Kenyataan Ini Menyakitiku

247K 12.2K 907
                                    

Aku diam terpaku menatap apa yang kini ada dihadapanku. Dia yang ku cintai serta aku hormati ternyata membohongiku. Untuk apa berbohong, kenapa ia tidak jujur?

Ingin rasanya aku turun dari taksi ini, menghampiri mereka berdua yang kini tengah mengobrol akrab. Pantaskah mereka berdua melakukan ini? Mereka sangat mengerti agama tentu seharusnya mereka tahu kalau apa yang mereka lakukan tentu tidak baik, meskipun mereka hanya mengobrol tidak lebih.

Dengan tangan gemetar aku meraih ponsel yang ku simpan di dalam tasku. Berulang kali aku berusaha menghubungi nomer Mas Ali, namun tidak ada satupun panggilan yang ku lakukan diangkatnya. Akhirnya akupun menghubungi nomer mbak Ayana. Panggilan pertamaku direjectnya namun akhirnya panggilanku yang ke tiga diangkat.

"Assallammualaikum mbak." sebisa mungkin aku mengontrol nada suaraku agar tidak terdengar bergetar.

"Waalaikumsallam... Ada apa Ra?"

"Apa mbak bersama Mas Ali."cukup lama jeda yang tercipta. Hingga akhirnya ia menjawab iya.

"Iya mbak lagi sama Mas Ali, kami sedang membicarakan tentang pekerjaan Ra." jelasnya.

"Bisa aku bicara sama Mas Ali."aku menggigit bibir bawahku menahan isak tangis yang hendak keluar dari bibirku. Disini aku sebagai istrinya namun kenapa aku merasa akulah orang ketiga diantara mereka berdua?

Tidak lama suara Mas Ali yang berdehemlah yang ku dengar, aku yakin kini ponsel mbak Aya telah berpindah tangan ke tangan Mas Ali.

"Mas?"

"Hmm."

"Aku mau kerumah Mama. Boleh tidak?"

"Boleh." hanya itulah jawaban yang kudapat.

"Tadi pas aku lewat cafe yang ada didekat rumah sakit, aku lihat Mas sama Mbak Aya, jadi aku hubungi nomer Mbak Aya soalnya nomer Mas tidak bisa dihubungi." Ucapku panjang lebar. Aku tahu tidak baik memancing obrolan ini melalui telepon, tapi sungguh aku ingin mendengar penjelasannya sekarang juga.

Apa bertemu dengan mbak Ayalah yang ia maksud dengan kerja? Kenapa di cafe bukan dirumah sakit?

"Nanti aku akan menjemputmu." setelah mengucapkan kata itu ia langsung mematikan ponselnya. Tangisku tidak dapat lagi ku tahan. Ya Allah apa yang harus ku lakukan.

"Neng kenapa nangis?" tanya supir taksi yang tadi hanya diam menyaksikanku menahan tangis.

"Maaf Pak antarkan saya ke alamat ini yah." aku menyebutkan alamat mamaku bukan mama Anisa.

Kepalaku rasanya ingin pecah dan sakit diperutku semakin menjadi, sesampainya dirumah Mama aku langsung masuk ke kamar, merebahkan tubuhku diatas tempat tidur yang sudah lebih dari enam bulan ini tidak ku tiduri.

"Mbak Zahra sakit yah, mau Mbok buatkan apa?" Mbok Darmi PRT keluargaku langsung menghampiriku. Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan gelengan "Mbok telepon Mama mbak Zahra yah."

"Tidak usah mbok, entar mama malah khawatir."cegahku. Mama kini sedang menginap di Malang, setelah kepergian Papa, Mama lebi senang menghabiskan waktunya di Malang.

Aku sangat bersyukur kini Mama sedang ada di Malang itu membuatku terbebas dari tuntutan penjelasan yang pasti akan mama tanyakan.

Sepeninggalan si Mbok aku langsung menarik selimbut hingga menutupi kepalaku. Dibalik selimbut aku menangis tersedu, mengingat kembali akan pemandangan saat Mas Ali dan Mbak Aya di cafe.

Kenyataan ini sungguh menyakitiku.
Andai aku tahu kalau rasa ini sungguh akan menyakitiku dengan sedemikian rupa.
Aku mungkin akan lebih memilih untuk tidak berlabuh padamu.
Namun Allah telah mentakdirkan kita berjodoh.
Maka yang dapat kini kulakukan hanya mempertahankanmu untuk tetap ada disampingku.

Cinta Dalam Diam | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang