Bagian 2

32.1K 2.8K 158
                                    

"Kamu yakin mau nikah sama om-om begitu, Zi?" tanya Desy, sepupu dari pihak mami Zia yang lebih tua tujuh tahun darinya.

"Memang om-om sih, Kak. Tapi nggak kelihatan tua kok," jawab Zia. Tapi ada sebersit keraguan muncul di hatinya.

"Nggak apa-apa Zi, nanti pas dia sudah tua kamu masih tetap cantik. Jadi aman, seumur hidupnya suami kamu nggak bakalan lirik daun-daun muda, toh istrinya masih tetap cantik sepanjang umur dia." Mia, sepupunya yang lain menanggapi.

"Tolong ya, Kak Mia, situ memang sudah tua. Jadi wajar saja bisa nerima. Lha ini, si Zizi baru enam belas tahun. Nikah sama cowok yang umurnya dua kali lipat dari usia dia saat ini benar-benar nggak bisa diterima. Kasihan Zizi, nggak bisa nyicipin masa muda."

Zia adalah yang paling muda di antara sepupu-sepupunya. Cucu terkecil bagi nenek dan kakek dari pihak maminya. Sementara dari pihak sang papi, Zia malah sama sekali tidak punya sepupu karena papi Zia adalah anak tunggal.

"Tapi Zia sendiri bilang nggak kelihatan tua kok. Ya kan, Zi?" Mia melirik Zia yang hanya diam menonton perdebatannya dengan Desy. "Ganteng banget malah, ya? Aku aja mau."

Zia mengangguk. Mia menyeringai senang pada Desy.

"Bang Beni... Bang Beni, Kak Mia kegatelan," ucap Desy seakan memanggil-manggil suami Mia.

"Ih, dasar pengadu. Sudah mau punya anak juga," cibir Mia. "Malu sama yang di perut." Tunjuknya pada perut Desy yang masih rata. "Kamu tuh juga nikah muda, Des. Jadi nggak usah sok melarang-larang Zia."

Desy melotot. "Aku nikah pas udah lulus kuliah ya, Kak. Memang sih menurut orang ini juga terhitung nikah muda. Tapi tetap di atas dua puluh tahun. Bukan enam belas tahun kayak Zizi ini."

"Nggak masalah dong. Lagian ini Zizi nggak langsung tinggal serumah juga sama suaminya. Nikah itu lebih baik, daripada Zizi pacar-pacaran nggak jelas nantinya. Ngurangin dosa," Mia terus membantah.

"Ya ampun, cowok itu bahkan bukan pilihan Zizi sendiri," keluh Desy. Ia memang teramat menyayangi Zia seperti adik sendiri. Karena Desy adalah anak bungsu dan kebetulan Zia adalah anak tunggal. "Ini kamu kenapa mau-mau aja sih Zi dijodoh-jodohin begitu?"

Zia meringis. "Papi sakit, Kak," jawabnya lirih. "Papi bilang, nggak tahu kapan ajal menjemput. Jadi kalau bisa minta, Papi ingin lihat Zi nikah. Nggak langsung minta cucu kok. Tapi setidaknya Papi bisa merasakan menjabat tangan laki-laki yang akan menjadi suami Zi pas akad diucapkan."

Desy terdiam. Ia sama sekali tak menyangka jika itu alasan di balik pernikahan sepupunya yang mendadak ini. "Om Neldi sakit apa Zi? Aku pikir tadi karena orangtua kamu punya hutang atau apa makanya sampai tega jual kamu ke om-om, aww..."

Mia mencubit lengan Desy. Gemas dengan pikiran nyelenehnya.

"Jantung," jawab Zia tak bersemangat. Penyakit ini baru diketahui belakangan, dan tanggapan papi Zia langsung seakan hidupnya telah divonis hanya tersisa beberapa bulan.

"Tapi kan penyakit itu bisa di"

"Kita memang nggak bisa tahu kapan ajal menjemput, Des," sela Mia. "Jadi sudah, biarkan Zizi mematuhi keinginan orangtuanya. Jangan mendebat lagi."

Desy tahu, seharusnya ia memang sebaiknya diam saja. Zia adalah putri yang sudah cukup lama ditunggu-tunggu. Zia lahir saat papinya sudah berusia empat puluh tiga tahun, sementara sang mami tiga puluh delapan tahun. Usia yang sungguh tidak lagi muda. Jadi wajar saja jika keinginan untuk menikahkan itu muncul dari orangtua Zia.

CopulabisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang