"Kejora?"

"Aku ingin sendiri."

Sentuhannya merenggang. "Nanti biar aku saja yang jemput anak-anak." Aku hanya menjawabnya dengan gumaman. "Aku lapar." Lanjutnya. "Tadi pagi aku cuma makan sedikit."

Akhirnya airmata yang sejak tadi aku tahan tumpah. Dibalik kesedihan, kebimbangan, dan kemarahanku berdiri Rey yang mengeluh kelaparan.

"Beneran lapar." Ulangnya menyakinkanku.

Saat aku mendongak menatapnya, wajahnya memang sudah pucat.

"Tunggu sebentar, aku ambilkan makanan." Balasku serak.

"Kejora..." Dia kembali menahanku, memaksaku berbalik menghadapnya. Tangannya menyentuh daguku, mendongakkannya agar mata kami bertemu. "Aku tahu ini situasi yang buruk, aku menempatkanmu pada situasi yang membuatmu harus terus-terusan menangis." Rey mengusap airmataku perlahan. "Tapi, kamu tidak punya pilihan, Daniel bukanlah pilihan. Yang kamu harus lakukan hanyalah kembali padaku, karena memang seharusnya begitu. Aku suamimu, mengerti?"

Rey menungguku memberikan jawaban, namun dengan keras kepala aku menutup mulut rapat-rapat.

Saat Rey menempelkan dahi kami, aku memejamkan mata.

"Kamu harus pulang, kamu tidak punya pilihan." Ucapnya perlahan. Hangat nafasnya mengenai wajahku, dia mengatakannya berkali-kali, seolah-olah ingin aku berpikir sama.

*****

Begitu selesai mengambilkan makanan untuk Rey, aku mengurung diri di ruang kerjaku. Rey memintaku menemaninya makan, yang dengan cepat langsung aku tolak.

Aku ingin sendiri.

Walau sudah memutuskan memilih Rey, hatiku masih merasa berat. Keberadaan Daniel membuatku bimbang, terlebih karena keputusanku bukan hanya menyakitinya tapi juga menghancurkannya. Bertahun-tahun dia berharap padaku, bertahun-tahun dia mendampingiku. Waktu yang aku habiskan dengannya, lebih banyak daripada waktu yang aku habiskan dengan Rey. Selama bertahun-tahun Daniel telah menjadi sahabat yang baik, yang bisa mengerti dan memahamiku. Dia memberikan cintanya sepenuh hati, dia membuatku bahagia. Semua hal yang sulit aku dapatkan dari Rey.

Saat aku keluar dari ruang kerjaku, pandangan mataku berkeliling mencari keberadaannya. Namun, dia tak ada di manapun. Hanya ada beberapa pengunjung kafe yang sedang menikmati makanan dan minuman mereka.

"Tadi dia bilang mau jemput anak-anak." Santi salah satu karyawanku menjelaskan tanpa aku minta. Sekilas aku melihat tatapan jahil dari matanya.

"Apa?" tanyaku, saat bukannya pergi Santi malah menatapku penuh tanya.

"Dia papanya Si Kembar kan, Mba?"

"Hmm....." aku hanya menjawab dengan gumamam. Karyawanku yang satu ini lumayan cerewet. Aku yakin dia tidak akan pernah puas dengan jawabanku.

"Ya Allah Mba... ganteng banget,cool, udah gitu kesannya dia tuh misterius banget. Aku sampai bengong pas tadi diajakin ngomong. Mas Daniel aja kalah, padahal dia juga udah cakep. Kenalin dong Mba sama yang model begitu, biar bisa memperbaiki keturunan." Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan gumaman pendek dan inilah yang aku dapatkan. Ucapan panjang tanpa henti.

"Kamu udah kirim cake pesanan kemarin?" ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Udah mba, Dino lagi nganterin." saat aku mengira Santi akan diam, dia malah melanjutkan. "Mirip banget sama Si Kembar yah mba, aku jadi bisa bayangin kalau mereka gede bakalan kayak apa. Kalau gantengnya kayak papanya, aku siap nunggu mereka deh mba."

Aku memutar mata bosan, ternyata teknik mengalihkan pembicaraanku tidak berhasil.

"Mama!" Si Kembar berteriak dari luar dan melambaikan tangan mereka, aku balas melambai, lalu keluar menghampiri mereka.

ReconciliationWhere stories live. Discover now