1

189 10 12
                                    

Satu sore di bulan Maret. Sore itu jalanan London tidak terlalu padat seperti pada hari-hari sebelumnya. Entah mengapa alasannya, yang pasti hari itu tetap sibuk bagi para penduduk kota besar tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Tia.

Kala itu, ia sedang dalam perjalanan pulang ke flatnya. Flat yang kini hanya ditempati oleh dirinya sendiri. Biasanya Gi, kakaknya, hanya datang sesekali untuk mengunjunginya. Alasannya sederhana, Gi sudah memiliki tempat tinggal baru bersama Harry. Beberapa bulan lalu saat Harry sedang tur, Gi masih tinggal bersama Tia. Ketika grup musik itu memutuskan untuk rehat atau hiatus, Gi pun pindah dan tinggal dengan Harry.

Tia sekarang sudah biasa hidup sendiri. Berbulan-bulan tanpa Gi membuatnya memaksakan diri untuk hidup mandiri. Ia tidak bisa bergantung pada kakaknya terus menerus, walaupun sebenarnya Gi tidak keberatan sama sekali. Tapi sesekali Gi menggodanya untuk mencari pasangan untuk menggantikan Gi kalau-kalau Gi tidak bisa membantunya.

Tia tidak pernah menanggapi usul Gi dengan serius. Berulang kali kakaknya itu berusaha mendekatkannya pada Niall, teman satu grup Harry, tapi Tia hanya mendengarkan dan mengiyakan agar kakaknya berhenti bicara. Sudah lama gadis itu tidak bertemu dengan Niall dan ia tampak tidak ada masalah dengan hal tersebut.

Setelah Gi dan Harry bertunangan dan Harry harus pergi tur, Tia sudah jarang menghabiskan waktunya dengan Niall. Niall juga harus pergi tur berbulan-bulan, sama seperti Harry. Awalnya, Tia kesal tapi ia tidak punya alasan kuat untuk kesal. Tia bukan siapa-siapa, Tia hanya salah satu teman Niall. Dan sejak tur dimulai, Niall sangat jarang memberinya kabar. Perlahan-lahan Tia terbiasa dengan rasa kesalnya. Tapi setiap memikirkan Niall, dengan cepat kekesalannya datang.

Harusnya Tia sudah berada di flatnya sejak sepuluh menit yang lalu, tapi karena latihannya selesai lebih lama dari yang ia perkirakan, ia masih harus duduk di dalam tube. Kereta bawah tanah itu memang cepat, tapi Tia sudah tidak sabar untuk menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Gadis berambut gelap itu cukup lelah dengan jadwalnya akhir-akhir ini.

Beberapa menit setelah Tia menggerutu dalam hati, keretanya berhenti. Tia menengok ke jendela dan ia menghembuskan napas lega. Keretanya berhenti di tempat tujuannya dan ia segera turun. Suara gemuruh terdengar tepat saat Tia menginjakkan kakinya di stasiun itu. Kedengarannya di luar sedang hujan sehingga ia berjalan dengan cepat ke arah tangga untuk mencari tahu.

Benar saja, tangga yang paling atas sudah basah. Tia menggerutu lagi, merutuki nasibnya hari ini. Sudah terkena omelan dari pelatihnya, ia harus basah-basahan untuk sampai ke rumah. Kemudian gadis itu mencari payung lipatnya di dalam tas dengan tergesa-gesa.

"Sial." kata Tia kesal. Hari ini ia tidak membawa payung sama sekali, ia meninggalkan payungnya di flatnya. Ia baru ingat kalau kemarin ia memakainya saat ingin pergi mencari makan.

Tia pun bingung. Haruskah ia menerjang hujan dan pulang dengan keadaan basah kuyup atau menunggu hujan yang kelihatannya akan berhenti beberapa jam lagi dan menunda rencana tidurnya jadi lebih lama lagi? Sambil berpikir, matanya menerawang jauh ke jalanan yang basah dan sepi. Hanya segelintir orang yang memutuskan untuk melawan derasnya hujan saat itu, tentunya dengan payung. Satu hal yang benar-benar dibutuhkan Tia sekarang.

"Kau butuh payung?"

Suara itu familiar dan itu membuat Tia reflek menoleh ke si pemilik suara.

"Niall?"

Niall berdiri di samping Tia, tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya yang memegang sebuah payung. "Kau butuh payung atau tidak?"

Tia masih syok. Tidak menyangka ia akan bertemu dengan pria itu. Di waktu seperti ini dan di sebuah stasiun kereta bawah tanah. Pria itu terlihat sedikit berbeda dengan topi macam detektif yang ia kenakan, sisanya ia sama seperti Niall yang terakhir kali dilihat Tia.

stardust (n.h)Where stories live. Discover now