Rencana

18.1K 1.1K 14
                                    

"Hei, what's up, Girl?"

Deni kebingungan melihat Maia sesenggukan. Dia menepuk-nepuk bahu gadis itu, menghiburnya dengan rasa canggung. Maklumlah, kedekatan mereka belum sampai taraf saling menghibur satu sama lain. Ini adalah penghiburan perdana Deni pada Maia.

Sayangnya, usahanya yang tulus itu gagal total. Bukannya berhenti menangis, Maia justru tambah sesenggukan. Isakannya mulai mengencang membuat Deni panik. Kepalanya tolah-toleh, cemas jika petugas perpustakaan akan datang dan mengusir mereka keluar.

Deni tak mau diusir-usir tak hormat dari perpustakaan. Pasalnya hanya perpustakaanlah tempat paling nyaman sesekolahan untuk bolos sambil menyicil tidur siang. Deni tak mau kehilangan tempat favoritnya karena diusir dari perpustakaan, hanya karena tepergok sedang bersama seorang gadis yang sedang menangis histeris.

"Ssst... Maia, jangan nangis, dong? Wajah elo kalo mewek jelek, tahu," Deni membujuk.

"Dari.. hiks.. dulu.. juga.. hiks... gue.. udah.. hiks.. jelek," Maia sesenggukan.

Deni menepuk dahi pelan. Salah bujuk, deh, dia. Lagi ditepuknya bahu gadis di depannya.

"Ya tapi jangan nangis kejer gini, dong? Entar kita diusir dari perpus karena udah bikin ribut."

Tangis Maia perlahan-lahan reda. Tinggal tersisa sedikit isak yang masih terdengar.

"Pinjem sapu tangan elo, dong?" Maia mengulurkan tangan.

"Buat apa? Gue nggak punya sapu tangan."

"Idih, elo nggak romantis banget, sih, Den? Di novel yang gue baca, tiap cowok pasti punya sapu tangan."

"Haloooo.... Maia, gak usah baper, deh. Itu novel kali, bukan dunia nyata," Deni menoyor kepala Maia.

"Aduh, elo apaan, sih? Main toyor seenaknya? Kalo gue goblok gara-gara toyoran elo gimana?"

"Gak perlu mengkambing-hitamkan toyoran gue. Elo udah goblok dari orok, Mai!" Deni terkikik geli.

"Sialan, lo!"

"Buat apaan sapu tangan, sih? Di tas elo emang gak ada tisu?"

"Gak ada, tisu gue habis. Gue butuh sapu tangan elo buat ngelap ingus gue."

"Ya ampun, Mai, jorok lo!" Deni bergidik jijik.

Maia diam tak menanggapi komentar Deni. Tak ada tisu, tak ada sapu tangan, lengan baju pun jadi. Maia mengusap hidungnya dengan lengan seragam yang sukses membuat Deni melotot jijik.

"Maiiiii... ya ampun, elo, tuh, joroknya parah!" Deni jijik.

"Jangan bawel, deh. Daripada gue ngusap pake baju elo!" Maia judes.

"Hiiiii..." Deni langsung menyilangkan tangan di depan dada, melindungi seragamnya yang putih bersih dari ancaman penodaan ingus Maia.

"Elo ngapan tadi nangis, sih?" Deni mulai kepo.

Dia belum pernah melihat Maia menangis. Yang dikenalnya dari gadis itu adalah Maia sosok yang tangguh dan kuat. Jika dia sampai menangis, pasti ada sesuatu maha dahsyat yang membuat hatinya sedih. Apa orang tuanya meninggal?

Deni memucat. Itu pasti tidak mungkin. Tempo hari dia masih melihat orang tua Maia dalam keadaan segar bugar sehat walafiat. Jangankan sampai Maia, Deni saja sudah berkaca-kaca membayangkan tak bisa bertemu dengan orang tua Maia lagi jika kedua orang tua yang asyik dan gaul itu meninggal.

A Glowing Starlight (Glowing Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang