46: First Spark of Hatred

Mulai dari awal
                                    

Sepeninggal Sakura dan Genma (dan Paschalis), kelima orang yang tersisa tersebut hanya diam. Mereka berdiri di depan Vai Lown, sebidang tanah pekuburan. Sebuah pohon besar terpancang di depan tanah itu dan menutupi sebagian besar pemandangan pekuburan. Pohon itu gemuk dan rimbun, mirip pohon yang ditinggali Maurice dan cucu-cucunya. Pintunya hanya berupa ukiran di dinding kayunya yang cokelat tua, dan tanpa atap maupun jendela. Terdapat papan nama bertuliskan ‘VAI LOWN’ terpaku di atas pintu. Di belakang pohon, terbentang pekuburan para elf. Nisan-nisan batu sejauh mata memandang. Takumi merinding.

“Maaf,” katanya tiba-tiba. “Tapi... maaf—apa pengendali elemen bisa meninggal?”

Semua yang ada di sekitarnya—Ayumi, Higina, Tabitha, Rira—mengerutkan alis mendengar pertanyaannya, tetapi hanya satu yang menjawab. “Tentu saja,” jawab Higina. “Kita jauh lebih mudah mati daripada Anda, malah. Anda, Pangeran Takumi, pernah terpeleset dari kuda sewaktu umur 83 tahun kurang 5 bulan 3 hari dan hanya mengalami patah tulang dan infeksi parah; semua dokter dan ahli medis sudah angkat tangan menangani Anda. Mereka berencana memotong kaki kiri Anda. Ajaibnya, patah tulang dan infeksi itu sembuh sehari kemudian,” jelasnya panjang lebar.

Takumi menelan ludah. Wow. Mereka tahu segalanya tentang masa laluku, dan aku tidak.

“Tapi kalau kalian bisa meninggal,” sela Takumi, membawa mereka ke awal pembicaraan. Ia akan meneruskannya dengan “apa gunanya kalian mengendalikan elemen?” tetapi diurungkannya. “Di mana kal—di mana kuburan para pengendali elemen?” tanyanya akhirnya.

Tidak ada yang menjawab lagi. Keempat pengendali elemen tersebut menatap lurus ke depan, setengah menerawang, dan Takumi menemukannya di mata mereka. Tatapan dingin dan mati rasa. Seolah-olah mereka sudah mati dalam waktu yang lama. Tatapan asli para pengendali elemen.

“Bukan dikubur. Kami tidak membusuk,” jawab Rira pelan. “Keturunan pengendali elemen atau makhluk biasa sekalipun harus dikubur sesaat setelah kematiannya, tapi kami tidak. Hanya memejamkan mata dan tidak bernapas lagi, itu saja.”

Takumi tersentak, menggigil. Ia memutuskan untuk diam saja sekarang. Sudah cukup. Ditatapnya gerbang mungil itu di kejauhan, gerbang yang tepat berada di ujung jalan lurus itu. Ia sadar bahwa gerbang itu jauh lebih besar dari yang dilihatnya—gerbang itu tidak mungil sama sekali. Sama seperti masalah-masalah yang akan menghampirinya.

***

Kunjungan Genma dan Sakura ke Vai Lown terasa lebih lama dari yang seharusnya. Takumi mulai menebak-nebak. Mungkin mereka harus menghadiri proses pemakaman pria itu dari awal sampai akhir, demi kesopanan dan penghormatan. Mungkin seseorang yang tinggal di dalam pohon itu—siapapun dia—menanyai Genma dan Sakura macam-macam karena tiba-tiba muncul sambil membawa jasad tak bernyawa. Takumi mengerutkan kening. Bahkan, siapa pria itu dan bagaimana caranya mati pun tidak diketahuinya. Sakura memanggilnya Paschalis, jadi itu pasti namanya. Bagaimana cara Paschalis meninggal, di dalam koridor sempit itu? Ia melihat Sakura ada di koridor itu juga, dengan darah dan cairan hitam mengotori terusan hijaunya. Jangan-jangan....

“Kita punya dua tujuan sekarang,” perkataan datar Higina mengagetkannya. “Pyrrestia atau Lunaver. Dua-duanya bisa membawa kita ke Efthralier.”

Takumi tercenung. “Luna apa?”

Lunaver,” jelas Higina tak sabaran. Gadis itu memeluk perutnya sendiri sambil berputar-putar gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka, sesekali menengok ke arah perumahan yang sepi. Perumahan itu lurus, simetris, dan teratur, tetapi juga sepi dan sunyi. “Lihat warna biru di ujung sana, Yang Mulia? Itu laut. Pyrrestia terletak bersebelahan dengan laut, di atas tebing yang tinggi.”

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang