Memoria

181 11 1
                                    

Sudahlah. Saya memang jones yang labil, hiks.

***

"Earl!"

Aku menoleh. Bertepatan dengan bel istirahat yang berdering, aku membalas tatapannya.

"Ada apa, Kiyan?" Kupikir sudah kuatur baik nada suaraku agar tak terdengar kesal.

"Untuk tugas tadi, bisakah aku mengerjakannya bersamamu di rumahmu nanti?" Laki-laki yang seumuran denganku itu menatapku panik. Iris cokelatnya sesekali mengecil, bibirnya terkatup gemetar.

Aku mendesah pelan. Mengalihkan pandangan sebentar, kucoba menatapnya kembali. "Sekali-sekali cobalah untuk mengerjakannya sendiri."

"Ayolah," katanya dengan nada yang memelas. "Tidak ada yang bisa kumintai tolong selain kau."

Aku mengangkat bahu, bersiap meninggalkan kelas untuk pergi ke kantin. "Aku menolak. Sudah berapa kali kau minta tolong seperti itu dan ujung-ujungnya aku yang mengerjakan tugasmu."

Seiring langkah kakiku yang menjauh darinya, dia berseru dengan iri. "Dingin sekali. Kau memang anak yang pintar, sih. Jadi mengerjakan tugas sendiri pun bisa kau lakukan dengan baik."

Itu tidak benar.

Kenyataannya, aku tidak ingin bergantung pada orang lain, begitu pula hal yang sebaliknya. Karena itulah aku sama sekali tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang bernama 'sosial'. Tidak ada satu pun orang yang kupercayai selain diriku sendiri.

"Ouch--"

Ternyata berkat lamunanku ini aku telah menabrak seseorang. Seorang gadis dengan rambut kecokelatannya yang bergelombang, membungkuk untuk mengambili buku yang berjatuhan di lantai.

"Maaf, aku tadi melamun. Kau tak apa-apa?" Setelah membantunya untuk mengambili buku-buku bawaannya yang berserakan di lantai, kami bertatapan selama beberapa detik.

"Aku tidak apa-apa, kok." Dia tersenyum sangat ramah, membuat wajah cantiknya terlihat ceria. "Ah, terima kasih bantuannya."

Dia berlalu begitu saja dengan sejumlah buku yang terlihat berat di kedua tangannya. Setiap langkah kakinya begitu pelan dan berkali-kali dia terlihat kehilangan keseimbangan. Beberapa orang yang berjalan di koridor hanya melewati gadis itu, sesekali menatapnya heran.

Apapun yang terjadi padanya, itu bukanlah urusanku. Aku tetap berpegang teguh pada prinsip ini, namun saat terus melihatnya seperti itu, rasanya aku ingin menolong gadis itu.

"Whoa, ini berat sekali. Aku heran kenapa kau bisa membawanya sejauh ini."

Suara itu... itu Kiyan, laki-laki yang seumuran denganku dengan iris cokelat dan rambut hitam yang sedikit acak-acakan. Kini ia membawa sebagian buku yang dibawa oleh gadis berambut gelombang tadi. Kurasa... satu per tiga dari keseluruhannya.

"Kenapa kau tidak minta tolong pada orang lain?" Kiyan tersenyum, namun nada suaranya terdengar sedikit kesal.

"Aku bisa me-melakukannya sendiri." Kudengar gadis itu berkata sedikit lirih dan pandangannya beralih ke arah lain.

"Jangan begitu. Seorang gadis tidak baik membawa barang berat." Kulihat Kiyan berjalan mendahului, kemudian disusul oleh gadis itu dari belakang hingga tubuh mereka berdua berdampingan.

Selanjutnya karena jarak kami bertiga cukup jauh, dan aku tak dapat mendengar apa yang mereka berdua bicarakan dan apa yang mereka lakukan setelahnya. Tapi satu hal yang kutahu...

...gadis itu tersipu saat bertemu Kiyan.

Saat aku menyadari hal itu, tanpa sengaja aku tersenyum.

Diary Of Kiyan and AilaDär berättelser lever. Upptäck nu