Jodoh dari Abah 4

11.7K 332 13
                                    

Sudah lebih dari 1 bulan aku belajar menjadi istri yang baik bagi Anshar. Awalnya canggung dan serba kikuk tapi lama-lama terbiasa juga. Beberapa kali aku menyesali beberapa sesi kajian yang luput kuikuti. Kalau saja aku lebih serius mempersiapkan diri, tentunya akan mengurangi berbagai kekurangsempurnaan kan? Beruntungnya aku, Anshar ternyata benar-benar begitu telaten membimbingku. Dia punya prinsip bahwa setelah menjadi istrinya, maka sudah menjadi kewajibannya untuk membimbing danmengarahkan aku. Baik dan buruknya pertumbuhan dan perkembangan mentalku sebagai seorang istri menjadi perhatian serius baginya. Aku benar-benar  tersanjung dengan segala perhatiannya.

            Meski begitu, Anshar tetap saja bisa bertingkah lucu dan konyol, yang anehnya sekarang malah jadi terasa menggemaskan. Beberapa kali aku bahkan berani mencubit pipi atau hidungnya ketika Anshar bersikap begitu. Satu hal yang tidak mungkin kulakukan seandainya aku masih berpersepsi Anshar menyebalkan seperti ketika awal-awal kami bertemu dulu.

            Selama ini pula, Anshar masih saja sering (meski tidak selalu) mengajakku kemana-mana dan dengan bangga  memperkenalkanku sebagai istrinya. Termasuk berkunjung ke kantor ormas yang ternyata banyak didominasi bapak-bapak dan ibu yang jauh lebih senior.

            “Wah, beruntungnya kamu le..Istrimu imut begini. Masih muda ya umurnya?”celetuk seorang ibu seusia bunda sambil mrengkuh bahuku . Aku tersenyum malu-malu saat itu. Dalam hati mulai merasa bahwa sepertinya aku lebih  beruntung dibanding Anshar.

            “Nai, kamu mulai masuk kuliah kapan ya?”tanya Anshar tiba-tiba ketika aku masih terlarut dalam kenangan. Saat ini kami berkendara pulang dari menghadiri aqiqoh salah seorang kerabat Anshar.

            “Dua minggu lagi.”jawabku sambil menoleh ke arahnya. Wajahnya saat ini terlindung topi dan tertutup kaca mata hitam. Itu menjadi semacam atribut wajib saat kami berkendara di siang hari berdebu seperti saat ini. Maklum, si Ijo benar-benar tidak melindungi dari debu sama sekali.

            “Cepatnya..padahal aku masih seneng ngajak kamu ke mana-mana. Buat dipamerin..he..he..”candanya.

            “Emangnya pajangan buat dipamer-pamerkan.”sahutku cemberut. Amshar tertawa tapi tak berkomentar.

            “Mampir bentar ke Bulu ya. Ada berkas yang harus kuambil di sana. “ucapnya sambil menarik persneling dan membelokkan mobil kea rah jalan Suyudono. Ke rumah singgah pastinya.

            Kami masuk saat beberapa remaja nampak sedang serius mempelajari harmonisasi sebuah lagu di salah satu ruangan tak berpintu. Tiga orang di antaranya sudah pernah ketemu  sementara yang seorang lagi aku belum pernah lihat.  

            Wajahnya melankolis tapi terkesan cuek dan datar. Kulitnya nampak putih terawat. Rambutnya lumayan panjang ditata cantik serasi dengan wajahnya. Dagunya berlekuk kecil di sudut sebelah kiri. Secara keseluruhan wajahnya sangat menarik untuk dilihat. Dia nampak serius dengan gitarnya.   

Melihat keseriusan mereka aku jadi memutuskan untuk tidak menyapa mereka yang belum menyadari kedatangan kami. Aku duduk di luar dan menunggu ketika Anshar masuk ke dalam.

“Kau balik juga akhirnya..”samar-samar kudengar suara Anshar menyapa entah siapa. Aku berada di  sisi  berseberangan dengan tembok sehingga tidak tahu persis siapa yang sedang disapa Anshar.

“Iya lah mas. Kalah pamor aku ini. Wis, bukan rejekiku jadi artis. Jadikan aku istrimu aja po mas?”

