akhirnya berhasil membuat mereka duduk tenang menikmati sarapan saat ini.

"Syukurlah," desah Zia kemudian. "Aku cemas sekali rasanya tidak sesuai dengan lidahmu."

Zavier menoleh sekilas pada Zia, namun tak berkata-kata. Ia kembali fokus ke piring sarapannya.

"Oh, ya, kopinya." Zia segera bangkit dari kursi dan menjauhi meja makan.

"Habiskan sarapanmu dulu," panggil Zavier yang membuat langkah Zia seketika terhenti. "Kau hanya perlu menuangkannya ke cangkir, kan? Nanti saja."

Zia menurut. Gadis itu kembali duduk di kursinya. Mereka pun akhirnya makan dengan tenang. Sarapan kali ini berlangsung cukup lama, karena Zavier bangun cukup pagi. Ia bahkan masih bisa menikmati kopi dengan tenang sambil memerhatikan Zia menghabiskan susu dalam gelasnya. Hingga pada akhirnya Zavier melirik jam dan beranjak dari kursi.

"Aku harus pergi sekarang," ujarnya seraya berdiri.

Zia seketika ikut bangkit dari kursinya. Dilihatnya Zavier yang kini mendekat ke arahnya. "Hati-hati," ucap Zia dengan senyum tipis.

Zavier mengangguk kecil, kemudian mengulurkan tangan ke arah Zia. Ada dorongan yang membuatnya ingin sekali menarik gadis itu dan menciumnya. Namun, Zavier berusaha keras menahan diri. Akhirnya, alih-alih menyentuh pipi gadis itu dan mendekatan wajah mereka, Zavier mengusap kepala Zia pelan.

"Jangan nakal," ucapnya kemudian, lalu segera berlalu dari hadapan gadis itu.

***

Jangan nakal? Apa-apaan itu? gerutu Zia dalam hati. Apa suaminya itu pikir ia adalah anak kecil nakal yang gemar membuat onar. Rasa gugup yang sebelumnya menyerang Zia seketika lenyap. Berganti dengan rasa sebal.

Dengan cemberut, Zia kembali duduk di kursinya. Baru saja ia terserang panik karena Zavier mengulurkan tangan ke arahnya. Ia tadinya sempat berpikir bahwa Zavier akan menciumnya. Ya ampun. Untung Zia tadi tidak sempat memejamkan mata karena menantikan ciuman itu. Akan sangat memalukan sekali jika hal itu sampai terjadi. Hanya karena Papi yang gemar memberikan kecupan di pipi pada Mami sebelum berpamitan, Zia malah menganggap kebanyakan pasangan lain juga melakukan hal yang sama. Atau setidaknya mungkin Zavier akan melakukan hal itu padanya.

CopulabisWhere stories live. Discover now