14. Iova dan Pantulannya

Comincia dall'inizio
                                    

Iova menarik napas sedalam mungkin dan mencoba menghembuskannya sekaligus. Ketika pandangannya telah normal lagi, sudut matanya menangkap Eunah yang sedang memeras jaket dengan tidak bertenaga dan Akai yang sedang memeriksa isi tas pinggangnya. Teringat dengan tas yang seharusnya ada di punggungnya, Iova mencoba duduk. Sayangnya, dia hampir tak punya tenaga untuk melakukannya. Seolah-olah di dalam kepalanya ada besi seberat satu ton.

Sayup-sayup, Iova menangkap perkataan Eunah. "Aku melihat mereka--sekilas." Gadis berambut pendek itu berucap seadanya. "Penghuni bumi kerdil."

"Monster-monster yang sangat menjijikkan," tambah Akai dengan raut yang dibuat-buat.

Eunah mengangguk menyetujui.

Iova mengerjap-ngerjap. Otaknya masih berusaha mencerna keanehan yang terjadi. Eunah dan Akai baru saja mendeklarasikan bahwa mereka dikejar oleh sekelompok Olahraga. Imajinasi Iova bermain: banyak Olahraga yang berlarian konyol sedangkan dia berteriak minta tolong sambil di depan. Itu pemandangan yang sangat menakutkan.

Lama sekali mereka bertiga berkutat dalam pikiran masing-masing. Iova yang jarang merasionalkan segala sesuatu pun turut hanyut.

Gadis itu tak habis pikir kalau penghuni bumi kecil mampu menciptakan gempa bumi. Mungkin saja mereka punya kekuatan sihir atau teknologi canggih. Robot raksasa misalnya, yang akan membuat Iova benar-benar iri jika itu memang nyata. Namun, Iova tahu kalau jalan menuju kediaman Tuan Wicked tidak cukup lebar untuk hal-hal besar. Kalaupun penghuni bumi kerdil datang bergerombol, langkah mereka tidak akan menimbulkan getaran sedahsyat itu.

Iova menutup wajahnya. Kepalanya bertambah sakit. Padahal dia baru sekali ini membolos sekolah, tetapi masalah yang ditimbulkan bahkan lebih rumit dari segudang tugas. Apakah ini ganjaran karena ia tidak bersikap sebagai pahlawan? Padahal, Iova hanya mencoba waspada agar teman barunya tidak kecipratan ide-ide jahat Akai.

Selain itu, kenapa para penghuni bumi tidak turut melompat ke bawah untuk menangkap mereka? Iova yakin alasannya bukan karena mereka tidak tahu berenang.

"Oh, yeah. Di sini banyak air, Non."

Iova terkejut mendengar suara itu. Tanpa sadar, dia sudah terduduk sambil berseru, "Siapa di sana?!"

Namun, tak ada jawaban.

Baiklah. Bukan hal aneh lagi kalau Iova gila karena situasi genting ini. Seumur hidup menjadi pahlawan, Iova tak pernah dipermainkan seperti ini. Dia berdiri, menoleh ke kanan kiri untuk mencari wujud yang berbicara. Sayang yang ia dapat hanya Akai dan Eunah yang memandanginya skeptis.

"Pahlawan kita sehat-sehat saja, 'kan?"

Mungkin maksud Akai bertanya baik-baik, tetapi bagi Iova cowok itu berbicara sarkastis. Mata violetnya menatap Akai tajam. "Aku tak perlu belas kasih darimu," katanya ketus.

"Apaan, sih? Aku hanya mencoba bersikap peduli."

Eunah terbatuk sengaja. "Sudahlah kalian berdua!" serunya. "Kita punya masalah yang lebih serius di sini."

"Katakan itu pada cewek tidak ramah ini," cibir Akai.

Iova memutar mata tidak peduli.

Dia bersikap begini pada Akai pun bukannya tanpa alasan. Iova memang sensitif bila menyangkut soal keluarga. Gadis itu memang cukup sulit memaafkan. Apalagi yang melakukan ini adalah salah satu penjahat utama kota. Iova heran pada polisi yang meloloskan Akai begitu saja. Kenapa pula kemarin ia berniat untuk menyelamatkan dia dari penalti publik?

Itu karena figure action-ku berkata demikian, kan? Iova bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Gadis itu menghentakkan kaki sebagai ekspresi kekesalan. Dia menyesali perbuatan tidak bergunanya kemarin.

Sudut mata Iova menangkap tas sekolahnya yang mengapung-apung di atas danau. Langkahnya gontai menuju air. Iova mengamati pantulan bayangannya sebelum masuk ke air. Kulitnya berwarna hijau seperti warna dinding-dinding yang bercahaya di sekitarnya. Setelah itu, dia menengadahkan kepala, mengamati lubang berdiameter dua meter pada langit-langit gua.

"Cara jatuh Nona tadi keren banget!"

Suara itu terdengar lagi. Iova terentak kaget. Dia melompat satu langkah ke belakang. Kepalanya menoleh-noleh. Namun, lagi-lagi, selain Akai dan Eunah yang bercakap-cakap di belakangnya, tak ada siapa-siapa lagi. Akai dan Eunah juga tidak mungkin mengerjai dia dengan berbicara seperti itu--apalagi sampai memanggilnya dengan sebutan nona.

"Di bawah sini, Non."

Tak perlu pikir panjang bagi Iova untuk kembali ke tepi air dan menundukkan kepala. Bulu kuduknya merinding saat melihat pantulannya tersenyum pada dirinya. Bedanya, pantulan ini mempunyai mata putih polos. Iova melihat dirinya buta.

"Halo, Non," sapa pantulannya. Tangan kirinya melambai.

Mata Iova membulat. "Apa-apaan?" bisiknya tak percaya. Dia menoleh ke belakang, ke arah Eunah dan Akai yang tengah mengobrol. Namun, sepertinya mereka tidak memberi respons terhadap suara pantulannya ini.

Bayangan Iova memutar mata. "Mereka tidak bisa mendengar gue, Non." Pantulan itu melipat tangan di depan dada.

"Gue?"

"Nona hidup di abad berapa, deh? Itu bahasa gaul, men!"

"846 tahun setelah Kota Bawah Tanah terbentuk?" Iova menjawab ragu. Dia menambahkan senyum paksa di akhir kalimatnya.

Kini, giliran pantulan Iova yang terlihat bingung. Menggelengkan kepala dua kali, dia berkata, "Panggil gue Naga. Dan gue ini cowok. Masalahnya, Nona ini cewek. Jadi, wujud gue sementara ini juga jadi ikutan cewek."

"Hah?"

"Nona telmi banget, deh."

"Telmi itu apa?"

Untuk kesekian kalinya, bayangan Iova, Naga, terlihat amat bosan. "Gak penting," ujarnya.

Iova menepuk dahinya sendiri. Dia tidak pernah merasa sekonyol ini sampai-sampai dibodohi oleh bayangannya sendiri.

"Sudahlah, Non!" seru Naga. "Nona ingin tas itu, 'kan? Biar gue ambilin."

Air tempat bayangan Iova--atau Naga--ada tadi mulai beriak. Gerakannya yang lurus seperti ular menuju tas Iova di tengah danau. Tas itu pun meluncur pelan, mengikuti riak air ke arah Iova. Ketika ujung sepatu basah Iova menyentuh tas, pantulannya telah kembali pada tempatnya. Naga sudah selesai dengan pekerjaannya.

Masih diliputi ketidakpahaman, Iova mengucapkan terima kasih dengan malu-malu.

"Tentu, Non," kata Naga sambil berkacak pinggang. "Kayaknya teman-teman Nona nemuin sesuatu, deh." Naga mengedikan kepala. "Kita harus ngobrol lagi lain kali, oke?" Dia menunjukkan jempolnya.

Iova mengangguk dan riak air muncul lagi. Sedetik kemudian, pantulan Iova telah memiliki mata yang biasa. Dia melakukan tes dengan mengedipkan satu matanya, dan bayangan itu melakukan hal yang serupa. Gadis itu juga memainkan kedua kuncir rambutnya yang basah, dan tentu saja bayangannya juga berbuat hal yang sama. Spontan, Iova menghela napas lega. Dia mengambil tas punggungnya dari air dan mulai mengenakannya.

Yang tadi itu ... apa aku baru saja menggunakan kekuatan super dengan berbicara pada air? Iova terkekeh. Dia mengepalkan tangannya bahagia. Tunggu sampai kuceritakan pada Bibi.

"Iova! Kau harus melihat ini." Eunah berseru dari balik batu besar.

Dengan sigap, gadis berambut hitam itu memutar tubuh. Dia melangkah penuh semangat layaknya orang yang baru selesai sarapan. Setiap langkahnya membentuk jejak kaki. Air menetes dari hampir semua pakaian yang ia kenakan.

Setibanya di sebelah Eunah, mulut Iova menganga lebar-lebar. Setelah kejadian demi kejadian hari ini, pandangannya tak bisa berhenti melihat hal mustahil. Dia bahkan masih sempat mengucek-ucek matanya untuk memastikan.

Karena di depan sana bertumpuk berton-ton benda berharga. []

Another Way to Destroy The WorldDove le storie prendono vita. Scoprilo ora