81: Cookie Clairvoyance

Start from the beginning
                                    

"Bos! Bos! Ada hiu di belakang menara itu! ... I-itu dia!"

"Hiu? Mana bisa ada hiu di sini?"

—mampuslah kita.

***

Ruangan itu gelap. Dengan segala debu yang menempel di furniturnya—melapisi setiap buku dan perkamen seperti selaput tipis kulit—aneh melihat satu-satunya makhluk di ruangan tersebut tidak merasa terganggu, tetapi memang begitulah dia. Seorang pria berambut kelabu pucat terdiam di tengah-tengah lantai. Kaki-kakinya yang telanjang mencecap lantai dingin, kotor dan basah.

Pria itu menghembuskan napas perlahan. Tidak ada udara yang keluar.

Tatapannya mengarah ke atas—ke arah gantungan lampu yang telah lama tidak dinyalakan—berpikir-pikir apa hari ini ia harus menyalakannya juga, meskipun api hitam mungkin tidak akan menerangi ruangan ini sebaik api kuning. Tidak usah. Tempat ini punya listrik. Listrik yang terlalu remeh dan lemah, mungkin, tetapi lebih baik daripada api yang menyusahkan.

Dia akan datang hari ini. Harus bersiap-siap.

Dengan mantap, digerakkannya kaki ke arah salah satu rak buku; suara decap-decap basah timbul dari telapak kakinya begitu ia berjalan. Dibaliknya rak tersebut. Sekotak akuarium kaca pun terlihat, diisi cairan penuh energi elemen, menampung sosok tak bernyawa—belum lagi bernyawa—di dalamnya.

Ia berpindah ke rak buku lain, menganalisis satu demi satu spesimen di setiap kotak kaca. Akuarium kelima masih kosong. Pria itu terdiam sejenak, memandangi air kehijauan tersebut, berpikir.

"Apa gunanya ini?"

Dia pengendali pengganti yang paling sempurna. Denki sendiri berkata demikian. Namun ada saat-saat di mana Maero tertegun, menyadari jalan pikirannya sendiri yang tidak lengkap—seolah ia hanya benda yang diberi kuasa laksana sang Pengendali Tunggal. Tidak berguna setelah Denki "selesai" dengannya. Tidak ada artinya.

"Lois, coba jelaskan," Maero bersuara. Diketuk-ketuknya kaca akuarium yang kosong. "Betapa lucunya kita—bertarung melawan refleksi kita sendiri? Dasar bodoh. Hah."

Namun, pikiran itu tidak pernah berlangsung lama. Toh ia punya tujuan yang lebih penting dibanding sekadar bertanya, bertanya, dan bertanya. Lakukan saja tugasmu dan diamlah, ia terus mengingatkan diri sendiri.Sang Raja tidak suka anak yang membangkang. Idiot.

Maero tersentak. Pintu depan kastil terbuka.

Ayahnya sudah tiba. Bersamaan dengan kedatangannya, ia merasakan energi sihir baru di udara—selain listrik dan keseimbangan miliknya—ilusi, api, angin, kehidupan. "Teman-teman"-nya sudah datang. Ia harus segera menyambutnya.

***

"Siapa sih itu?" tanya Higina dengan napas tersengal-sengal begitu Ayumi akhirnya menutup pintu, meskipun ia sebenarnya tahu siapa orang-orang di luar sana; pasukan patroli, apa lagi? Ia hanya gugup tidak keruan. "Pertama senjata, kemudian jadi buronan mendadak, dan sekarang ini."

Tidak ada yang membalas. Pagi ini sudah cukup membingungkan bagi mereka.

Takumi refleks menarik sebuah sofa dari sudut ruangan, mengganjalkannya ke pintu, membuat barikade bagi siapa pun yang hendak mendobrak dari luar. Rira dan Genma membantu. Beberapa menit kemudian, satu set sofa yang tadinya menghiasi ruang tamu kini bertumpukan tidak keruan di dekat pintu. Lebih baik jaga-jaga daripada menyesal.

Tempat ini amat senyap kecuali untuk suara deburan laut yang kadang terdengar. Ruangan lingkaran dengan tangga melingkar di tengah-tengahnya—marmer lantainya berwarna hitam-putih seperti papan catur, dan dindingnya dihiasi pola abstrak ungu dan emas. Hamparan karpet putih menutupi lantai di beberapa tempat. Bagian sisi kiri ruangan dikhususkan untuk menerima tamu, sementara bagian kanan menyimpan patung-patung rusak dan sebuah pintu ganda yang kelihatannya mengarah ke dapur. Ayumi segera berbelok ke kanan.

ElementbenderWhere stories live. Discover now