Reason(?)

84 8 0
                                    

Hitam atau putih? Seperti pilihan yang tidak bisa dipilih. Layaknya sebuah kebaikan yang mengharapkan kata terima kasih atau bahkan berharap akan adanya timbal balik. Rasanya ketulusan pun sulit untuk ditemukan, dimana seseorang yang tersenyum padamu terkadang menyembunyikan sebilah belati dibalik punggungnya. Lalu, masihkah kita boleh mempercayai seseorang? Jawabannya: tentu. Kau-masih-dapat mempercayai seseorang, tapi percaya sesuai batasannya dan jangan terlalu percaya. Ingat, tak ada hal baik dibalik kata "terlalu" yang sederhana itu.

***

Sekitar sepuluh menit lagi bel istirahat pertama akan berbunyi, maka dari itu aku memutuskan untuk kembali ke kelas walaupun rasanya berat untuk meninggalkan perpustakaan. Fasilitas sekolah yang paling kusuka untuk didatangi adalah perpustakaan; wangi kertas, suasana hening yang mendamaikan perasaan. Intinya, di sana merupakan satu-satunya tempat aku dapat terbebas dari para gadis centil yang menempel bagaikan lem korea-kalian tahu, 'kan? Lem cair dalam botol kecil berwarna putih, yang biasa dijual di lampu merah dengan harga goceng.

Baru saja sampai di ambang pintu, dan selangkah memasuki kelas. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dan menyebut namaku.

"Itu si Kiyan!"

Sontak dengan refleks aku menghentikan langkahku, menatap Rendi-yang barusan meneriaki namaku-dan sekilas melirik ke arah dua lelaki yang berdiri di depan meja Rendi. Aku yakin mereka adalah kakak kelas, sebab aku belum pernah melihat mereka sebelumnya di antara murid-murid kelas sebelas.

"Ada apa?" Aku berjalan mendekat ke arah mereka bertiga. Namun, sebelum aku benar-benar menjangkau meja Rendi, salah satu dari kakak kelas tersebut-yang mengenakan kacamata-malah berjalan menghampiriku terlebih dahulu.

"Kiyan?" Kini kami berdua berada di depan kelas, dapat kurasakan beberapa orang yang berada di dalam ruangan ini menatap ke arah kami berdua. Tapi tidak kuperdulikan, dan memilih untuk memfokuskan diri pada lak-laki berambut hitam berantakan yang ada di hadapanku. Ia nampak familiar.

"Iya, saya. Kenapa?" jawabku sopan.

"Panggil saja aku Alfon, dan tidak perlu seformal itu."

"Oke, Alfon. Aku Kiyan."

Dia terkekeh, "Aku tahu, Kiyan. Lupa kedatanganku ke mari mencarimu, eh?" Aku ikut terkekeh mendengarnya. Kemudian kembali memasang wajah tenang, saat melihat dirinya mulai membuka mulut-ingin melanjutkan ucapan-dan wajahnya yang juga berubah serius. "Begini, aku-atau kita-membutuhkan bantuanmu."

"Maksudmu dengan membutuhkan bantuanku?"

"Ada sedikit masalah di ruang OSIS, dan ini hal yang tidak seharusnya menjadi penarik perhatian umum."

Aku melirik ke sepenjuru kelas yang ternyata sudah mulai ramai. Dan sebagian besar di antaranya tengah dengan terang-terangan menatap ke arah kami berdua dengan wajah penasaran, dan beberapa mulai berbisik-bisik sok tahu. Sedangkan para gadis berkumpul dan cekikikan tidak jelas, serta sesekali melirik ke arah kami. Alfon ingin hanya aku yang mengetahui hal ini.

"Pulang sekolah, bagaimana?"

Alfon tersenyum kecil, merasa puas karena aku mengerti maksud ucapannya. Kemudian ia mengangguk kecil sebagai jawaban, dan memiringkan tubuhnya untuk menghadap ke belakang. Memanggil temannya.

Diary Of Kiyan and AilaWhere stories live. Discover now