Bagaikan tersengat lebah ketika suara itu terdengar jelas di telingaku. Aku benar-benar belum paham suara mereka satu per satu sehingga benar-benar tidak bisa mengidentifikasi siapa yang bersuara .

“Hus! Sembarangan kowe. Ndak ngerti kalo mas Anshar sudah nikah yo?”

            Itu suara lain yang menimpali.

“Lagian Dini. Dasar nggak tahu malu. Di mana-mana laki-laki tuh yang ngelamar bukannya perempuan yang minta. “ timpal suara yang lain lagi.

“Lho nikah? Kapan? Ndak ngabari aku to. Wo...jangan-jangan kutinggal 3 bulan di Jakarta 3 bulan membuatmu berpaling ke lain hati ya mas? Eh, lagian ni ya..agama aja ngebolehin lho suami menikahi lebih dari satu perempuan. Kenapa kalian mesti rebut sih…?”

Wo..lha dasar nekat.”timpal suara yang lain. 

Wis..wis, becandaan aja kalian ini. Din, kamu yang paling belum pernah ketemu istriku to. Ayo aku kenalin.”

Itu suara Anshar. Entah kenapa suara itu tak menimbulkan efek tenteram seperti biasanya.

“Wih..jadi di luar ada sitrimu mas? Wah..entek kowe  (habis kamu) Din!?” celetuk suara yang lain.

Aku buru-buru menyibukkan diri dengan pura-pura membuka majalah di pangkuanku.

“Nai…”suara panggilan Anshar membuatku mendongak. Wajah cantik yang tadi kulihat, nampak penasaran berdiri di belakang Anshar. Posturnya langsing tapi proporsional. Kaos putih “Hard Rock Café” terlihat masih baru dan jeans belel setengah paha. Ya Tuhan…ada juga juga anak jalanan yang seperti model majalah begini ya?

“Ini Dini. Yang kemarin ke Jakarta dan akhirnya tereleminasi.”ujar Anshar singkat. Aku sudah dengar ceritanya hanya saja tidak menyangka kalau yang namanya Andini ini memiliki kesempurnaan fisik seperti ini. Harusnya memang cocok jadi artis.

Wajahnya tersenyum saat ini dan mengulurkan tangan ke arahku. Melewati Anshar yang berdiri kokoh di samping pintu. “Andini..”ujarnya. 

Aku buru-buru mengulurkan tangan.

“Naila.”ucapku sambil berusaha tersenyum. Aku rasa aku mulai mengenali bahwa suara tadi adalah suara Andini. Suara yang empuk, wajar kalau jadi penyanyi.

Tiga kepala yang lain muncul di pintu. Meringis tak enak. Hampir sama ekspresi yang terlihat dari ketiga orang yang  pernah kutemui sebelumnya ini.

            “Sudah lama mbak?”sapanya sambil menyikut Dini yang berdiri terlalu dekat di sisi Anshar. Si tato Agra yang bertanya. Nania gadis manis dengan tato di pergelangan kaki  dan Yudi yang bertindik di hidung berdiri berjajar di belakang Agra.

            “Iya bareng Anshar tadi.”ujarku sambil tetap berusaha ramah. Nania dan Yudi saling melirik cepat.

            “Maaf mbak..itu..eh..kami biasa becandaan.”ujar Nania sambil kembali menyikut rusuk Dini. Yang bersangkutan sepertinya tetap cuek.

            Aku tersenyum. Entah kenapa atau hanya sekedar ilusiku sepertinya Nania mengucapkan,”Lu minta maaf dong!” tanpa suara ke arah Dini.

            “Apaan sih..”sahut Dini cuek dengan suara pelan tapi rasanya cukup bisa terdengar oleh kami semua. Aku rasa Dini ini satu atau dua tahun lebih tua dari aku namun penampilannya yang sangat tomboy  membuatnya jauh kelihatanlebih muda.  Aku menangkap kesan cuek yang luar biasa.

            “Udah selesai?”tanyaku pada Anshar kemudian ketika akhirnya kami semua terdiam beberapa saat.

            “Iya. Yuk, aku pamitan dulu ya.”sahut Anshar sambil berpamitan pada yang lain. Baru 2 langkah ketika terdengar suara.

            “Aku serius. Naila, bisa kan kalau kamu berbagi suami sama aku?, aku rela kok jadi yang kedua.”

Ha?

Apa?

TBC

JODOH DARI ABAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang