Wanita bertudung itu terlihat ragu-ragu sesaat, kemudian beralih pada orang bertudung di sebelahnya. Orang itu mengangguk. “Baiklah. Buka saja pintunya.” Wanita itu balas mengangguk dan membuka pintu gerbang dalam sekali sentakan, menimbulkan suara jeruji logam berkarat beradu dengan desingan udara. Takumi terhenyak. Kuat sekali dia.

Para falcon tidak melangkah masuk begitu gerbang dibuka lebar. Sebaliknya, orang bertudung itu yang berjalan mendekat. Si wanita masih tetap di tempatnya, memegangi jeruji gerbang. Wigstan merebut pergelangan tangan  Takumi dan memaksanya bergerak maju. Takumi mengelak.

“Pelan-pelan, Tuan—dia masih anak-anak,” si orang bertudung tertawa. Takumi mengerutkan hidungnya, marah. Beberapa falcon lain ikut tertawa dan tergelak-gelak. “Ngomong-ngomong, maaf telah membuat kalian menunggu lama. Kami tidak biasa kedatangan tamu sesiang ini.”

Ada sesuatu dalam ucapannya yang membuat Takumi tertarik. Seolah-olah orang ini juga sama muaknya dengan para pedagang yang sombong dan kasar—seperti Wigstan—dan ucapan tadi hanya formalitas yang hambar. Orang bertudung ini mungkin pria setengah baya, kurang lebih 40-50 tahunan menurut nada suaranya. Dia memakai pakaian yang lumayan mewah dibanding orang-orang di sekitarnya, jenis pakaian yang mengingatkan Takumi akan penampilan Genma sebelum pemuda itu menggantinya dengan pakaian elf.

“Si berandalan cilik!” sembur Wigstan. “Kemarin dia mencuri uangku dan lolos, sekarang dia mencuri emas Nyonya Aedith dan tertangkap!” teriaknya tanpa basa-basi. “Dia seharusnya digantung di tengah kota dan diarak mengelilingi Pyrrestia, dengan tali masih mengikat lehernya,” tatapannya beralih pada Takumi. Wigstan mendesis, nyaris menancapkan kuku-kuku tajamnya ke leher pemuda itu.

“Cilik? Astaga,” komentar si orang bertudung dengan kalem. “Berapa umurnya?”

“Sekitar 145 atau 147, tapi tingginya setara pria dewasa. Gerakannya cepat dan seringnya kami tidak bisa menangkapnya, tapi sekarang dia tertangkap,” sela seorang falcon di belakang Wigstan. Pria brewokan itu mendengus kesal.

“Itu karena dia keturunan elf! Orang tuanya pengkhianat!” teriak seorang falcon lain, dan kerumunan kecil itu mendadak riuh. Masing-masing saling menyela dan melemparkan ejekan kotor; apa yang sebenarnya “orang tua” Takumi—atau remaja sialan yang memberikannya kotak berisi dua batang emas itu—lakukan, dan hukuman apa yang pantas diterimanya. Si orang bertudung menggoyang-goyangkan gerbang untuk menenangkan mereka, suaranya yang nyaring mengalahkan keributan kecil itu.

“Diam, diam. Oh... ya. Jadi anak kecil itu. Dia terlihat seperti 175 di mataku,” gumamnya. Dalam satu sentakan kecil, orang itu membuka tudungnya, memperlihatkan wajahnya. Dugaan Takumi benar. Orang bertudung itu adalah seorang pria dewasa, sekitar 50 tahunan (atau 500 tahun, 5.000 tahun, atau berapapun menurut standar perhitungan tahun di dunia ini), dengan rahang persegi yang kokoh dan senyum lebar yang hangat. Matanya hijau cerah dan rambutnya, yang panjang dan agak berantakan, berwarna oranye kemerahan. Hidungnya tidak sebesar hidung falcon lainnya. Dia pasti Tuan Hide.

Namun, Wigstan masih mencerocos.

“Kalau perlu, langsung bawa dia ke Ű—“ perkataan pria kasar itu terhenti. Hide, yang ia kira akan berpihak padanya, justru menggeleng dan menatapnya galak. Wigstan terdiam sambil bersungut-sungut. Dilonggarkannya cengkeramannya pada pergelangan tangan Takumi dengan enggan.

Takumi berbisik pelan, sudut-sudut mulutnya melengkung ke atas. Ia mulai menyukai pria aneh ini. “Terima kasih.”

Hide menepuk-nepuk bahu pemuda itu dan bertanya pelan, tidak menghiraukan perkataannya barusan. “Kau punya kusta di wajahmu atau apa? Tatap aku, Nak. Jangan lirik-lirik begitu. Seorang gentleman harus menatap langsung lawan bicaranya.” Dengan ragu, Takumi mengangkat wajahnya setinggi mungkin. Menatap mata hijau Hide secara langsung. Pria itu mengangguk. “Nah, begitu. Siapa namamu? Kenapa harus mencuri segala, Nak?”

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang