62: Someone Whom You Loved...

Start from the beginning
                                    

“Hah?” Genma mengernyit, kemudian tertawa kecil. “Perjanjiannya, Tuan-Pembunuh-Pelacur, bukan pertanyaanmu.”

“Jawab!”

Genma tidak ingin mati sekarang. Tidak di saat ia belum mengeluarkan sepasang pedangnya dan menyerang balik. Ia bisa merasakan ujung rapier yang setajam jarum pada kulit lehernya, dan cengkeraman Aloysius pada kerah jasnya yang semakin mengetat. “Dua-duanya. Karena mereka bukan orang yang pantas dicintai lagi; mereka dua psikopat yang lebih baik mati. Sekarang, soal perjanjiannya—“

“Tidak akan ada perjanjian, Genma. Pergi, sebelum pasukanku membunuhmu.”

“Tidak akan ada gunanya, Alois,” gelak Genma, menirukan nada suara Aloysius. “Mereka semua orang pilihanmu, bukan pasukan terlatih. Sama tololnya dengan anak umur 50 tahun.” Alisnya mengernyit. “Mungkin anak 50 tahunan lebih pintar daripada mereka.”

 Aloysius hanya membalas perkataan tajam Genma dengan decihan pelan. Tidak menganggap lelucon itu lucu. Benci mendengar suara tawanya yang mengganggu. Sialan. Genma jelas-jelas orang yang menghambat pencarian Mildgyd dan Mildred kemarin lusa. Rambut sewarna darahnya, dan mata hijaunya yang mencolok—semuanya persis seperti yang dideskripsikan Cerdic sebelumnya. Dan kemudian, para tentara yang datang setelah pasukan Cerdic melaporkan bahwa rombongan mereka dicegat oleh enam remaja bersenjata—teman-teman Genma. Pencarian dihentikan. Aloysius menyentakkan kerah jas Genma kuat-kuat, memelintirnya hingga kusut, dan menggeram pelan. Pemuda ini lebih pantas mati daripada dirinya.

Tidak, tidak sekarang. Belum.

“Aku punya perjanjian lain,” gumam pria itu. Diturunkannya rapier-nya dari leher Genma. “Saatnya kau melihat keagungan Pyrrestia untuk terakhir kalinya,” sambil masih mencengkeram kerah jas Genma, ditariknya pemuda itu menjauhi keramaian ruang aula, membawanya ke sudut ruangan—tempat sebarisan anak tangga melingkar menuju lantai atas. Aloysius bergegas menaiki tangga tersebut, diikuti Genma yang berjalan malas-malasan. Tangga itu melingkar-lingkar dan puncaknya tidak terlihat—seolah menaiki tangga menuju bulan.

Genma tidak melawan sedikit pun. Belum saatnya. Mata hijaunya mengawasi punggung Aloysius yang berjalan menjauhinya, meniti anak tangga yang tidak ada habisnya. Di sekeliling mereka bukan lagi ruang aula—jauh melampai atap manor, malah—melainkan sebuah bangunan batu bata sempit yang memagari tangga melingkar tersebut dari dasar hingga ke puncaknya. Semacam menara jam raksasa... atau pos jaga tentara. Menara ini tidak ada di manor sebelumnya. Pasti Aloysius yang menyuruh seseorang membuatnya—entah untuk apa.

***

Genma memanjat anak tangga terakhir dan mendapati dirinya di tengah ruangan gelap. Di satu sisi, terdapat jendela raksasa tanpa kaca yang menyuplai ruangan dengan cahaya temaram dari obor-obor di luar manor. Genma mendekatkan jarinya ke bibir, meniupnya. Kobaran api kecil menyala dari ujung telunjuknya dan menjadi satu-satunya sumber sinar yang memadai selain cahaya obor.

Menara ini kotor. Lantainya dipenuhi jejak sepatu bersaput lumpur mengering yang berbau khas hutan. Hutan. Genma mengendus-endus. Ia mengenali aroma ini. Apabila Aloysius sering ke tempat ini setelah mengunjungi hutan (dan tidak membersihkan sepatunya), sepatunya akan membuat jejak-jejak berlumpur di lantai yang tidak mudah hilang. Itu berarti Aloysius sering mengunjungi hutan. Mungkin dialah pemimpin pasukan di hutan kemarin-kemarin. Itu berarti Aloysius sering memburu hewan-hewan yang ada di sana—padahal seharusnya hewan-hewan itu dilindungi manor.

Bertambahlah poin negatif pria itu di mata Genma.

Pesta masih berlanjut, jauh di bawah kaki mereka. Hingar-bingar suara musik teredam oleh dinding batu menara yang dingin dan kokoh. Aloysius berdiri di pinggir jendela raksasa, menatap langit hitam keunguan yang melingkupi Pyrrestia. Suara jangkrik dan kelelawar terdengar dari kejauhan.

ElementbenderWhere stories live. Discover now