1. Koriyah!

40.8K 4.1K 187
                                    

Pintu kedatangan luar negeri langsung diserbu orang-orang pembawa banner sedetik setelah pengumuman kedatangan pesawat dari Jepang.

Hansol mengutuk salah satu kebodohannya yang selalu kambuh disaat yang tidak tepat. Salahkan dia yang pelupa sehingga tidak bawa barang paling penting di bandara (baca;banner).

"Duh, mana sudah sembilan tahun nggak ketemu. Ya kalau wajahnya masih kayak gitu. Kalau berubah? Masa aku harus teriak-teriak?" gerutunya.

Dan sialnya lagi, si Hansol harus rela terpental ke barisan paling belakang karena ulah tante-tante di sekitarnya. Ouh, ganas.

Pintu kedatangan terbuka dan muncullah orang-orang yang didominasi berasal dari Jepang. Hansol menjinjitkan kakinya, berusaha mencari dia yang--Hansol yakin--makin tinggi sekarang.

"Siapa yang kau cari?"

Hansol tersentak pelan saat seseorang menyentuh pundaknya. Mata mereka bertemu, dan Hansol hanya bisa mematung.

"H-Hyung!"

⚫⚫⚫⚫

Mingyu menatap jalanan Seoul yang berubah cukup drastis di matanya. Makin ramai dan macet. Yah, begitulah.

"Hyung! Sumpah hyung tambah ganteng."

Mingyu menatap Hansol ngeri. Dia sudah sering mendengar pernyataan itu, tapi tidak dari mulut laki-laki.

"Kau punya pacar?"

"No. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku," jawab Hansol santai.

Mingyu menghela napas panjang. "Cepat cari pacar sebelum kau benar-benar menganggapku tampan."

Hansol tertawa sambil memutar setir mobilnya ke kanan. "Asli hyung, aku hampir tidak mengenalimu. Hidup di Jepang menyenangkan ya, sepertinya."

Mingyu menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, enggan merespon pernyataan Hansol.

"Jadi kepala cabang bank pasti membuatmu kaya raya. Banyak perempuan yang mau denganmu," goda Mingyu, mengalihkan pembicaraan.

"Yah, begitulah. Pegawaiku saja banyak yang suka aku." Mingyu memutar bola matanya kesal. "Bagaimana dengan pengacara? Aku yakin banyak klienmu yang langsung jatuh hati."

Mingyu mengangguk membenarkan pernyataan Hansol. Dia masih ingat saat pertama kali jadi pengacara untuk kasus perceraian. Si janda itu--yang sialnya adalah kliennya--bahkan terang-terangan menggoda Mingyu agar mau menikah dengannya. Padahal dia baru 22 tahun waktu itu.

"Kau benar, Choi."

Hansol tertawa. Dia sempat berpikir, mungkin ada orang bodoh di luar sana yang rela melakukan tindakan kriminal hanya untuk bisa dibela Mingyu di meja pengadilan. Mungkin. Kalau sampai ada, mereka benar-benar gila.

"Dan sekarang kau akan bekerja di Seoul. Kau buka kantor sendiri? Atau bekerja di firma hukum?"

Mobil Hansol berhenti tepat di sebuah apartemen mewah. Ini bahkan diluar ekspetasiku. Dia sangat kaya, batin Mingyu.

"Tidak dua-duanya," jawab Mingyu sambil berjalan menuju bagasi mobil untuk mengambil tas dan kopernya.

"Terus? Nganggur?" tanya Hansol, asal.

Mingyu mendesah pelan lalu menatap Hansol serius. "Aku jadi tim hukum di sebuah perusahaan besar."

"Serius? Wow! Kau keren. Eh hyung, mana kopermu biar aku yang bawa."

Dengan senang hati Mingyu menyerahkan koper besarnya pada Hansol. Mereka berjalan menuju lift ditemani tatapan-tatapan 'lapar' dari banyak perempuan.

"Tetanggamu belum pernah lihat laki-laki ganteng ya?" tanya Mingyu sambil memasuki lift yang kosong.

Hansol menekan tombol sepuluh sambil tertawa. "Aku juga ganteng kali, hyung. By the way, kau kerja di perusahaan apa?"

Mingyu menyilangkan tangannya di depan dada. "Di salah satu perusahaan besar di negeri ini. Jeon Grup."

"Oh, Jeo--APA?! J-Jeon Grup? P-Perusahaannya Wonwoo?!"

Mingyu menghela napas pelan. Reaksi yang sesuai dengan ekspetasinya.

⚫⚫⚫⚫

"Jadi hyung serius mau kerja disana? Gila! Kau benar-benar gila hyung!"

Mingyu meneguk soda ditangannya. Yang kerja Mingyu, yang nggak santai Hansol. Yang punya masalah Mingyu, yang ribet Hansol.

"Anggap saja aku gila karena tergiur gaji dan jabatan yang ditawarkan perusahaan itu."

Hansol mendesah pelan. Kalau sudah ada kata jabatan dan uang sih, bakal susah. Siapa sih yang nggak mau naik jabatan? Wajar juga kalau Mingyu rela melakukannya.

"Oke, lupakan masalah itu. Semua terserah kau saja." Mingyu cukup berterimakasih atas kebijaksanaan Hansol. "Terus kau tinggal dimana sekarang?"

Mingyu mengangkat bahu. "Ada hotel di sekitar sini?"

"Kau mau menginap di hotel? Gila, bisa habis gajimu hanya untuk tidur dan mandi," protes Hansol. Lagi-lagi Mingyu mengangkat bahu santai. Masa iya dia harus tidur di pinggir jalan?

"Kak! Aku pul...ang." Mata Mingyu dan mata sang pemilik suara cempreng itu bertemu. "Kak Mingyu bukan sih?"

"Ih, sok lupa. Dia Mingyu, Rim," jawab Hansol. Perempuan itu berjalan mendekati Mingyu dan Hansol dengan muka polos setengah cengo. "Dik! Apaan sih? Jangan pasang wajah kayak gitu, please!"

"Hansol-ah, dia Choi Daerim? Adikmu yang masih SD itu?" tanya Mingyu sambil menatap Hansol.

"Hm, dia adikku. Tapi bukan anak SD lagi, sorry. Dia sudah SMA hyung."

Mingyu tertawa pelan lalu berdiri dari duduknya. "Waktu berjalan cepat ya, Dik. Dulu kau masih se-sikuku, sekarang--" Mingyu menghentikan kaimatnya sejenak lalu menatap tubuh Daerim. "--pertumbuhanmu lambat ternyata. Sampai ketemu nanti, adik kecil," lanjutnya sambil mengacak rambut Daerim.

Mingyu berjalan menuju kamar tamu, meninggalkan Hansol yang menahan tawa dan Daerim yang masih saja melongo.

"IH! AKU SUDAH 18 TAHUN TAHU! JANGAN PANGGIL AKU ADIK KECIL!" teriak Daerim, pada akhirnya.

⚫⚫⚫⚫

Eciee chapter 1 dataang. Kependekan kah? Bhaaq maafkeun ya, om mingyu butuh bobok abis jet-lag (abaikan)😂

Btw jgn lupa vote dan komen. Aku nggak terlalu berharap ceritaku ini bnyk yg suka, tapi akan lebih baik kalau kalian suka (gadeng seriuss)✌

See you next chaapter:)))

Om Mingyu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang