Tangisan Aila

122 8 0
                                    

Cangkir kopi kedua. Uap putih masih mengepul, pertanda bahwa ia masih panas. Pramusaji menawariku beberapa camilan, membuatku tersentak dan kembali pada daratan kenyataan. "Nggak, nanti aja dulu, Mas" jawabku dengan senyum mencapai mata.

Aku kembali menatap keluar jendela. Menatap satu titik di luar sana. Dan pikiranku mulai menyelam kembali antara imaji dan nyata.

***

"Kamu sudah serius dengan Tara?"

"Aila belum tahu, pak."

Mendengar jawabanku yang selalu sama, beliau hanya bisa mengehela napas berat. "Ya sudah. Ingat selalu pesan bapak-" pacaran jangan dibuat main-main, ingat umur. Ingat batas juga. Jangan keseringan pulang larut, malu sama tetangga. Amanat Bapak sudah terpatri dalam ingatanku. Ya, ritme berulang setiap kali Bapak berkunjung; Bapak menginap semalam-duamalam, menanyakan ini itu, sesekali menegur Kiyan, dan memberi wejangan yang sama setiap akan pamit. "Bapak titip Kiyan."
.
.
.
"Bapak udah pulang, mbak?" Kiyan berdiri diambang tangga, meneliti keadaan sekitar.

"Mau sampai kapan kamu kucing-kucingan sama Bapak?"

"Mbak..." dari gelagatnya, aku tahu apa yang akan ia bicarakan. "Jangan ngehindar terus, dengerin Kiyan dulu."

"Kamu nggak usah ganti topik pembicaraan ya."

Kiyan terdiam. Begitu pula aku. Aku bukan seorang hipokrit. Omongan Kiyan minggu lalu telah sukses meracuni pikiranku, merusak tiap sel hingga-cukup. Sepertinya aku butuh kopi.

Aku beranjak menuju dapur dan segera menyeduh kopi. Secangkir kopi pekat tanpa gula bisa membantuku berpikir jernih hari ini. "Kapan sih mbak percaya sama aku?" Ck, bocah ini masih berusaha rupanya.

"Mbak sudah tanya mas Tara kemarin lusa." Aku menyesap kopiku pelan. Pahitnya pas.

"Terus?"

"Mas Tara bilang, bukan dia."

"Ya iyalah! Mana ada mbak maling ngaku!"

Ingin rasanya aku mengguyur adik laki-lakiku ini dengan kopi. Tapi yang ku lakukan malah tersenyum dan mengacak-acak rambutnya. Entahlah, seburuk apapun kelakuan Kiyan, sebanyak apapun kebohongan yang ia lontarkan, aku tidak bisa marah padanya. Seperti mendiang Ibu. "Udah belajar sana! Pelajar itu tugasnya belajar, bukan mencampuri urusan orang gede, ya."

"Lhah Kiyan mah udah belajar."

Aku mengerutkan dahiku. "Kapan?"

"Kemarin di sekolah dan kemarin malam di tempat kursus." Aku menghela napas hiperbolis dan pecahlah tawa Kiyan. Kali ini, aku benar-benar menjitak kepalanya.

***

Hujan deras tiba-tiba mengguyur, mengaburkan pandanganku pada jalanan seberang. Aku teringat kembali pada pembicaraan ku dan Kiyan dua tahun lalu. Saat hujan deras...

"Mbak... menurut mbak, Ibu meninggal karena apa?"

"Kita telat sadar kalau Ibu sakit hingga telat ditangani, kan."

"Kalau ternyata Ibu sudah tau kalau beliau sakit, gimana?"

Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh pada Kiyan. "Ini nggak lucu kalau tujuan kamu cuma mau bohongin mbak," jawabku dengan menatapnya tajam. Kiyan dan segala tipu muslihatnya lama-lama membuatku muak.

"Kalau ternyata ibu pilih nggak berjuang melawan penyakitnya gimana?"

Aku berbalik untuk melihat mata Kiyan. Mata yang sama seperti milikku-dan Ibu. Namun yang ku temukan hanya tatapan tenang. Tak ada riak, tak ada gejolak. "Nih, buat mbak." Kiyan mengangsurkan buku bersampul coklat. "Kiyan balik ke kamar dulu."

Aku membuka lembar pertama. Sederet tulisan tangan ibu.

Buku harian Ibu.

Semua ini butuh penjelasan. Aku segera menyusul Kiyan, mengabaikan stiletto merahku dan converse Kiyan yang belum sempat ku tata pada rak.

***
Terkadang kita tidak bisa memahami pola pikir orang lain. Orang terdekat sekalipun. Seperti aku pada Bapak atau Ibu. Saat mereka berpisah, aku tidak bisa membaca apapun dari mereka. Keluarga kami merupakan cerminan Keluarga Cemara nan bahagia.

Tapi aku salah.

Jakarta, 11 September 2000

Kali ini aku menemukannya lagi. Belasan surat berisikan pujian yang berserakan di laci meja kerjanya jelas bukan untukku. Semakin aku membaca, semakin aku tersayat. Aku tak tahu sejak kapan aku menjadi seorang masokis.

Semakin membaca, semakin aku mencari, semakin aku menggali lubang kuburku sendiri.

Aila sudah berusia 10 tahun dan Kiyan lahir 2 tahun lalu. Aku harap saat Kiyan lahir ia akan mempererat hubungan kami.

Lagi-lagi aku salah. Dia tetap kembali pada hantu masa lalunya.

Sepenggal isi buku harian Ibu. Dan berlembar-lembar berikutnya yang berisikan sama; rasa sayangnya padaku dan Kiyan, kekecewaannya pada Bapak, dan... rasa sayangnya pada Bapak. Aku kembali bertanya-tanya pada awalnya: Apa yang membuat Ibu bertahan selama ini? Lima belas tahun bersama Bapak yang penuh akan siksa batin. Dan gilanya Ibu tidak pernah menunjukkan raut muka sedih padaku dan Kiyan.

Aku teringat ucapan Ibu saat ulangtahunku sepuluh tahun lalu. "Aila, meski kamu perempuan, jangan pernah terlihat lemah pada siapapun. Jangan manja, jangan cengeng. Jangan pernah menjadi perempuan bodoh hanya karena laki-laki. Ngerti kamu?"

"Bukannya sifat cengeng pada perempuan itu kodrati ya, Bu?"

"Apapun yang terjadi, jangan tunjukkan sisi lemah kamu pada siapapun." ...seperti Ibu.

***
Akhirnya ia datang juga. Penampilannya masih sama dari ujung kaki hingga rambut. Wangi parfumnya tetap sama, pemberianku untuk hari jadinya yang ke-30. "Maaf, saya terlambat." Tara menarik kursi di hadapanku, lalu duduk. Dua minggu sudah kami tidak bersua.

"Ai..." panggilnya lirih. Seharusnya, setelah semua yang terjadi dia tidak berhak memanggilku seperti itu. "Saya nggak menyangkal semua yang kamu tuduhkan ke saya." Oh, satu lagi goresan luka kudapatkan.

"Meski saya nggak pantas dapat maaf kamu, saya tetep minta maaf, Ai..."

Aku menyesap kopiku yang sudah mendingin. Rasa pahitnya sudah tidak bisa menutupi kepahitan lain yang aku rasakan. "Gimana keadaannya?", tanyaku mengabaikan permintaan maafnya barusan.

"Maya sehat," jawabnya singkat. "Apa kamu m-"

"Iya Tara, saya sudah maafkan kamu. Jauh sebelum kamu menemui saya hari ini, saya sudah maafkan kamu. Dan tolong, enyahkan pikiran tentang saya akan melabrak kamu ataupun Maya, atau pikiran tentang menampar kamu sekarang juga, atau mengguyur kamu dengan kopi pekat saya. Kamu tau kan saya nggak seemosional itu," ucapku memotong ucapannya, menjawab segala kegelisahan yang ada dalam pikirannya. "Tara... terimakasih selama dua tahun ini kamu sudah cukup baik pada saya."

Aku beranjak dari kursiku. Aku merasa segalanya selesai. Aku dan Tara kembali pada awal. "Sampaikan salam saya sama keluarga kamu. Semoga calon istri dan anakmu sehat selalu." Tanpa menunggu balasannya, aku beranjak pergi.

***
Tubuhku bergetar hebat saat aku masuk ke dalam rumah. Sama pada saat hari meninggalnya Ibu. Aku tidak menangis. Kala itu aku bersembunyi di kamar dengan tubuh bergetar hebat. Tapi tidak ada air mata yang keluar.

Bayangan seseorang menangkapku. Memelukku dengan erat. Memberikan aku sandaran.

Aku kalah.

Aku menangis sekencang mungkin. Meraung seperti kesetanan. Maafkan aku Ibu... aku telah dibodohi oleh lelaki. Maafkan aku Ibu... aku menangis. Maafkan aku Ibu...

Tangisanku ini bukan hanya milikku seorang. Aku juga menangis untukmu Ibu. Untuk tahun-tahun kemarau yang Ibu lalui seorang diri. Hingga Ibu memilih pindah dari dunia menuju alam baka. Maaf...

Lamat-lamat suara Kiyan terdengar, "jangan ditahan lagi, mbak. Mbak nangis bukan karena mbak lemah. Tapi karena mbak terlalu lama menjadi seorang yang kuat."

People cry not because they're weak. It's because they've been strong for too long--unknown

23:59

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 14, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Diary Of Kiyan and AilaWhere stories live. Discover now