Pilihan Terakhir

830 36 2
                                    

Sudah seharian ini Mika tak ada kabar semenjak kejadian dua hari yang lalu. Butuh waktu yang lama untuk Rusyana menetralkan perasaannya. Kemarin Mika datang kerumahnya tapi topik kali ini berbeda dengan topik dulu waktu mereka masih membicarakan pelajaran, sekarang tak henti-hentinya Mika menceritakan perkembangan yang ia alami dengan Indie, walaupun bagi Rusy itu sama sekali bukan berita bahagia namun ia bisa apa? mengatakan sejujurnya kepada Mika jika dia menyukainya terlebih dahulu? Konyol. Itu malah membuatnya tampak bodoh dihadapan Mika.

"Rusy, kamu tak seharusnya bersikap begini. Rasa sakitmu itu akan terus dalam jika kamu sendiri tak mengatakan yang sesungguhnya." kata Lita kakak Rusyana.

"Untuk itu aku menyetujui surat beasiswa itu dengan beasiswa itu aku dapat keluar dari kota ini, aku tak mau disini, aku tak mau mengingat Mika kak."

"Dengan meninggalkan segalanya? Kau tak kan bisa kuat jika perasaan itu selalu menggrogotimu, menuntutmu akan semua kesalahan yang kamu perbuat dengan meninggalkan semua ini tanpa mencoba menyelesaikannya." suara Lita mulai memenuhi ruangan kamar Rusy.

"Aku harus bagaimana kak? Mengatakan sejujurnya meski kutau jawaban yang akan keluar dari mulut Mika? Aku gak sanggup kak, aku...." ucapan Rusy terhenti saat jari telunjuk Lita ditempelkan ke bibir Rusy.

"Cobalah mengikhlaskannya, dengan begitu kakak yakin kamu bisa melewatinya. Dan kakak tau kamu sangat menyayanginya, sekarang kakak mohon dengan rasa sayangmu itu relakanlah dia pergi." pernyataan Lita sangat benar dan begitu membuat Rusy tak bisa berbicara apa-apa yang dipikirannya sekarang adalah dia harus merelakan Mika untuk kebahagiaannya.

Drrrtttt......ddrrrrrrtttt....

Tiba-tiba suara ponsel Rusy bergetar, dengan sangat lemas ia mengambilnya memencet tombol hijau lalu menempelkan ditelinganya. Disaat ia mengetahui siapa yang ada diujung telpon, senyumnya merekah. Seketika kakaknya mengetahui siapa yang dimaksud adiknya.

"Apa? Kamu udah ada di depan rumahku?" ucap Rusy sambil melompat dari tempat tidurnya.

"Oke, aku kebawah" sambungnya.

Dengan segera ia sedikit berlari menuju pintu, disaat ia memutar hendle pintu Rusy menoleh ke kakaknya. "Semua akan baik-baik saja kak, percayalah."

Rusyana bergegas membukakan pintu, begitu melihat sesosok tubuh yang atletis dengan rambut sedikit acak-acakan namun memberikan keunikan tersendiri ia lalu tersenyum seakan lupa dengan kesakitannya tadi.

"Hey, ayo kita pergi ke pameran, hari inikan hari dimana pameran dilaksanakan." ajak Mika.

Rusy tersenyum pahit. "Maaf Mik, aku tak bisa, satu jam lagi aku harus menghadiri acara wawancara di Unniversitas Seni Rupa."

"Jadi, kau menyetujuinnya?" tiba-tiba Mika merasa sedih.

Rusy hanya mengangguk. "Kau bilang ini kesempatanku untuk mengubah masa depan kan? Aku akan mencobanya."

Sungguh, jika Mika dapat menarik perkataannya dulu dia tak akan mengatakan hal tersebut. Entah mengapa ia sangat takut kehilangan Rusy.

"Maaf." ulang Rusy lagi. "Aku harus bersiap sekarang Mik."

Setelah kalimat itu meluncur dari mulut Rusy seketika ia menutup pintu dengan perlahan. Seketika itu juga Rusy perlahan duduk di lantai dengan posisi memeluk lututnya, isak tangis kemudian terdengar. Kakaknya yang sedari tadi di belakangnya kemudian memeluknya.

"Kau sudah melakukan hal yang semestinya Rusy."

Seakan tak mendengar apapun Rusy tetap saja menangis dipelukan kakaknya.

Menahan Diri (Short Story)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα