18. Luapan Emosi 1

Start from the beginning
                                    

Mama terdiam, lalu kembali menghembuskan nafasnya. "Mama harap dengan membawanya tinggal di sini, kondisinya akan lebih baik. Tapi bukannya membaik, dia malah selalu bermimpi buruk, dia terus menjerit-jerit dalam tidur singkatnya. Dokter menyarankan agar kami mengubah suasana kamarnya seperti apartemen kalian. Rey memang bisa tidur, walau dengan bantuan obat tapi tidurnya tidak pernah tenang, dia terus bermimpi buruk."

Cerita mama, membuatku ikut menangis. Setiap airmata yang jatuh dengan cepat aku langsung menyekanya.

"Butuh berbulan-bulan sampai akhirnya dia bisa lebih baik. Dia mulai menjalankan aktivitasnya. Tapi, Rey berubah, sangat berubah. Dia jadi anak yang pendiam, tak banyak bicara. Tapi, kondisinya yang seperti itu tidak bisa mama lihat lama karena dia memutuskan pergi ke London. Dia menghabiskan banyak waktunya di sana, membangun cabang perusahaan baru dan hanya pulang sesekali."

Aku termangu, benarkah kepergianku membuat Rey seperti itu. Mama meraih tanganku, kemudian menarikku ke dalam pelukannya. Aku yang masih sangat terkejut hanya diam tanpa membalas pelukannya.

"Berjanjilah Ra, jangan tinggalkan dia. Jangan pernah tinggalkan dia lagi, mama tidak ingin kehilangan putra mama lagi. Mama ingin bisa melihatnya tersenyum bahagia."

Aku tidak menjawab permintaan mama, terguncang dengan apa yang baru saja aku dengar. Tak pernah kusadari kalau aku telah menyakiti banyak orang agar hatiku tak tersakiti. Bersikap sangat egois dengan melukai, Rey, Daniel, keluargaku dan keluarga Rey.

"Kejora!" terdengar suara Rey yang memanggil-manggil namaku. Mendengar panggilan itu aku dan mama cepat-cepat menyeka airmata kami.

"Kejora!" panggilnya lagi.

"Di dapur Rey!" teriak mama, saat melihatku hanya terpaku dan tak sanggup mengeluarkan suara.

Suara langkah terburu-buru menghampiri kami, aku mengangkat kepala dan langsung bertemu dengan matanya. Rey tersenyum lega, dia menghampiriku dan berkata, "Aku pikir kamu pergi lagi." Ucapnya lirih.

Bukannya menjawab, aku justu hanya diam dengan terus menatapnya. Rey mengulurkan tangannya, lalu menyentuh pipiku lembut. "Kamu menangis?"

Aku menggeleng pelan, kemudian perlahan berbalik dan membantu mama yang sudah bersiap-siap untuk membuat sarapan. Rey seperti biasa, tidak akan pernah puas jika rasa penasarannya belum terjawab, jadi dia mengikutiku, mencengkal lenganku dan memaksaku agar berbalik menghadapnya. "Kenapa menangis?"

Lelaki ini, aku telah sangat menyakitinya. Aku meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apapun. Keegoisanku membuatnya terluka.

"Jora menangis karena tadi mama cerita tentang Bapak dan Ibunya. Mama ngasih tahu kalau mereka masih sering menelpon mama dan datang ke sini kalau pas lagi di Jakarta."

Aku menoleh, menatap mama penuh tanya. Penasaran dengan jawaban yang mama berikan pada Bapak dan Ibu tentang keberadaanku.

"Kami bilang pada mereka kalau kamu tinggal bersama Rey di London." Ujarnya menjawab rasa penasaranku.

Aku mengangguk berterima kasih, tidak menyangka keluarga Rey akan melakukan itu. Harusnya mereka marah atas apa yang telah aku lakukan pada Rey,tapi bukannya marah mereka justru membantuku menutupi apa yang terjadi.

"Sebentar lagi kamu bisa ketemu mereka." Ucap Rey.

"Keretanya jam berapa?" tanyaku.

"Jam delapan."

"Kita harus cepat siap-siap Rey, kalau nggak bisa ketinggalan kereta. Mama bangunin papa sama opa kamu dulu. Anak-anak belum bangun juga."

"Aku aja yang bangunin anak-anak, Ma."

ReconciliationWhere stories live. Discover now